Thursday, March 16, 2006

Mampukan Aku Tumbuhkan Pohon Cinta Itu


“Kunci pertama
agar anak mampu mengenal Tuhannya adalah terima anak apa adanya! Bagaimana
mungkin orangtua bisa mengenalkan anak pada Tuhannya jika orangtuanya sendiri
tidak bisa menerima anak apa adanya? Orangtua yang mengenal Tuhan artinya
orangtua yang ikhlas menerima apapun keputusan Tuhannya terhadap anaknya.
Mengenal saja tak cukup, perlu mencinta. Bagaimana mungkin seorang anak
bisa  mencintai Tuhannya dan juga
sesamanya kalau masa kecilnya dipenuhi dengan rekaman-rekaman kemarahan di
hatinya? Tegas boleh. Tapiii…jangan pernah memarahi anak sejak ia lahir hingga
usia 7 tahun! Bibit cinta akan menumbuhkan pohon cinta. Namun bibit kemarahan?”





Deg! Sesuatu
menusuk kalbuku. Kesimpulan itu aku tangkap dari untaian kata mbak Neno
Warisman dalam acara on air di sebuah radio internet. Aku mendengar
rekaman ulang nya dari http://cafe.degromiest.nl/neno.
Lamaa kusimak lagi nasehat-nasehatnya. Mataku mengembun. Tuhan, Bibit apakah
yang telah kutanamkan pada anak-anakku? Betapa sering teguran itu datang,
petunjuk agar aku mau memperluas ruang kesabaranku. Petunjuk agar aku mau
menerima putriku apa adanya, segala keunikannya. Dan ketika kesadaran itu datang,
mengapa tak pernah lama? Selalu saja ia kembali dan kembali lagi. Ooh, ampuni
aku Tuhan. Baru saja aku, lagi-lagi menebarkan bibit kemarahan itu. Dan
ternyata aku tak juga mampu mengenalMu.






Pagi itu,
darahku mendidih. Bukan kali pertama, entah kali keberapa. Kesabaranku tak ada
hentinya diuji, lagi dan lagi oleh gadis kecilku sendiri. Berlembar-lembar
artikel tentang parenting kubaca, mengatakan hal serupa, bahwa setiap anak
adalah unik, terima ia apa adanya. Berkali-kali pula aku sesumbar menuliskannya
dalam diskusi-diskusi dalam mailing list (milis) di dunia maya. Duh,
tapi mengapa kadang aku hanya pandai bicara saja. Nyatanya, kini aku gagal
lagi. Mengapa aku tak bisa menerima keunikan putriku? Mengapa aku harus marah
lagi? Karena PMS (Pre Menstrual Syndrome) lagi? Huh, apakah itu bukan
sebuah pembenaran? Pembenaran untuk menghalalkan kemarahan!







Sepuluh menit
lagi pukul 8.30 pagi. Saatnya bel berdentang tanda pintu masuk sekolah telah
ditutup. Tapi, dimana putriku berada? O..la..la... ia masih berkutat dengan
rambutnya, tentu saja dirumah. “Hiks…hiks…aku nggak mau pergi kalau rambutku
belum diiket.” Rengekannya   membuat
kesabaranku mulai menguap.”Tapi engkau harus segera pergi Nak, sudah
terlambat,”bujukku berusaha sabar sambil mencari ikat rambut yang tak kunjung
kutemukan. Putriku pun berusaha mencari ikat rambutnya, berjalan perlahan
dengan gaya malas-malasan, tak juga segera memakai sepatunya. Tuhan, kenapa
anak ini lambaat sekali. Apa yang sesungguhnya terjadi dengannya?
Kenyataan
itu mulai mengusikku lagi.







