Tuesday, August 9, 2005

Kampanye Bicara Kalimat Positif


Bicara menggunakan kalimat positif sangat penting, begitu kata banyak
pakar. Anjuran itu telah lama kudengar, kutulis bahkan kucamkan dalam
benakku. "Orangtua yang selalu berbicara positif, akan membantu
menumbuhkan harga diri anak. Kata-kata positif memiliki kekuatan untuk
membuat anak merasa berguna, merasa senang, memberi harapan dan memupuk
jiwa mereka," tulis Mimi Doe, dalam bukunya 'Sepuluh Prinsip Spiritual
Parenting".



Prakteknya bagaimana, gampangkah? Wuih jangan ditanya. Susahnya bukan
kepalang. Ah masak iya? Lha iya, wong seumur-umur
orangtua kita dulu kebanyakan mencekoki kita dengan kalimat negatif je. Wajar sekali kan kalau akhirnya kalimat positif
malah menjadi kalimat yang tak terbayangkan dan sangat tidak familiar
dengan kehidupan sehari-hari. Tapi bukan berarti hendak menyalahkan
orangtua kita dulu lho. Semua pasti ada sebab, jaman dulu barangkali
penelitian para ahli belum marak. Orangtua kita pun sesungguhnya telah
berbuat yang terbaik bagi anak-anaknya pada masanya. Namun, jaman tentu
saja berubah, kalau ada yang terbukti lebih baik, kenapa tidak dicoba?



Belakangan ini aku melakukannya,  menggerakkan lagi kampanye
bicara kalimat positif dalam keluargaku. Dan hasilnya? Wow,
bagiku mencengangkan dan sekaligus membuatku malu hati. Dulu aku pernah
mencobanya, tapi hanya tahan beberapa bulan. Kepindahanku ke negeri ini
dengan segala dampaknya menguras tenagaku lahir dan batin. Waktu banyak
ku habiskan untuk menata diriku sendiri yang memang lebih membutuhkan.
Aku menjadi lebih sensitif, gampang sekali naik darah. Padahal dulu aku
termasuk ibu yang cukup sabar, walaupun memang masih kalah dibandingkan
suamiku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi ibu yang baik, bila aku
belum 'menemukan' diriku sepenuhnya.



Proses belajar terkadang memang melelahkan dan menyakitkan, tapi
tentunya akan berbuah juga. Perlahan aku mulai bangkit, mengontrol
emosiku, menata lagi kesabaranku dalam menghadapi anak-anakku. Saatnya
tiba, ketika aku mulai tersadarkan lagi untuk menggerakkan bicara
dengan kalimat positif dalam rumah kami. Entah mengapa, hati dan telingaku kini
menjadi tergelitik mendengar Lala yang sering berbicara dengan kalimat
negatif. Padahal sebelumnya aku sama sekali tak terpengaruh atau
tepatnya mengabaikan saja barangkali.  "Aik! Kalo Aik nggak mau
berbagi, mbak Lala marah sama Aik!" begitu kira-kira ucapan yang kerap
terlontar dari mulutnya. Dan, tentu saja, kalimat ini menular kepada
Malik adiknya.



Lho? Kalau Malik tertular dari Lala, mestinya Lala berbicara seperti
itu juga tertular dari seseorang dong ya. He he, dari siapa lagi kalau
bukan dari orangtuanya. Mestinya begitu kan? Aku bisa saja
ngeles bahwa aku tak pernah mengajarkan anak-anakku
berbicara seperti itu, seperti halnya aku tak pernah mengajari mereka
memukul. Toh akhirnya mereka memukul juga, mencubit juga sebagai respon
normalnya anak-anak saat tidak suka. Tapi bagaimanapun, aku akui bahwa
tidak selamanya aku bisa mengontrol diri untuk bisa selalu berbicara
baik-baik pada mereka.



