Monday, May 22, 2006

Kecemasan Mama

Ini cerpen pertamaku. Kedua sih sebetulnya, tapi cerpen yang pertama
betul-betul nggak masuk hitungan,bikinnya asal banget  dan nggak
masuk kriteria cerpen lah pokoknya hehe.  Jadi anggap saja ini
cerpen pertama :-) Niatku membuat cerpen ini buruk, betul-betul karena
ngiler sama bayarannya yang 100 euro, soalnya lagi nggak punya duit.
Tunggu punya tunggu ini cerpen nggak dimuat juga sama Ranesi. Padahal
katanya batas pemberitahuannya sebulan. Yah hopeless lah aku.Mutung.
Aku jadi merasa nggak bisa nulis fiksi dan merasa niatku yang ternoda
dengan uang itu lah penyebab cerpenku nggak dimuat. Akhirnya aku
betul-betul melupakan cerpenku ini. Asli mutung, melirik pun tak mau
lagi hehe. Sampai akhirnya barusan aku dapat kabar dari Mbak Desy,
cerpenku dimuat!



Alhamdulillah...Makasih ya mbak Des atas pemberitahuannya :-). Tapi
walaupun dimuat bukan berarti cerpen ini bermutu loh, kayaknya cuma
karena Allah nggak mau liat aku mutung kali ya hihi ge-er. Jadi kalau
ada yang mau kasih kritik dan saran, duh mau banget. Biar aku nggak
kapok nulis fiksi lagi. Tapi sebetulnya, kalo dapat 100 euro lagi sih
nggak akan kapok nulis fiksi lah ya, haha dasar! Cewek matre...cewek
matre kelaut ajeh! Eh tapi 100 euro belum dipotong pajak 39 % loh, but
masih lumayan laah buat ngisi dompet yang kosong hehe...



 Ini dia si cerpen yang sempet bikin mutung :-) :



“Eh, kamu harus kasih selamat sama Ben!”kata seorang
perempuan paruh baya  mengagetkanku. Nyonya Elske Holander, perempuan
tetangga sebelah rumahku tiba-tiba datang menghampiri. Aku baru saja
mengambil barang belanjaan dan memarkir sepeda di halaman depan. Ia
muncul bersama anak lelakinya yang berumur tanggung, mungkin sekitar 13
tahun.


“Oh, kamu ulang tahun, selamat ya Ben.” Segera kuulurkan tangan padanya sambil memberikan senyum termanis yang kupunya.

“Ha ha, bukan…bukan ulangtahun,” tawa perempuan Belanda itu renyah.

“Mm…, bukan? Jadi, selamat untuk apa?” aku bingung.

“Psst…tadi malam, dia baru saja jadi lelaki!” bisik perempuan itu di telingaku.




“Maksudnya?” keningku berkerut. Aku memang baru enam bulan tinggal
di negeri tulip ini. Selama itu pula aku mengenal si nyonya Belanda,
nyonya ramah yang pandai berbahasa Inggris. Aku tak mungkin salah
dengar. Jadi lelaki, apa artinya?

“Ayolah, masa kamu tidak mengerti, itu lho…melepaskan keperjakaannya pertama kali. Semalam Ben melakukannya sama pacarnya!” jawab nyonya Elske ringan.




“Oh ya?!” Hampir saja mataku terbelalak. Ssh…Nesya…Nesya…Ini Belanda sayang, batinku mengingatkan.

“Eh…ee…selamat Ben…selamat….”Aku tergeragap. Mudah-mudahan saja si nyonya tak memperhatikan perubahan mimik dan suaraku.

“Untung sewaktu grup delapan di Sekolah Dasar (SD), dia dapat pelajaran
pendidikan seks. Dan saya juga di rumah sering mewanti-wanti dia untuk
pakai kontrasepsi sebelum ‘bermain’. Dia sudah tahu apa akibatnya kalau
tidak pakai kontrasepsi. Bahaya kan, bisa kena penyakit AIDS. Belum
lagi resiko pasangannya hamil. Jadi dia pun semalam pakai ‘sarung’.”




“Ooo…begitu ya Elske,” jawabku lirih, masih tak percaya
dengan apa yang kudengar. Bahwa negara ini adalah penganut seks bebas
dan kumpul-kebo sudah tak aneh, dan sudah lama aku ketahui.
Tapi, anak 13 tahun melakukan hubungan suami-istri pertama kali dengan
pacar, direstui ibunya pula? Anak bau kencur gitu lho! Bahkan si ibu
tampak bangga sehingga aku harus memberikan selamat?! Dan semua ini
menjadi sebuah kewajaran?!  Oh… sungguh, membayangkan pun aku tak
pernah. Apakah aku yang terlalu lugu? Kuper(kurang pergaulan)? Hmm…entahlah,  tiba-tiba saja kepalaku berdenyut-denyut!




