Saturday, July 8, 2006

Parenting Blues (Part II)




"Mama boleh
deh kena parenting blues, tapi Ayah yakin itu nggak akan lama. Kita musti
contoh orangtua anak-anak pendiri Google ini Ma." Suamiku memulai
impiannya. "Duuh Ayah, orang lagi kena parenting blues malah dikasih
cerita soal parenting." Aku manyun.




"Wis
to...pokoknya Mama dengerin aja cerita Ayah, Ayah cuma mau cerita koq. Ini
cerita soal pendiri Google. Mereka itu masih muda Ma, seumuran ayah, namanya
Larry Page dan Sergery Brin. Sejak
kecil, kedua orangtua mereka (keduanya professor) mendidik mereka untuk
jago
berargumen. Mereka juga sama-sama jago matematika. Padahal mereka nggak
saling
kenal lho, mereka cuma tiba-tiba ketemu pas sama-sama ambil Phd. Tapi
typical
didikan orangtuanya sama. Anak-anaknya dibebaskan berpikir dan merdeka
dari dogma. Berargumen tentang apapun merupakan makanan mereka setiap
hari.







“Ayah lihat di
sini ada hal positif yang bisa kita ambil. Seringkali kita sebagai orang tua
merasa yang paling benar. Kita sudah berusaha untuk menghindari itu pun kadang
tanpa terasa kita masih melakukannya. Nah, kalau ingin anak-anak kita nantinya
menjadi independen, bisa mengembangkan potensi di dalam dirinya sendiri, tidak
mudah dibodohi orang, maka mereka harus dibiarkan berkembang tanpa bayangan
orang lain, terutama orang tua. Tugas kita adalah mendorong dan menciptakan
suasana agar mereka bisa bebas menceritakan pikiran dan perasaannya, walaupun
itu mungkin bertentangan sekali dengan tradisi dan agama. Kita ingin tahu,
sebenarnya apa yang ada di dalam diri mereka, bukan sebaliknya, kita memaksakan
pandangan kita kepada mereka.







“Hal prinsip
yang kita ajarkan kepada mereka itu sederhana: “Kenali rasa dan pikiran dalam
dirimu, dan ikuti ilham yang membawa kepada kebaikan. Ambil pilihan dan lakukan
sesuatu karena memang kamu memilihnya, bukan karena ayah bunda atau orang lain
menyuruhmu. Ini Ma yang prinsip. Selanjutnya kita bimbing mereka kepada jalan
yang bisa menemukan ilham kebenaran itu. Misalnya, melalui doa kepada Allah,
sholat, memikirkan ciptaan Allah, memikirkan perasaan orang lain, dan
lain-lain. Mereka kita motivasi untuk menyampaikan hasil-hasil temuan ‘inner
journey
’ (perjalanan ke dalam diri) mereka.”







"Hmm..."
gumamku cuek. Tapi sebetulnya aku mikir juga.







Selama ini
walaupun kami sudah berusaha, sepertinya tetap ada yang salah dari pola
pengasuhan kami. Kami mencoba untuk memberi alasan dari setiap tindakan, tapi
mungkin tanpa sadar kami membuat mereka jadi harus selalu nurut. Atau mungkin
memang begitulah karakter anak-anak kami, especially my daughter yang memang perfeksionis
itu, entahlah. Yang jelas bulan-bulan terakhir ini, kalau mau apa-apa Lala
selalu minta persetujuan dulu,"Boleh? Atau nggak boleh?" Dan akhirnya
adeknya ikut-ikutan. Padahal rasanya aku jarang melarang dia, kalaupun melarang
pasti ada alasan, atau sebetulnya bahasa tubuhku melarang kali ya hehe. My
daughter itu memang pinter kalo soal nangkep-nangkep bahasa tubuh dan sinyal
ketidakberesan.







“Jadi Ma, kalo
bisa nggak ada lagi istilah boleh dan tidak boleh buat anak kita ya. Tapi
mereka lebih baik mengungkapkan maunya dan ngasih alasannya. Mereka nggak harus
nurut apa kata kita. Kedua pemuda pendiri Google itu pokoknya hebat deh, mereka
mandiri sekali. Bahkan ketika pemberi modal mereka meminta harus ada CEO di
perusahaan mereka, mereka menolak dengan sangat. Mereka begitu karena mereka ‘keras kepala’
memegang prinsip. Padahal kan pemberi modal bisa
menarik modalnya kalau mereka nggak nurut. Akhirnya seorang CEO diterima, tapi itu pun setelah melalui proses yang
sangat panjang.”