Seorang ibu juga manusia yang bisa kesal dan marah tentu saja. Namun
alangkah mulianya bila si ibu bisa menahan kemarahan dan kekesalannya,
mengolahnya dalam hati sehingga tetap menjadi telaga yang meneduhkan
bagi anak-anaknya. Ibu yang seperti ini barangkali sudah melakukan
jihad terbesar, jihad melawan hawa nafsunya sendiri. Hmm...itu masih
menjadi mimpi bagiku. Sekarang? Aku sedang belajar, dan untungnya,
anak-anakku mengajariku banyak hal, termasuk dalam kampanye bicara
kalimat positif ini. 



Dalam sebuah pelatihan komunikasi pengasuhan anak yang pernah aku
ikuti, ada mendapatkan rumusan sederhana yang sering aku terapkan pada
anak-anakku.  Rumusnya adalah menggunakan 'Pesan Saya' atau
'Mendengar Aktif' dalam berkomunikasi dengan anak. 'Pesan saya'
digunakan bila masalah ada di orangtua. Sedangkan 'Mendengar Aktif'
kita gunakan bila masalah ada pada anak. Rumus 'Pesan Saya' dipermudah
dengan kalimat seperti ini "Kalau kamu....bunda
merasa....akibatnya...." Contoh 'Pesan Saya' aku gunakan pada kasus
seperti ini: Malik sering sekali naik ke atas meja, artinya masalah ada
di  aku, orangtuanya, karena bagi Aik, hal itu malah menyenangkan.
Jadi untuk kasus ini, aku memakai kalimat 'Pesan Saya' . Aku katakan
pada Aik, "Aik, kalo Aik naik-naik meja, bunda khawatir Aik jatuh,
nanti Aik bisa sakit kakinya."



Sederhananya begitu, tapi kadang-kadang dalam kondisi lelah dan penat,
rumusan yang bagus itu akhirnya terpotong. Alih-alih ingin mengajari
anak tentang sebab akibat dan  memahami perasaan orang lain,
akhirnya malah menjadi ancaman dan perintah. Hal ini justru yang
tampaknya sering terjadi. Untung saja kesadaran itu muncul lagi.
Kesadaran untuk memperbaiki cara komunikasi diantara kami dan terutama
berbicara dengan kalimat positif.



"Aik! Kalo Aik rebut mainan mbak Lala, mbak Lala marah sama Aik! Nanti
nggak ada orang yang suka sama Aik!" teriak Lala suatu hari. Lala
sedang marah karena mainannya direbut adiknya. Momen yang tepat,
pikirku. Aku tengahi mereka dan setelah mereka tenang, aku buat
kesepakatan dengan mereka. "Lala dan Aik, sekarang kita mulai bicara
pake kalimat positif ya," kataku sehabis sarapan. "Jadi kalo mbak Lala
lagi marah kayak tadi, mbak Lala rubah kalimatnya, coba jadi begini :
mbak Lala seneng sekali kalau Aik ngembaliin mainan mbak Lala, pasti
nanti Aik disukai temen-temen kalo Aik begitu."



Hmm... sebetulnya aku juga kebat kebit sendiri, aku saja masih
kelimpungan membuat kalimat positif apalagi Lala dan Aik. Tapi ya
sudahlah namanya juga usaha hehe. Lalu aku katakan juga pada mereka,
"Kalo mbak Lala sama Aik denger ayah bunda bicara pake kalimat negatif,
mbak Lala sama Aik tolong ingetin ayah bunda juga ya." Aku tak berharap
banyak, hanya berusaha saja, kalau hasilnya seperti dulu lagi ya
sudahlah.



Tapi ternyata, tak disangka, Lala menjadi pengingat setiaku! Dan
ajaibnya, dia jadi pintar  merangkai kalimat positif. Sesekali
memang dia lupa kalau sedang dalam kondisi marah luar biasa, dan aku
pun tak lupa mengingatkannya. Namun obrolan selepas sarapan itu
betul-betul diserapnya. Hasilnya? Malah aku yang sering ditegur oleh
Lala. Kalau sedang marah, boro-boro ingat mau pakai kalimat apa, yang
ada hanyalah perasaan ingin ngomel dan mencurahkan semua
kekesalan  di hati. Seperti hari ini, suamiku sedang
summer school ke Edinburgh. Mau tak mau, semua
pekerjaan rumah dan ulah anak-anak harus aku tangani sendiri. Ingatan
akan 2 minggu kepergiannya saja sudah membuat hatiku tak karuan,
apalagi ditambah mengurus anak-anak dan rumah sendirian. Aku jadi lebih
mudah meradang.