***




Kuhempaskan tubuhku  ke sofa empuk di ruang tengah.
Kuhirup nafas sedalam yang kumampu. Ah, Rangga, putra semata wayangku.
Seketika wajah tampan dan senyum simpatiknya melintasi benakku.
Kulahirkan engkau dengan penantian yang panjang Nak.




Lima tahun aku dan ayahmu harus menunggu. Menimangmu,
membelaimu, membesarkanmu, merupakan anugrah terindah bagiku. Hmm…bau
wangi khas bayi dari mulut mungilmu masih tercium rasanya. Ah,
bagaimana mungkin? Seminggu lalu baru saja aku menyiapkan kue-kue
ringan untuk dibagikan kepada teman-temanmu di kelas. Baru saja
teman-temanmu memberikan ucapan selamat ulang tahun bukan? Ulang tahun 
ke-sepuluh. Uh, kenapa waktu seakan berlari. Tak bolehkah aku menikmati
masa indah denganmu sedikit lebih lama?




Tak lama lagi engkau akan sebesar Ben. Tak lama lagi,
hormon kelelakianmu akan bekerja. Bagaimana nanti kalau kau punya
pacar? Apakah engkau akan seperti Ben? Apakah aku, ibumu, harus
merelakan engkau melepaskan keperjakaanmu tanpa nikah di usiamu yang
ke-13?! Bahkan aku pun  harus memberikan petatah-petitih lengkap sebelumnya kepadamu?! Aah… tidaaak! Tidak anakku, aku tak rela!!




Bermukim di negeri ini sama sekali bukan sebuah
pembenaran untuk menghilangkan adat ketimuran. Aku harus berbuat
sesuatu untuk mencegahnya. Aku tak boleh membiarkan engkau terpengaruh
teman-temanmu. Tapi apa? Bagaimana? Menjelaskan tentang mimpi basah 
kepadamu saja aku tak mampu, lidahku kelu. Padahal, tak lama lagi
engkau pasti akan mengalaminya. Oh Tuhan, tolong aku…!! Ugh…memikirkannya dadaku malah sesak, kepalaku semakin berdenyut kuat rasanya.




“KRIIIIING…..!” Dering telepon seketika
menghentikan kecamuk ombak di hatiku.“Aku pulang telat ya sayang. Aku
harus lembur. Pekerjaan betul-betul menumpuk. Nanti biar aku pulang
sekalian jemput Rangga. Dia main di rumah Robert kan?” Suara Mas Pram,
lelaki yang telah belasan tahun menikahiku sedikit mengurangi sesak di
dadaku.




“Iya mas, tapi…”

“Ada apa sayang? Sesuatu mengganggumu?”

“Ya…mm…iya Mas.”

“Aku hapal betul suaramu.  Kamu mau ceritakan sedikit sekarang? Siapa tahu bisa melegakanmu.”

Ah, mas Pram, betapa beruntungnya aku. Belasan tahun biduk rumah tangga
ini berjalan, tapi kau tak pernah berubah, selalu mengerti aku.

 “Mm…sudahlah Mas, nanti mengganggu pekerjaan Mas. Setelah Mas pulang saja.”

***




Ditemani bulan yang menyembul malu-malu, malam itu
kurebahkan kepalaku didada mas Pram. Kupeluk ia erat-erat. Kutumpahkan
segala kegundahanku hari ini padanya.

Mas Pram tahu betul, kepindahannya ke Amsterdam bersama keluarganya
bukan tak membawa resiko. Bekerja di perusahaan minyak asing tentu saja
membuat perekonomian kami semakin meningkat. Memang alasan karir dan
perekonomian lah yang membuat mas Pram tak menyia-nyiakan tawaran
pekerjaan ini. Namun semua tentu membawa akibat.




Bagiku,  mau tak mau aku harus melepaskan pekerjaan
yang kucintai di Indonesia. Di Indonesia dulu, aku tak perlu memikirkan
belanja, mencuci, menyetrika dan beragam pekerjaan rumah lainnya. Mbok
Yam pembantu setia kami, dengan sigap selalu menyelesaikan semua
perkerjaan rumah. Tak mudah menjadi ibu rumah tangga yang berdiam diri
di rumah saja setelah belasan tahun terbiasa bekerja. Berbulan-bulan
aku harus bergulat dengan batinku sendiri agar bisa mencintai kegiatan
baruku, menjadi ibu rumah tangga.




Bagi Rangga? Menjelang usia remajanya, usia pencarian
jati diri, ia harus melewatinya dalam lingkungan yang jauh berbeda
dengan dunianya di Indonesia.  Di negeri ini, alkohol bebas, marijuana 
tak dilarang, kumpul kebo biasa, bahkan perkawinan antar sesama jenis
pun dihalalkan. Dan kini dengan mata kepalaku sendiri, aku bahkan 
memberikan selamat atas hilangnya keperjakaan seorang anak lelaki.




Aduh Mas…Mas…ibu mana yang tak khawatir jadinya Mas?” 