Putraku juga
mulai merengek, tak sabar menunggu. Segera kuulangi ucapanku pada putriku
dengan nada sedikit meninggi. Tangis putriku kemudian meledak,”Kalau rambutku
nggak diiket, nanti aku makanin rambutku terus, nanti pipiku jadi bau, hu…hu…hu.”
Belakangan ini, mulutnya memang mengeluarkan bau tak sedap. Dan kunjungan ke
dokter, baru akan berlangsung minggu berikutnya. Hari-hari sebelumnya aku tak
lupa mengikat rambutnya.”Bunda ikat rambutmu, supaya kau tak bisa lagi memakan
ujung rambutmu. Kalau dimakan mukamu jadi bau Sayang,” pesanku selalu. Dan kini
pesan itulah yang dipegangnya kuat-kuat. Hmh, kenapa dalam kondisi buru-buru
seperti ini dia tak bisa berdamai dengan aturan yang telah dipegangnya. Mengapa
ia selalu saja begini, gampang merengek dan menangis!







Kulirik jarum
jam, delapan lewat tigapuluh menit. Kesabaranku lenyap sudah.”Sudah lah nggak
usah diiket, nggak apa-apa sekali-kali bau. Ayo cepet berangkat, itu ayah udah
nunggu!” Seruku kesal. Ayahnya juga mulai kesal dan menyuruhnya untuk segera
berangkat. Tapi, tangisnya semakin keras terdengar.“Aku nggak mau! hu..hu..hu…,
nanti bau Bun, hu…hu..hu.” Mendengarnya, kemarahanku tak lagi tertahan,”Bunda
kan udah bilang nggak apa-apa! Lihat tuh sekarang jam berapa?! Terlambat La!
Malu kalau terlambat, ngerti nggak Lala?!” Sentakku. Akibatnya, tentu saja
tangisnya menghebat, juga kemarahannya. “Huaa…Aku nggak sayang sama Bunda!
Huaa… air matanya bercucuran sambil menatapku penuh amarah.” Tuhan, kenapa
anak ini perasa sekali. Adiknya tidak merepotkan begini, dimarahi juga cuek
aja, easy going
. Pikiran nakalku mulai membanding-bandingkan ia dengan
adiknya.







Dan akhirnya,
suamiku menarik napas dalam, menyadari bahwa semua tak bisa dibiarkan. Ia
segera duduk dan meletakkan tas punggungnya ke lantai. Diraih dan dipeluknya
anak itu sambil berkata padaku,”Sudah Ma, sudah, nggak usah bicara apa-apa lagi
sama dia kalau lagi marah. Waktu memang penting, tapi ada hati yang harus
dijaga. Lebih baik terlambat daripada anak kita pergi sekolah sambil membawa
hati yang tergores. Peluk dia Ma, peluk…,” katanya membujukku. Kemarahanku
masih menggumpal di dada, begitu pula keegoisanku. Tak ingin rasanya memeluk
anakku dalam kondisi seperti itu. Tapi aku tahu ucapan suamiku benar.







Kuredam amarahku
sekuat yang kumampu. Tak bisa. Gumpalan marah itu masih saja berdiam di sudut
hatiku. Tapi, perlahan kuhampiri juga putriku, kupeluk dia, dan kukatakan
padanya,”Maafkan Bunda ya sayang. Bunda kesel sekali tadi. Nggak apa-apa
sekali-kali terlambat, kita cari dulu ikat rambutnya ya.” Aku bicara perlahan
sambil menahan air mata yang mulai menggenang. Air mata kekesalan yang tertahan
karena gumpalan marah itu hanya sedikit berkurang. Namun, kupeluk ia lagi,
semakin erat. Dan ternyata perlahan tapi pasti pelukan itu melelehkan amarahku.