"Aik, kalau Aik nggak mau beresin baju-baju Aik yang berantakan itu,
kita nggak jadi main sekolah-sekolahan ya. Bunda mau ngetik t erus kalo
Aik nggak mau beresin! " sahutku kesal. Tiba-tiba saja Lala 
langsung bersuara,"Bunda, bunda itu pake kalimat negatif Bun."
Hmh...Ggrh...Oh....entah apalagi yang ada di hati dan kepalaku saat
mendengar suara mungilnya, menohok hatiku. Rasanya hati ini masih ingin
meluapkan segala kekesalanku, tapi mendengar teguran gadis mungilku
yang lugu, oh...mana tahan. Kekesalan itu mau tak mau harus kuendapkan.
Malu pada anak sendiri? Ya memang bersitan rasa malu pun muncul,
normalnya keegoisan manusia barangkali. Tapi, bukankah mestinya aku
bersyukur?



Ya, mestinya aku bersyukur. Ingatan tentang rasa syukur karena telah
diingatkan oleh putriku sendiri membuat kalimat maaf dan perbaikan
leluasa meluncur dari bibirku. "Oh,iya maafin bunda ya sayang, bunda
lagi kesel. Mestinya bunda bilang gini ya, Aik, bunda seneng sekali
kalo Aik mau beresin baju-baju Aik. Nanti kita bisa cepet main
sekolah-sekolahan deh." Hmm...walaupun Aik tetap saja melenggang
kangkung dengan manisnya, tapi setidaknya pelajaran untuk saling
mengingatkan dan memaafkan ini semoga saja masuk kedalam hatinya.



Kejadian semacam ini bukan hanya sekali dua, hampir setiap hari. Lala
betul-betul menjadi kontrol yang baik buatku. Kini Lala pun selalu
berusaha bicara dengan kalimat positif, dan berpikir dulu sebelum
marah-marah kepada Aik. Lain halnya kalau Lala sedang lelah, mengantuk
atau marah besar, semua aturan itu lenyap begitu saja dari pikirannya,
sama saja lah seperti bunda tadi hehe. Dan Malik, tampaknya juga
menyerap semuanya dan ingin seperti Lala, tapi dia belum bisa
membedakan mana kalimat positif dan mana negatif. "Aik pasti
kelereng-kelereng itu akan senang sekali kalo dikumpulin lagi sama Aik,
nanti mereka nggak kedinginan diluar," ujarku mencoba memintanya
membereskan mainan. Tapi tiba-tiba wajah Aik langsung nyureng dan
berujar,"Bunda itu pake kalimat negatif! Bunda  harus pake kalimat
positif bun!" Katanya dengan percaya diri, padahal salah hehe.



Anak-anak memang kadang mencengangkan, aku betul-betul terbantu
dan banyak sekali belajar dari mereka. Semoga saja usaha kami kali ini
berhasil. Hanya saja, jangan berharap aku bisa sukses memakai kalimat
positif ini kala sedang ngambek sama suamiku. Dia kadang protes, "Ke
anak-anak bisa kampanye kalimat positif, lha koq sama aku ndak bisa."
Hmm... kalau ini sih lain soal, "sama siapa lagi aku bisa begitu kalau
bukan sama ayah, kan merajuk hehe, nggak seru lagi dong yah kalo kita
baekan terus hi hi, asal anak-anak nggak denger aja." Begitu alasanku
kepada suamiku.  Kepadanya, aku memang bisa
ngeles, malas memakai kalimat positif dengan alasan
merajuk, tapi kepada anak-anak? Ah, siapa yang mampu melawan keluguan
dari suara dan wajah-wajah mungil mereka. Merekalah malaikat-malaikat
kecilku, yang datang dari surga untuk mengajari aku.

