“Kita kuatkan pemahaman agama pada Rangga Ma. Itu kan nasehat  yang
diberikan para ustad di Indonesia sebelum kita pergi kemari.” Mas Pram
mencoba menenangkan aku.

“Di Indonesia lebih mudah Mas, kita bisa pilih sekolah sesuai dengan
keyakinan yang kita punya. Kita bisa panggil Ustad agar Rangga belajar
agama. Suasana keluarga dan tetangga kita pun mendukung norma yang kita
anut.” Aku bangkit melepaskan pelukanku. Kutatap suamiku lekat-lekat.




“Tapi disini Mas? Mas Pram sibuk. Aku? Hmh…aku bahkan
masih kesulitan menghadapi duniaku yang baru disini. Yaa…demi Rangga,
aku akan berusaha untuk selalu menanamkan nilai-nilai itu Mas. Tapi
menurut mbak Via sahabatku, masa remaja adalah masa sulit Mas, masanya
mereka lebih mendengar apa kata teman-temannya. Mbak Via kan guru SMP
Mas, masa sih dia salah. Aku semakin khawatir karena Rangga anak yang
pendiam dan tertutup. Mas tahu sendiri kan, sulit sekali menyuruh
Rangga menceritakan apa saja yang dialaminya bersama teman-temannya di
sekolah. Jawabannya pasti, ‘lupa Ma,’ atau ‘begitu aja Ma kayak
biasanya.’ Nanti kalau dia punya pacar, apa dia mau cerita sama kita
apa saja yang dilakukannya? Kalau enggak gimana? Bingung kan Mas.”
Segala kegalauan meluncur deras dari mulutku.




“Sayang, aku juga mengkhawatirkan Rangga, dan aku ingin
kita bersama-sama berusaha mencari jalan keluarnya. Kalau tanya lagi ke
mbak Via gimana?” Pram menatapku, menunggu jawaban.

“Bisa aja sih Mas, tapi dia tidak biasa berkirim surat elektronik. Dia
jarang bersentuhan dengan komputer, sibuk dengan pekerjaannya di
Indonesia. Tapi aku akan coba menghubunginya lewat telepon.”




“Oh iya, Mama kan baru bergabung dengan kelompok diskusi di dunia maya. Itu lho,
yang Mama bilang anggotanya ibu-ibu Indonesia semua. Katanya mereka
pintar-pintar, dan sebagian dari mereka juga tinggal di luar negeri
kan, malah tersebar di berbagai negara.  Selama ini kan Mama cuma jadi
pengamat, coba deh mulai giat bertanya, gimana Ma?” tanya Pram bersemangat.

***




Beberapa hari berselang, aku mencoba usul suamiku. Aku
membagi pengalamanku dalam kelompok diskusi itu dan meminta saran
mereka. “Tapi yang kamu ceritakan itu orang Belanda kan? Tak heran,
memang budaya mereka begitu koq,” tulis seorang ibu yang tinggal di
Amerika menanggapi. “Aku malah pernah menemukan cerita seperti itu dari
temanku orang Indonesia yang sudah puluhan tahun tinggal di Amerika.
Anak gadisnya sering gonta-ganti pasangan, bahkan jelas-jelas tidur
bersama pacarnya di rumah mereka. Ayah ibunya tak kuasa untuk
menasehati lagi. Mereka malah bilang, daripada main belakang? Daripada
saya tidak tahu apa yang dilakukan anak gadis saya? Lebih baik saya
mengijinkan anak saya tidur dengan pacarnya di rumah, begitu kata
mereka.”




Oh, membacanya hatiku kembali gundah. Haruskah aku
mengorbankan norma agama dan adat ketimuran pada anakku, demi karir
suamiku serta kehidupan perekonomian yang lebih baik? Ternyata begitu
sulit membesarkan anak remaja di luar negeri. “Ah, sama aja kok, nggak di Indonesia, nggak di luar negeri, membesarkan anak remaja jaman sekarang memang nggak
gampang. Buktinya saat ini, berapa banyak gadis-gadis remaja di
Indonesia yang sudah hamil di luar nikah, bahkan menjual diri. Padahal
orangtuanya berkecukupan,” tulis seorang ibu lainnya. “Dimana pun kita
tinggal, semua akhirnya berpulang pada kita orangtuanya kan. Di Amerika
sini banyak sekali orang India. Mereka bisa koq  mendidik anak-anak
mereka sambil tetap memegang teguh adat-istiadat, budaya dan agamanya.
Teman saya menikah bahkan dijodohkan. Padahal mereka dari lahir sampai
dewasa hingga beranak-pinak juga tinggal di Amerika.”




Hmm…betul juga. Asalkan mau berusaha pasti ada
jalan, buktinya orang-orang India itu berhasil.Bagaimana ya caranya
agar anakku bisa tetap memegang norma-norma yang kami anut? “Bangunlah
komunikasi dua arah, jadilah teman buat anak, dan cari lingkungan yang
sama-sama memegang norma-norma tersebut. Kenapa? Supaya saat semangat
kita jatuh, masih ada kawan yang mendorong dan mengingatkan,” pesan
ibu-ibu di dunia maya itu.