Pukul delapan
limapuluh, akhirnya suami dan kedua anakku berangkat ke sekolah. Setelah
menciumku, dengan senyum tersungging di bibir dan rambut dikuncir dua, putriku
meninggalkan pintu rumah. Dan aku? Berlari menghempaskan diri ke tempat tidurku,
menumpahkan semua air mata yang tertahan. Ya Allah, mengapa ia kerap
membuatku seperti ini. Mengapa pula pikiran nakal untuk membandingkan ia dengan
adiknya dan teman-teman sebayanya selalu menggodaku ya Allah? Aku sayang sekali
padanya. Aku tahu setiap anak adalah unik. Tapi mengapa begitu sulit menerima
dia apa adanya?
Ampuni aku Tuhan, sungguh aku menyayanginya. Tapi aku
tak kuasa menolak semua rasa ini.




 




Aku teringat
seminar online yang diadakan oleh WRM—sebuah milis khusus para wanita—beberapa
bulan lalu tentang anak berbakat (gifted). Sejak itu aku curiga putriku
termasuk anak gifted disinkroni (gifted dengan ketidakseimbangan
di beberapa aspek tumbuh kembang). Apalagi waktu di Indonesia dulu, psikolog
yang pernah melakukan tes padanya pun mengatakan bahwa putriku memiliki IQ jauh
di atas rata-rata. Tapi di sisi lain, saat itu putriku mengalami keterlambatan
dalam aspek motorik.







Setelah seminar
online berakhir, aku seolah mendapat keyakinan tambahan bahwa putriku berbeda.
Aku bisa lebih sabar menghadapi perilakunya, karena anak gifted disinkroni umumnya
memang memiliki kelebihan sekaligus kekurangan yang jomplang, berbeda
dengan anak normal. Tapi kesadaran untuk tak boleh memarahi anak itu, selalu
tak ingin berlama-lama berdiam dalam hatiku. Ketika evaluasi di sekolah tiba,
dan mendapatkan penjelasan dari guru sekolah putriku, aku kembali gamang. Ia
yang dulu kerap dikatakan memiliki kemampuan lebih dibanding sebayanya—saat di
Playgrup maupun TK tahun pertama di Belanda—kini sama sekali berbeda.







Guru sekolahnya
hanya mengatakan, prestasi putriku biasa-biasa saja. Bahkan kekurangannya yang
paling terlihat adalah lelet. Ia selalu menjadi paling akhir diantara
teman-temannya. Akibatnya ia tak pernah bisa mendapatkan latihan tambahan.
Gurunya hanya menyuruh kami untuk ‘wait and see’. Tapi aku tetap tak
tenang. Anak yang lelet tak pernah aku temukan dalam bahasan seminar
anak gifted. Apalagi, dalam salah satu makalah seminar disebutkan bahwa
pemeriksaan IQ pada anak dibawah umur 7 tahun tidak lah dapat dipercaya. Aku
mengambil kesimpulan sendiri, artinya anakku sama saja dengan anak-anak
sebayanya,”Hanya leletnya saja yang perlu diperbaiki,”pikirku.







Perlahan tapi
pasti, tanpa sadar aku mulai menaikkan standard perilaku untuk putriku. Aku
ingin ia bisa ini dan itu seperti teman-teman seusianya. Aku dan suamiku pun
mencoba mengatasi kelambatan geraknya dengan berbagai cara. Akhirnya apa yang
terjadi? Kemarahan dan kemarahan yang mudah sekali muncul seperti kejadian pagi
itu.







Hiks, Tuhan… apa
yang telah kulakukan pada putriku? Tolong, ampuni aku Tuhan. Selama ini aku
mengaku-ngaku bahwa aku telah mengenalMu. Tapi nyatanya, aku bahkan tak bisa
menerima keputusan yang telah Kau berikan. Aku tak bisa menerima anakku apa
adanya. Anak gifted atau tidak, dia tetap berbeda, dia tetap membawa
keunikan dariMu. Aku mencintainya, sungguh! Dan aku sangat ingin ia bisa
mencintaiMu. Aku ingin menumbuhkan pohon cinta itu Tuhan. Semoga aku belum
terlambat. Mampukan aku Tuhan…