Thursday, October 26, 2006

Foto kue bikinanku, dalam rangka narsis hehe




Lagi iseng-iseng ngumpulin kue-kue yang pernah kubuat, ternyata lumayan banyak juga, walopun dari dulu sampe sekarang setelah kuperhatikan baek-baek, ternyata teteup ga bisa rapih :-)

Saturday, October 21, 2006

'Sakau' Mudik











Mudik? Katanya sudah tradisi

Mudik? Apanya yang asyik?

Mudik ? Bikin orang pada sakit!

Sakit karena pengeluaran nggak sedikit

Sakit karena di jalan terhimpit-himpit

















Tapi kenapa mudik seperti ganja?

Candunya tak mengenal usia dan kasta

Demi mudik banyak orang mendadak gila

“Mobil baru neh, bakal mudik,” kata si kaya

“Ngutang dikit, bakal beli bensin,” kata orang biasa

“Aku, di atap kereta ndak apa,”kata orang tak punya















Hey! Kemana akal mereka?

Sehingga rela melakukan apa saja!

Demi mudik yang tak seberapa

Apa gunanya?

Apa maunya?















Gila! Mungkin memang gila

Tapi semua itu fakta!

Dan aku tak ingin seperti mereka

Ah masa? Angin pun tak kan percaya!

Memangnya kenapa kalau menjadi seperti mereka?















Duhai Mudik, kenapa kau bikin addict?

Seperti ganja, ya seperti ganja!

Satu dua lebaran masih biasa saja

Tapi tiga? Ugh!…diubun-ubun rasanya

Karenamu, aku ‘sakau’ menahan rindu!







Oooh Mudik… mahkluk apa gerangan dirimu?!







Groningen, Menjelang hari Fitri, 21 Oktober 2006

‘Sakau’ memang asoy! Gara-gara dah 3 lebaran nggak pulang hiks...






Mohon maaf lahir batin buat semua…

Selamat lebaran yaaa….:-)



















Monday, October 16, 2006

'Sang Pemimpi'

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Andrea Hirata
Hari ini airmataku tak berhenti menetes. Tangis itu sejenak kerap berhenti, tapi tak lama. Saat suamiku bertanya, "Ada apa Sayang?" Air mataku tak mau kompromi. Ia langsung mengucur lagi. Kenapa sih? Bete? Berantem? Kesel? Capek?

Oh bukan! Sungguh bukan. Aku menjadi seperti itu gara-gara membaca sebuah buku! OMG! Aje gile! Segitunya..ck..ck..ck...! Yup! Buku itu memang luar biasa. Pokoknya aku ngefands berat deh sama buku-buku karangan Andrea Hirata itu. Sekarang saja rasanya aku sudah tak sabar ingin membaca buku ketiga dan keempatnya.

Baru saja aku membaca buku "Sang Pemimpi", buku kedua dari tetralogi Laskar Pelangi. Aku belum sempat membuat review Laskar Pelangi. Tapi kesimpulanku sama, kedua buku ini sungguh memesona. Keduanya sanggup membuatku tertawa dan menangis. Bukan cuma itu, makna yang terselip dari ceritanya, daleem! Makna-makna yang tersebar itu yang membuatku menangis. Dan keunikan cerita yang dikemas dengan humor-humor yang cerdas membuatku kadang tak berhenti tertawa. Aku kagum dengan kemampuan penulis membuat metafora yang juga cerdas dan lucu. Novel ini dituturkan penulisnya berdasarkan kisah nyata. Barangkali ini lah kekuatan lain yang membuat aku sebagai pembaca merasa begitu terpikat.

Aku terheran-heran melihat seorang anak muda yang cinta mati kepada kuda hingga membuatnya lupa makan dan sekolah. Aku tertawa menyaksikan kegilaan anak-anak muda kreatif menjahili gurunya. Aku mengelus dada menyaksikan kekejaman hidup yang harus mereka pikul. Terlahir untuk melarat. Hidup mereka begitu susah bahkan sejak mereka baru bisa membuka mata.

Aku menangis haru, saat menjumpai kebeningan hati mereka. Air mataku menggenang menyaksikan bara api semangat dalam diri mereka. "Tanpa mimpi dan semangat orang seperti kita akan mati."
"Kita tak 'kan pernah mendahului nasib!"
"Kita akan sekolah ke Prancis, menjelajahi Eropa sampai ke Afrika! Apapun yang terjadi!"