Hmm…cara komunikasi dengan anak ternyata sangat penting. Duh,
bisakah aku merubah cara berkomunikasiku dengan Rangga. Dia anak yang
tertutup. Belum lagi, kata mereka aku harus mulai mencicil pendidikan
seks yang benar sejak dini pada anak.

Aku mengingat betul jawaban seorang ibu yang juga seorang psikolog
dalam kelompok diskusi itu, “Lebih baik anak-anak tahu dari orangtuanya
sendiri tentang seks, daripada mengetahui dari sumber lain. Dengan
begitu anak menjadi percaya penuh pada orangtuanya. Kalau mereka
bingung mereka akan bertanya pada orangtua. Alhasil, mereka akan
terbuka dan bercerita apa saja pada kita orangtuanya. Keuntungannya,
kita jadi tahu apa yang mereka pikirkan dan lakukan. Kita juga bisa
memberikan pendidikan seks yang benar, bukan yang malah merusak. Yang
paling utama lagi, kita tetap bisa memasukkan norma-norma yang kita
anut. Tapi jangan dogmatis ya, mereka malah lari nanti,” katanya
panjang lebar.




Uh, mulutku rasanya sudah tak tahan ingin segera
menceritakan hasil diskusi itu pada mas Pram. Tapi, baru minggu depan
dia kembali dari Prancis. Mas Pram…mas Pram…kau
memang suami dan ayah yang hebat. Bagiku nyaris sempurna. Satu hal
cacatmu yang sering menggangguku kini, kau tak lagi punya cukup waktu
untukku! Dulu, sebelum tidur adalah saat istimewa bagi kita. Saatnya
untuk saling bercerita, mengikat makna-makna yang tercecer dari
perjalanan hari-hari kita. Kini, pekerjaan membuatmu jarang berada di
rumah.




Ya, itulah pilihan yang telah kita ambil bukan? Andai
kau tahu Mas, ketika kau tak ada, bebanku semakin menggunung rasanya.
Membesarkan Rangga di negeri ini, dan membuatnya tetap memegang norma,
sungguh tak mudah kan Mas? Namun, hidupku adalah engkau. Aku
mencintaimu Mas, juga Rangga. Aku akan coba melakukan hal terbaik yang
kubisa. Demi Rangga, buah cinta kita…  

***




“Mama, aku boleh ikut acara perpisahan bersama
teman-teman di sekolah kan?” tanya Rangga sambil memasukkan sesuap nasi
ke mulutnya. Deg! Jantungku seketika berdegup lebih cepat.
Opor ayam yang masih tersisa dipiringku tak lagi menggiurkan untuk
kusantap. Apa yang salah dengan pertanyaan Rangga? Hasil tes ujian
sudah diumumkan. Rangga akan meninggalkan sekolah dasar. Ah, hanya
sekedar acara perpisahan anak SD, kenapa tidak boleh? Apa kata
teman-temannya nanti kalau ia tidak datang ke acara perpisahan itu? Ia
butuh pengakuan dari teman-temannya kan? Anak seusia itu kerap
mendapatkan tekanan dari teman-teman sebaya bila tampak nyeleneh.




Ya…ya…kalau ini Indonesia, aku tak akan berubah panik
seperti ini. Dua tahun telah berlalu sejak kegelisahan itu. Kegelisahan
membesarkan Rangga di negeri orang. Dua tahun pula aku mencoba
memperbaiki cara berkomunikasiku dengan Rangga. Memberanikan diri
sedikit demi sedikit membuka tabir tentang apa itu seks. Dan aku pun
berupaya menanamkan nilai-nilai adat ketimuran serta agama yang kuanut.
Perlahan tapi pasti aku bisa berdiskusi dengannya tentang mimpi basah
dan menjelaskan mengapa seorang perempuan bisa hamil. Aku mencari
buku-buku yang bisa menjelaskan soal seks secara sederhana  sesuai
dengan usianya.




Pembicaraan seputar seks ini kian gencar aku lakukan
setelah aku terkaget-kaget melihat Rangga mendapatkan penggemar wanita
pertama kali. Laura, penggemar pertamanya adalah teman satu kelasnya
sendiri. Sepulang sekolah, tiba-tiba saja Rangga mengeluarkan setangkai
bunga mawar merah dari dalam tasnya. Aku pikir Rangga akan
memberikannya padaku sebagai kejutan. Ternyata, ia malah membuangnya ke
tempat sampah.”Kenapa kau buang bunga itu Rangga?” tanyaku waktu itu.
“Laura bilang dia suka sama aku, sambil memberikan bunga ini. Hmh…aku nggak suka sama dia Ma. Lebih baik aku buang saja bunga ini. Aku kan masih kecil, belum mau pacaran.” Jawabnya polos.