“Lha ayah gimana
sih, kalo kayak gitu ntar kebablasan dong, kan tetep ada aturan yang musti
diikutin Yah. Tuh kalo Lala milih nggak mau sholat gitu gimana?”







“Iya..iya…
ngajarin aturan itu otomatis Ma, pelan-pelan lah, yang penting sekarang kita
biarkan dulu mereka berani mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Mama sendiri
yang dulu bilang, ngajarin sholat nggak boleh dengan paksaan, jangan dogmatis.
Kalo lagi nggak mau ya biarin dulu, kita yang musti cari cara lain.”







“Semua itu bisa
Yah kalo kondisi lagi normal, tapi seringnya kan enggak. Yang PMS lah, yang
capek lah, yang banyak kerjaan lah.” Aku pesimis.







“Jadi masalahnya bukan
pada anak-anak, tetapi pada diri kita sendiri kan. Positif Ma...positif!

Anak-anak disuruh positif thinking, bundanya gimana, ayo dong…Gimana kalo kita
rubah paradigma kita. Kalau mereka lagi rewel, anggap mereka itu calon presiden
atau calon pemimpin masa depan kayak si Larry dan Sergerry . Lihat tuh…tuh
calon presiden kita lagi mewek hehehe. ” Suamiku malah senyum-senyum memandang
Malik yang mulai rewel.








“Huaaa…pusiing…pusiiing
Yah! Kakehan (kebanyakan) teori! Kumaha Ayah wae lah…paling-paling
nggak tahan lama…” Pikiran negatifku masih
nempel terus di kepalaku.







Dan begitu
lah…aku masih ogah-ogahan soal parenting, tapi ternyata suamiku betul-betul
merealisasikan pikirannya. Setiap kali anak-anakku rewel, dia malah menciumi
mereka habis-habisan, menggelitiki perutnya sampai mereka cekikikan.
Betul-betul menganggap anak-anaknya calon penemu masa depan barangkali hehe.
Hih kalo aku sih mana tahan, capek. Paling-paling aku cuma manyun. Sesudah
mereka bisa tersenyum, suamiku lalu menyelipkan pesan-pesannya pada
mereka,”Lala dan Aik inget ya, Lala dan Aik boleh bilang apa aja, nggak usah
selalu ikut ayah bunda.” Kalau anak-anakku mulai bertanya lagi dengan ‘boleh’?
Suamiku langsung jawab,”Bukan boleh
atau tidak boleh, bilang mau apa, kenapa dan bagaimana?”







Mau nggak mau
aku jadi terpengaruh, sesekali aku ikuti jejak suamiku. Eh ternyata lumayan ngepek!
Pertanyaan boleh dan tidak boleh
lama-lama munculnya tak lagi sering. Waktu kami melihat tempat kemping
dan berniat akan kemping setelah liburan tiba, Lala mengeluh,”Ah..saai…(boring).”
Aku langsung protes,” Lala kan belum coba La.” Eh tiba-tiba Lala berani bilang,
”Bunda, setiap orang kan punya pilihan masing-masing. Lala kan nggak harus sama
dengan Bunda.” Nah lo! Padahal biasanya dia langsung nurut sama Bunda. “Hebat
La, bagus itu Lala berani bilang perasaan Lala,” suamiku langsung memujinya
habis-habisan.