14 comments:

  1. Lala sama Aik kok cepet tanggap sih Mbak...langsung ngerti kalimat negatif-positif.
    Kayaknya konsep itu terlalu tinggi buat Jasmine sama Zahra (belum dicoba sih...kalau pun sukses, dijamin emaknya disemprit mulu, habis kalau ngomel nggak pakai mikir positif-negatif :(...)

    ReplyDelete
  2. idem mbak, aku juga gitu, terkadang klo udah capek pulang dr kantor, trus Aras rewel minta ini itu.. wuuiihhhh.... rasanya tanduk di kepala keluar deh.. heheheh
    jadi pengen coba deh metode yg mbak Agnes jalanin ke Malik & Lala, mudah2an bisa deh ya, walopun untuk awalnya pasti sulit sekali buat Aras yg baru 3,5 th.. hehehhe

    Niwei.. aku mo' tanya nih mbak, aku kok blon dpt sertifikat dr seminar WRM yg kemaren ya mbak ? :)

    ReplyDelete
  3. hm... menarik sekali mbak. tapi, sebelum susah-susah membedakan mana kalimat positif dan negatif,... bagaimana kalo kampanye ber-"pikiran positif" dulu. barangkali, dari sana nanti kalimat-kalimat positif dengan sendirinya bisa mengalir dengan deras.... (oh ya... salam kenal).

    ReplyDelete
  4. Wah, makasih nih, Mba Agnes idenya dan tulisannya
    Mencerahkan...
    terutama mencerahkan gayaku kalau mau marah he he
    Kan asyik kalau marah tapi keluarnya tetap positif, lebih mirip tidak marah kali ye..?

    Luv
    Henny

    ReplyDelete
  5. hehehe ide bagus es..tapi susah nian utk melaksanakannya ya :)

    ReplyDelete
  6. He he emang iya mbak, kalo lagi ngomel mana inget kita ya sama positif negatif, cuma ya itu ternyata aku ditegur terus sama Lala, kalo nggak ada yg ngingetin ya bablas aja kali gatot alias gagal total hehe

    ReplyDelete
  7. iya mbak coba aja deh kan gratis hehe. Memang pasti sulit sih, aku sebenernya terbantu sama anak2 mbak, kalo enggak ya bablas tadi hehe. Ttg sertifikat, wah kalo ini urusannya sama mom Didi, coba tanya aja ke belio ya, aku soalnya bagian moddy aja kemaren :-)

    ReplyDelete
  8. Wah iya ide bagus tuh, krn aku udah kepalang jalan yang kalimat positif duluan berarti dua2nya harus digalakkin ya hehe. Salam kenal juga...:-)

    ReplyDelete
  9. Iya mbak Heni, bener lo, marahnya jd mikir, soalnya tiba2 ditegur ama anak kan ya gmn gitu, udah negurnya polos banget, mosok ya tega mo lanjutin marah hehe. Semoga sukses ya mbak...doain aku jg bisa tahan lama nih :-)

    ReplyDelete
  10. Iya In emang susah, makanya minta tolong ama anak hehe. Ah percaya lah ama Iin, bilang2 susah padahal mah udah sukses nih, hayo ngaku, iya apa iya hehe

    ReplyDelete
  11. wah iya..ide bagus juga nes..eh..jadi kapan ke munchen nya nih nes?

    ReplyDelete
  12. Salam kenal mbak Agnes...
    Siip dech artikelnya jadi termotivasi nih....
    Saya masih harus lebih banyak belajar, pinginnya sih selalu bicara halus ke mereka, pakai kalimat-kalimat yang positif, namun apa daya kadang kalimat-kalimat emosi lebih dulu meluncur sebelum kalimat positif terangkai...

    ReplyDelete
  13. Aku brangkat tgl 21 In, tp mo ke Austria dulu. Ntar aku call ya kalo udah sampe sana ok :-)

    ReplyDelete
  14. Salam kenal jg mbak Titik :-)

    Wah sama mbak, saya jg masih harus banyak belajar, baca2 tulisan temen2 di multiply ini jg berguna bgt buat saya, pengalamannya oke2, inspiring :-). Dan terutama jg belajar dari anak sendiri ya :-)

    ReplyDelete