Phfuih…mendengar jawaban Rangga,
keterkejutanku berubah menjadi kelegaan. O…O…Jagoanku mulai digemari
wanita rupanya. Hmm…Bangga? Tentu saja. Tapi rasa was-was malah semakin
menggunung. Ini artinya, hormon remaja Rangga dan teman-teman sebayanya
mulai bekerja. Bisa gawat kalau aku tak sering-sering berdiskusi soal
ini dengan Rangga. Sejak itu, aku mulai memberikan wacana, apa yang
boleh dan tidak boleh ia lakukan dengan lawan jenisnya beserta
alasannya. Apalagi setelah ia mendapatkan pelajaran tentang seks di
grup delapan, aku tak lagi kaku berbicara tentang pendidikan seks pada
Rangga. ”Ada saatnya Rangga, ketika kamu dewasa nanti. Ketika  kamu
jatuh cinta dan sudah menikah, ketika hubungan dengan lawan jenis sudah
dihalalkan, semua akan lebih indah dan membahagiakan,” kataku waktu itu.




Kini, Rangga sangat ingin menghadiri acara perpisahan
bersama teman-teman di sekolahnya. Kenapa begitu sulit untuk
mengijinkan? Bukankah nilai-nilai moral dan agama sudah cukup tertanam
dibenak Rangga? Bukankah aku sudah cukup berhasil membina komunikasi
dan berbicara seks dengan Rangga? Semua telah berjalan sesuai
keinginanku dua tahun yang lalu. Apalagi yang aku cemaskan? Inilah saat
ujian sesungguhnya. Aku tak mungkin menjadikan Rangga manusia yang
‘bersih dari kuman’ dan hanya mengurungnya di rumah saja kan? Rangga
juga harus terpapar ‘kuman’. Teori dan pemahamannya selama ini harus
dibenturkan agar ia mampu mengambil sikap. Ketahanan seseorang akan
teruji setelah ia bertempur di medan laga bukan? 




Gimana Ma? Mama koq lama banget mikirnya. Boleh nggak? Robert sudah bertanya terus, memaksaku untuk ikut. Boleh ya Ma?” Rangga merajuk.

Hening. Aku hanya mengelus rambutnya, tak mampu berkata-kata.

“Hmm…pasti mama khawatir ya? Tenang aja Ma, aku tahu koq
Ma apa yang tidak boleh aku lakukan. Aku tidak boleh minum alkohol,
alkohol tidak baik bagi kesehatanku.  Aku tidak boleh mendekati zina.
Aku tidak boleh melakukan hubungan suami istri dengan teman wanitaku
sebelum aku menikah. Aku belum siap, aku ingin sekolah tinggi, aku
belum dewasa. Aku tidak akan bahagia kalau semua kulakukan sekarang.
Bukan begitu Ma?”




“Iya sayang, Mama tahu kamu bisa menjaga diri. Tapi
boleh Mama menunda jawabannya? Kita bicarakan apa yang terbaik buatmu
nanti ya.”

Oh…mas Pram…mas Pram, kenapa lagi-lagi disaat genting seperti ini kau
sedang dinas ke luar negeri. Bicara lewat telepon lagi? Hmh…Semoga saja
Rangga masih sabar menunggu aku menelponmu. Aku tidak akan sepusing ini
kalau saja aku tak tahu apa yang biasa terjadi di acara perpisahan anak
SD di Belanda. Pemerintah Belanda membolehkan seorang anak berhubungan
badan pada usia 12 tahun. Dan di negeri ini, sudah tak aneh bila kondom
disediakan sebagai peralatan standar dalam acara perpisahan anak-anak
SD.




“Mas, aku bingung sekali. Menurut Mas gimana? Apa kita
membolehkan Rangga pergi? Kalau dia terpengaruh teman-temannya gimana?”
segera kuhubungi mas Pram lewat telepon genggamnya.

“Memang ini pilihan yang sulit Nesya. Tapi inilah saatnya ujian itu kan. Bekal selama ini rasanya sudah cukup untuk mengijinkan dia pergi ke acara perpisahan itu.”

“Betulkah begitu Mas? Aku selalu khawatir. Bagaimana kalau dia tergoda
ajakan temannya dan melupakan nilai-nilai yang telah kita berikan.”

“Percayalah padanya Sayang. Rangga anak yang baik. Bicarakan
kecemasan-kecemasan kita padanya. Bicarakan pula tindakan apa yang akan
dia ambil kalau teman-temannya merayunya.”




***




Sambil melingkarkan tangannya di pundakku dan mencium pipiku, Rangga
pamit,“Ma, aku pergi. Mama percaya sama aku ya Ma. Aku akan baik-baik
aja Ma.”

Dag-dig-dug di hatiku masih saja sama. Namun, akhirnya meluncur juga kata-kata itu dari mulutku, “Pergilah Sayang, Mama percaya sama kamu.”