Mimpi itu membuat mereka setegar karang. Dan air mataku tumpah menyaksikan kebesaran Tuhan di penghujung cerita. Subhanallah..subhanallah..hanya itu yang bisa kuucapkan. Betapa sempurnanya Tuhan mengatur potongan-potongan mozaik hidup mereka. Aku melongok hidupku. Sungguh malu rasanya aku. Diberi hidup senikmat ini tapi kadang masih juga selalu merasa kurang. Lihatlah mereka, hidup begitu kejam pada mereka. Tapi mereka tak berhenti bermimpi, tak berhenti berjuang, tak berhenti berpositive thingking. Dan...tengoklah, kun fayakun! Allahu Akbar! Seperti tongkat Musa membelah laut merah, akhirnya pungguk pun tak lagi merindukan bulan. 'Hanya' karena mimpi!

Inspiring! Buku ini membuat aku sebagai pembaca tergerak untuk tak mengabaikan mimpi-mimpiku. Semangat buku ini menulariku untuk berjuang dan terus berjuang seberat apapun tantangan yang menghadang. Dan yang terpenting, buku ini pun membuat ku semakin melihat kebesaran dan keadilan Tuhan pada umatnya. Highly recomended book deh pokoknya! Nggak heran kalo buku ini langsung cetak ulang dalam sepuluh hari!

Monday, October 2, 2006

“Pencarian Tuhan ala Bocah”








“Allah
itu dibikin dari apa Bun?” tanya Malik polos. Jujur, saat itu saya bingung
menjawab pertanyaannya. Semalam saya tak bisa tidur. Iseng-iseng, saya membuka
kembali catatan harian tentang
perkembangan spiritual anak-anak saya. Saya jadi teringat, tiga bulan lalu,
Malik, putra saya yang berusia 4,5 tahun, memang sedang gandrung dengan
pertanyaan seputar Allah. Karena bingung, saya balik bertanya,”Menurut Aik,
Allah dibikin dari apa?” Tanpa ragu, ia seketika menjawab,”Dari angin Bun.”




Wow
dari angin? Saya kaget dengan jawabannya. Tapi saya dan suami meyakini bahwa
anak-anak adalah makhluk spiritual. Kami
sepakat untuk berusaha memberikan kebebasan berpikir dan membuat mereka
tak terkekang dogma. Kami yakin imajinasinya tak perlu dihambat, hanya perlu
diarahkan hingga akhirnya ia bisa menemukan sendiri jawabannya. Jadi, jawaban
Malik saat itu saya biarkan saja. Saya hanya balas bertanya,”Kenapa Allah
terbuat dari angin Ik?” “Karena Angin nggak keliatan Bun, Allah juga nggak keliatan,”
balas Malik. Hmm…alasannya memang logis, pikir saya. Tapi karena saya
sedang repot, diskusi kami saat itu terhenti. Saya katakan padanya untuk
bertanya lain hari pada ayahnya.




Sebulan
kemudian, lagi-lagi Malik berbicara tentang Allah. “Allah itu ada laki-laki,
ada perempuan,"katanya.
Lala, kakaknya menyangkal. "Endak lo, Allah itu ndak laki-laki juga ndak
perempuan." Suara Malik langsung meninggi. "Iya! Allah itu ada laki-laki ada
perempuan. Aik laki-laki, berarti ada Allah laki-laki. Mbak Lala perempuan, ada
Allah perempuan!" Malik ngeyel. "Menurut Aik begitu ya, Iya kekuasaan Allah ada di laki-laki dan
perempuan," Suami saya berusaha untuk tidak menyalahkan Malik. Tapi Malik
tetap ingin benar sendiri. "Ayah! Aik bilang Allah itu ada laki-laki ada perempuan!" Teriaknya
galak. Hmm..oke..oke…ayahnya pun sementara membiarkan saja pernyataan Malik.
Maklum, anak seusia itu memang hanya mengerti hal-hal yang konkret.




Tiga
hari sesudahnya Malik mendengar kakaknya
menangis sambil berkata,”Mbak lala sayang sama Allah.” Malik lagi-lagi
langsung ikut bersuara soal Allah. "Allah ada disini ( sambil menunjuk
lantai di sebelah Lala), disini (menunjuk hidungnya sendiri
:-)), dan disini (menunjuk pintu). Allah ada disemua,"
katanya lucu. Lalu Malik menghampiri saya,"Allah juga ada disini Bun,”
katanya sambil menunjuk bola transparan. “Tapi di dalem situ Allah bisa
bernapas." Saya tersenyum mendengarnya. Artinya Malik paham bahwa bila
manusia yang berada di dalam bola itu pasti tidak bisa bernapas.