***




Sejak itu aku beranjak bangkit, tapi masih jalan ditempat,
sebatas jadi pengikut setia suamiku. Aku ceritakan sharingnya mbak Me di milis
WRM kepada suamiku. Kalau anaknya lagi susah sholat, mbak Me akan bilang,”That’s
your life. I just want to help you because I love you
.” Mungkin kata-kata
ini bisa jadi mantra ajaib, suamiku pun mencobanya ke Lala. Kadang-kadang
ditambahi kata-kata,” Lala mau kan kita berkumpul lagi di surga nanti?”
Beberapa kali cara ini berhasil. Tapi belakangan dia sering bilang, “Oke Lala sholat karena disuruh sama Ayah dan
Allah, sebetulnya mbak Lala nggak mau.” Wah berarti bertentangan nih dengan niat semula yang hendak
memerdekakan pikiran dan perasaaannya. Pada dasarnya kami ingin membuat dia
sholat tapi dengan kemauannya sendiri, mengerti esensi sholat yaitu cinta kepada
Allah. Bukan karena kewajiban, ditakuti-takuti dengan neraka kalau
meninggalkan, tapi bukan pula dilepas begitu saja. Suamiku masih trial-error
mencari cara yang paling pas.






Tapi suatu kali
tiba-tiba Lala minta ikut sholat dan
menangis dalam sholatnya. Lala menangis karena sayang sama Allah katanya.
Wah suamiku langsung deh ngomporin aku. “Tuh Ma, liat…anaknya pinter gitu lho…Mama
jangan mengeneralisir persoalan Ma. Coba liat sisi positifnya anak kita, belum
tentu ada di anak lain, mereka nggak selamanya jelek kan Ma.







"Banding-bandingin
anak itu neraka dunia, don’t be to hard on yourself, jangan melulu
melihat kekurangan anak-anak, bukan cuma Mama yang suka merasakan blues-blues
itu, ibu-ibu lain juga. Temen-temen Mama tuh yang bilang, bener kan Ma yang
mereka bilang… ”







Ya betul sekali! Sebelumnya semua pesan-pesan itu sekedar
masuk telinga kanan keluar telinga kiri, nggak ada yang nyangkut ke hatiku.
Tapi seiring berjalannya waktu—ketika kepenatan telah pergi—pesan-pesan dari
suamiku, dari sahabat-sahabatku dan dari bacaan-bacaan yang tiba-tiba mampir ke
mataku itu, tiba-tiba muncul lagi dan menggelitiki hatiku. Apalagi saat melihat
Lala yang mendadak mau cuci piring tanpa disuruh, pinter cari solusi buat
adeknya yang nangis, dan dapat nilai A semua saat bagi raport. Aah…rupanya
dunia memang berputar. Tak selamanya tingkah anakku membuat kepalaku pening.
Mereka bukan boneka yang cuma diam. Mereka sedang belajar. Mereka cuma sesekali
berulah, boleh kan? Wong orang dewasa aja kadang-kadang butuh berhenti sejenak
koq. Hari ini mereka menangis, besok mereka tertawa. Hari ini mereka malas
besok mungkin mereka rajin. Barangkali my daughter memang tergolong cuek
dibandingkan anak lain, tapi sesekali dia masih mau koq bantuin orang lain.







Parenting
blues-ku ini rasanya memang belum pulih
benar. Tapi kehadirannya ternyata memberi banyak arti. Aku malah mensyukurinya
kini. Bukankah sesekali manusia memang harus jatuh, supaya dia tahu caranya
berdiri lagi? Sebetulnya apa obatnya ya? Ah ternyata obat itu datang sendiri.
Tak apa menangis, tak apa mengeluh, tak apa sesekali merasa tak berguna,
semua ibu pasti pernah merasakannya.
Keluarkan saja, toh tak akan berlangsung seterusnya. Kata hati yang akan
bicara, ya ternyata itu kuncinya, ikuti kata hati! Doa-doa kita, usaha-usaha
kita menjadi seorang ibu mestinya tak ada yang sia-sia. Pertolongan selalu
datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Sesudah kesulitan tentu ada
kemudahan, itu janji Allah kan. Suami, sahabat, bacaan-bacaan ringan yang tak
sengaja hadir, mereka kadang menjadi peri-peri penolong yang dikirimNya.
Perjuanganku memang masih panjang. Barangkali aku masih harus melewati banyak
parenting blues lainnya. Tapi aku yakin setiap ‘blues-blues’ itu adalah
rangkaian proses yang memang harus aku lewati. Karena didalam proses itu
mestinya terdapat pesan-pesan yang bisa membantuku menjadi orangtua yang sesuai
dengan kehendakNya. Bukankah itu yang selalu kuminta?