Tuhan, lindungi anakku… Aku rela didera rasa cemas ini, demi sebuah
ujian kehidupan bagi anakku. Inilah ujian sesungguhnya bagi remaja
seusianya. Benturan-benturan seperti inilah yang akan menempanya
menjadi manusia sejati bukan? Ya, bila ia lulus. Tapi bila tidak? Oh,
tanganku mendadak dingin, nadiku pun berdenyut semakin kencang.




(Groningen-Maret 2006)


Dimuat disini : http://www.ranesi.nl/tema/budaya/kumpulan_cerpen_ranesi/kecemasan_mama060522



Wednesday, May 3, 2006

"Mengajarkan Jiwa Wirausaha, Bikin Matre?"






“Wah
ternyata Ibu Stephen King suka membeli karya-karya King kecil dengan sejumlah
uang! Bagus nih, pasti ibunya ingin King punya jiwa enterpreneur
(wirausaha).” Suamiku menceritakan secuil hasil bacaannya dari buku ‘Stephen
King on Writing'. Ah ya, cocok dengan kata-kata Aa Gym yang aku baca dari sebuah
artikel di koran Pikiran Rakyat (3 April 2005). "Didiklah anak-anak agar
memiliki jiwa wirausaha. Kalau perlu, gaji lah mereka untuk mengerjakan suatu
pekerjaan. Orangtua juga perlu terus membangun kemampuan berhemat anak serta
kemampuan untuk tidak meremehkan jerih payah orang lain. Kalau anak-anak sudah
tahu kepahitan cari uang, maka mereka akan menjadi pejuang yang tangguh dalam
hidup ini."







“Ah
anak-anak kecil diajarin cari uang, ntar matre lo!” Begitu kata seorang
kawan. Tapi di koran itu juga dikatakan bahwa tanggungjawab, kreativitas dan
mampu mengambil keputusan adalah sifat yang akan muncul pada anak jika jiwa
wirausaha ditumbuhkan sejak dini. Sifat tersebut juga merupakan modal bagi
keberhasilan hidup anak saat ia dewasa. Hmm…iya juga ya. Matre atau tidak
tergantung cara hidup orangtuanya kan. Aku lihat, di sekolah Lala juga ada
program membangun jiwa wirausaha murid-muridnya. Setahun sekali kerap diadakan
'Hari Buku' disana. Biasanya pada hari itu anak-anak diminta untuk menjual
buku-buku bekas. Harganya betul-betul murah, mulai dari 10 cent Euro hingga 1 Euro. Lalu apa yang bisa kulakukan untuk
anak-anakku ya?







Ah
ya, Koningen Dag (hari Ratu)! Mengapa tidak berjualan pada hari ini
saja? Asyiknya, pada hari Ratu ini ada acara VrijeMarkt alias pasar
bebas. Jadi masyarakat boleh bebas berjualan apa saja barang-barang bekas
dengan harga miring tanpa harus membayar pajak. Setiap hari Ratu yang jatuh pada tanggal 30 April,
atau 29 April (jika tanggal 30 April jatuh pada hari Minggu) negeri Belanda
pasti dipenuhi warna orange. Rakyat berpesta memenuhi jalan dengan
pernak-pernik baju, topi, bahkan mencat wajah, rambut dan tubuhnya dengan
orange.







Sewaktu
ratu Juliana masih hidup dan berkuasa dulu, tanggal itu selalu diperingati
untuk merayakan hari ulangtahunnya. Nah, setelah ratu Juliana meninggal dan
digantikan oleh ratu Beatrix, ratu Beatrix meminta supaya hari Ratu tetap jatuh pada tanggal 30 April saja.
Sebab, ulangtahun ratu Beatrix tanggal 31 Januari, dan pada tanggal itu katanya
pamali kalau diadakan pesta. Entah apa alasannya, masih dingin kali ye
hehe.







Tapi
sayangnya di Groningen kota tempatku tinggal, makanan tidak boleh dijual bebas.
Padahal di Amsterdam, makanan homemade pun boleh dijual. Kenapa ya?
Katanya sih khawatir dengan kebersihan dan keamanan. Tapi temanku yang lain
mengatakan di Groningen juga boleh menjual makanan. Entahlah beritanya simpang siur. Padahal aku sudah
bertekad mau berjualan siomay dan rempeyek.”Jadi apa enggak sih jualannya,
boleh apa enggak sih? Mau belanja nih…” Aku bingung. Lalu temanku
bertanya langsung pada gemeente, eh ternyata di jawab,” Tidak boleh!” Hu
hu hu padahal aku sudah bersemangat baja. Eh, tapi tiba-tiba datang lagi
laporan dari temanku. “Cuek aja jualan, wong setiap tahun temennya temenku itu
jualan makanan dan asyik asyik aja koq nggak pernah ada yang negur.”







Duh,
daripada tak yakin akhirnya sehari sebelum hari H aku betul-betul mewanti-wanti
suamiku,” Telepon gementee ya Yah, jangan lupa!” Dan hasilnya: Dilarang
berjualan Homemade Food! Sama sekali tidak boleh! Waks…gimana nih,
padahal semangat sudah menggelora. “Ah udah nekat aja, kalo diusir ya udah
makanannya bawa pulang lagi dimakan sendiri,” kata temanku lagi. Oke deh kalau
gitu demi melatih anak-anak berjualan, dan demi sesuap Euro hehe, apapun yang
terjadi positif jualan!







Hup!
Jam 6.30 pagi suamiku langsung siap-siap berangkat. Kalau kesiangan, bisa-bisa
jualan batal karena tak kebagian tempat untuk jualan. Walaupun mataku masih
ingin terpejam dan badan masih pegal-pegal, tapi aku pun harus segera
bersiap-siap menyusul. Semalaman aku sibuk membuat siomay dan suamiku sibuk
membuat rempeyek. Alhasil kami tidur cukup larut. Tapi, anak-anak sangat bersemangat lho! Mereka kami suruh memilih
mainan yang akan dijual. Apa ya? “Wayang aja deh, wayang ini kan nggak pernah
dipake.”







Wah
hujan lebat disertai hagel(es) pula! Bisa-bisa acara jualan batal nih. Tapi, alhamdulillah,
si hujan datang hanya setengah jam saja . Akhirnya aku dan anak-anak segera
menyusul ke tempat tujuan. Wow, pinggir-pinggir jalan betul-betul dipenuhi
orang berjualan! Gemeente merelakan jalan sepanjang Ubbo Emmius Singelstraat dipenuhi lapak-lapak barang dagangan
masyarakat. Mainan, puzzle, perabot rumah, buku, sepatu, baju dan perkakas
rumah tangga lainnya berjejer rapi di atas selembar alas plastik atau karpet.
Ada yang berjualan makanan tidak ya? Jangan-jangan aku betul-betul akan diusir
karena hanya sendirian berjualan makanan. Eh, ternyata ada! Tuh kan, untung
saja kami nekat hehe.







Aku
pun segera mengeluarkan barang daganganku, siomay dan rempeyek. Teman ku, mbak
Indah, menjual lumpia. Dan kami pun menjual sedikit mainan anak-anak titipan
seorang kawan. Dan tentu saja si wayang tak ketinggalan kami pajang di lapak
kami. “Anak-anak, ayo duduk disini ya. Nanti kalau ada orang yang mau beli,
ditawarin ya.” Aku mulai memberikan instruksi pada anak-anak. “Mainan yang
besar 1 Euro, yang kecil 50 cent, dan wayang 1 Euro yaa..” Lala, Malik dan
Novi,anak mbak Indah, cuma mengangguk.







Saat
seorang wanita datang melihat-lihat lapak kami, segera aku suruh mereka
beraksi. Ealah, mereka ternyata malah nyengir malu-malu. “Ayo, bilangin ke
tantenya harga mainan-mainan itu. Tanya, tantenya mau yang mana,”dorongku lagi.
Aik sambil memperlihatkan gigi-giginya bersuara, “Een euro…” Suaranya nyaris
tak terdengar, grogi rupanya hehe. Lala hanya bolak-balik jalan kesana kemari,
tak mau mengeluarkan suaranya. Walah…gimana bisa laku dagangannya hehe.







Khawatir
hujan datang lagi, suamiku memasang tenda di seberang lapak kami. Langsung saja
anak-anak berhamburan ke tenda meninggalkan barang dagangannya. Beruntung kami
mendapat tempat cukup strategis. Ada taman berumput untuk memasang tenda kami dan juga kursi. Pembeli makanan kami
bisa langsung makan di kursi itu. Uh…ge-er! Adakah orang yang mau membeli
makanan yang kami jual? Hu hu hu…tunggu punya tunggu, ternyata sampai pukul
11.00 makanan kami tak terjamah. Sabar dong…sabar…Tuh, ada Meneer memelototi
harga makanan kami tuh! “Berapa harganya?” Si meneer menatapku sambil memegang
satu bungkus rempeyek.”Twee Euro (dua Euro),”jawabku. Wah, dia ambil 2 lho! “Rempeyek Ayah laku nih yee.” Mesam-mesem
aku goda suamiku.







Sayangnya
suamiku hanya membuat 6 bungkus rempeyek.”Segini aja ah! Nggorengnya capek,
dapetnya nggak seberapa,” katanya semalam. Yo wis, aku sih manut
saja. Wong niatnya memang hanya untuk memberi pengalaman berjualan pada
anak. Tak lama, seorang nyonya Belanda datang menghampiri lapak kami. Apa yang
dibelinya? Rempeyek lagi! Beberapa menit berlalu, seorang wanita Indonesia kemudian datang bersama suami Bulai nya.
Dia mengambil satu bungkus rempeyek, segera membayar dan pergi. Sedetik..dua
detik…Eh, balik lagi tuh si Nyonya! “Enak euy, saya ambil satu lagi ya!”
Tersenyum lebar, diserahkannya koin 2 Euro padaku.







“Rempeyek Ayah laku ya Bun. Udah berapa orang yang beli Bun?
Udah 3 orang ya Bun? Udah dapet berapa Euro Bun?” Itu rupanya yang menarik bagi
Lala. Setiap datang ke lapak, pertanyaannya selalu sama. Berdiri dan menawarkan dagangan pada pembeli? Oh No!
Sama sekali pekerjaan yang tidak menarik bagi Lala hehe.







Duh
sedihnya jadi pedagang, berjam-jam menunggu, siomay ku tak satu pun ada yang
membeli. “Dimakan sendiri aja ah, laper hehe.” Aku dan temanku sama-sama
mengisi perut dengan dagangan kami. Suamiku pun memberikan sebungkus siomay
pada tetangga lapak kami. Sudah jam satu siang, siomay dan lumpia masih utuh mejeng
di atas meja. “Kemahalan kali ya, turunin aja deh harganya Yah.” Suamiku pun
mengganti harga yang tertera di selembar kertas. Saat datang pengunjung asal
Indonesia, aku pun segera menghampiri mereka.”Harga spesial deh Mbak, udah diturunin
nih, tadinya semangkok 3 Euro, sekarang 2 Euro nih kalau Mbak beli 3 mangkok.”
Aku membujuk si Mbak. Horee! Si mbak mau beli! Akhirnya ada juga yang mau beli
siomayku, meski harus menurunkan harga hiks.







Satu
jam kemudian…”Wah ada siomay! aku mau dong..aku mau satu dong…aku juga…aku
juga….” Rombongan mahasiswa Indonesia datang dan memborong siomayku! “Enak
Mbak…enak..!” Jawaban mereka membuatku senang.
“Tapi… hu..hu..hu…nyesel! Tadi kenapa harganya diturunin ya Yah. Tau
bakal banyak orang Indonesia dateng, mau sabar nunggu deh, ada yang nggak
kebagian juga tuh padahal,” keluhku pada suamiku. Ealah..koq nggak bersyukur.
Padahal pemesan lewat mulut ke mulut juga kan sudah ada. Astagfirullah, Ah!
dasar manusia, dikasih hati minta rempelo hehe.







Laris
manis! Siomay dan rempeyek habis terjual. Duh senangnya, kerja capek semalaman
berbuah Euro hehe. Aku berkeliling sebentar melihat dagangan orang lain. Wah
ada puzzle magnet, bisa buat Malik nih. Harganya 50 cent Euro saja, alias
limaribu perak, lumayan banget! Masih bagus dan lengkap pula. Temanku malah
mendapat puzzle 1000 keping dalam keadaan utuh dan masih sangat bagus dengan
harga yang sama. Senang memang belanja di vrijemarkt ini. Lala juga
mendapat boneka beruang besar gratis. Tetangga lapak yang aku beri siomay tadi
memberikan boneka beruang itu untuk Lala . Balas saja kali yee hehe.







Pukul
2 siang, kami memberesi lapak kami. Capek. Tapi aku jelas tidak kapok, dapat
Euro je hehe. Tahun depan aku berniat akan berjualan lagi. Mungkin
anak-anak bisa aku minta untuk membuat jus buah dan menjualnya di pasar rakyat
ini. Aku lihat banyak anak-anak Belanda melakukannya tadi. Ide bagus.
Mudah-mudahan kalau mereka membuat sendiri, ceritanya akan lain. Siapa tahu
mereka mau menunggui dan menawarkan dagangannya tanpa malu-malu lagi.







Ah
tapi apapun respon mereka tak jadi soal. Yang penting hari ini mereka sudah
melihat sendiri dan mencoba sendiri bagaimana rasanya jadi pedagang. Mereka
juga tahu bagaimana repotnya ayah dan bundanya mempersiapkan rempeyek dan siomay.
Dan hasilnya, puluhan Euro masuk ke celengan Bunda. “Wah Bunda dapet uang
banyak.”Lala membelalakkan matanya saat melihat uang yang kumasukkan ke dalam
celengan ku.







Bekerja
keras dan menghargai hasil jerih payah orang lain, itu yang aku ingin tunjukkan
pada mereka. Bener nih nggak
khawatir kalau anak-anakku jadi matre? Aku pernah katakan pada
Lala,”Kita boleh punya banyak uang La, tapi uang bukan segala-galanya. Uang
hanya jadi pembantu kita. Kita nggak boleh tergantung sama uang ya La.”
Kalimat-kalimat ini yang mungkin harus sering-sering aku tekankan pada mereka.
Tapi tentu saja kalimat-kalimat itu akan sia-sia kalau dalam keseharianku aku
tetap memuja uang. Ah uang, kau memang menggiurkan. Namun tak akan pernah
kubiarkan engkau menjadi raja dalam kamus hidupku!