"Oh
menurut Aik begitu ya?" tanya saya. "Iya, Allah ada dimana-mana,”
jawabnya yakin. "Siapa yang kasih tau Aik?" saya penasaran. "Juf
(bu guru),” balas Malik sambil nyengir. Saya kaget! Sungguh! Saya
tinggal di Belanda dan anak saya bersekolah di sekolah negeri. Apa betul di
negara sekuler ini masih ada guru yang mau berbicara soal Tuhan dengan
muridnya? “"Betul begitu Ik? Juf yang kasih tau? Memang Aik tanya sama
Juf?" Mata saya sepertinya hampir melotot karena tak percaya. "Iya Bun,
Echt (betul banget)!" Malik mengangguk kuat.




Wah
anak saya betul-betul berani bertanya kepada ibu gurunya soal Allah?! Saya
semakin kaget. "Aik gimana tanyanya sama Juf?" Saya sungguh
penasaran. "Juf, Wat is Allah?" jawabnya. "Oh ya, Aik tanya begitu?"
Saya masih tak percaya. Malik mengangguk. "Terus Juf jawab apa Ik?"
Dan jawaban Malik membuat saya semakin tak percaya. "Allah is allevorm
(semua bentuk). Allah is vierkant (segiempat), Allah is
driehoeken(segitiga)." Aik menirukan Jufnya. "Bunda, Allah juga bisa
ngomong Italia, Deutchland(Jerman), Prancis, semua negara-negara Allah bisa
ngomong," lanjut Malik lagi.
Saya
yakin betul, belum pernah saya dan suami saya mengatakan hal ini pada Malik.
Jadi apakah Malik betul-betul mendapat jawaban itu dari juf nya?






Akhirnya untuk menghilangkan rasa penasaran,
sepulang sekolah saya meminta konfirmasi kepada juf."Apakah Malik pernah
bertanya tentang Allah?"tanya saya.
Bu guru itu pun menjawab,” No...he never ask me
about that
!" Olala...jadi semua betul-betul imajinasi Malik! Tapi
mengapa ia bisa mengarang cerita seperti itu? Hati saya tak berhenti
tertawa juga menerka-nerka, barangkali
inilah bentuk pencarian Tuhan ala bocah, pikir saya.




Dan
pencarian Malik masih saja berlanjut. Beberapa hari sesudahnya saya ingatkan
suami saya untuk menjawab pertanyaan Malik soal terbuat dari apa Allah. Lala
yang pemahamannya sudah lebih baik langsung menjawab,”Allah terbuat dari semua,
betul kan Ayah?" Mendengarnya Malik langsung protes,"Mbak Lala fout (salah)!" Mbak Lala itu
Allah? (dengan nada suara menyalahkan) Ayah itu Allah? (masih dengan nada yang
sama) Aik itu Allah? (nadanya semakin menyalahkan) Bukan!" Jawab Malik
sengit. "Manusia nggak ada yang tau Allah terbuat dari apa Ik," suami
saya langsung menengahi.




"Allah
terbuat dari niks (bukan apa-apa)!" Seru Malik galak. Tapi karena jawaban
asal dari mulutnya itu saya pikir betul, saya pun langsung menimpali. "Oh
iya Aik betul sekali, Allah terbuat dari niks.” Tiba-tiba Lala
menambahkan,"Tapi kita bisa tau Allah terbuat dari apa nanti di
surga." "Iya La betul sekali. Mbak Lala pinter, Aik juga pinter
pengen tau tentang Allah. Seperti nabi Ibrahim yang mencari siapa Tuhannya itu
lho. Inget kan Aik..." Lalu suami saya kembali mengulangi cerita nabi
Ibrahim. Malik sok cuek, seperti tak mendengarkan ayahnya bercerita. Tapi
sambil memainkan legonya rupanya diam-diam dia serius mendengarkan ayahnya
bercerita. Setelah cerita selesai, tiba-tiba Malik berbisik pelan,” Maksud Aik,
Allah terbuat dari niks (bukan apa-apa), karena harus dilihat dulu nanti di
surga," Hmm…lagi-lagi saya tersenyum sambil bergumam dalam hati, syukurlah
rupanya Malik mulai bisa menemukan ‘pencarian’ Tuhannya.




Selesaikah
pencarian Malik? Oh rupanya belum. Hari berikutnya lagi ketika suami saya
sedang menggoda Malik dengan berebutan buah melon, Malik bertanya,”Melon ini
buat ayah atau buat Allah? “ Suami saya balas bertanya,”Allah bisa makan ya Ik?"
Dengan penuh percaya diri Malik menjawab,”Bisa. Kalo nggak makan nanti Allah
mati." Hehehe saya geli sekali dan ingin tahu imajinasi Malik lebih lanjut.
"Allah makannya apa Ik?" tanya saya. "Makan melon, makan
semua!"




Mendengarnya,
Lala yang berdiri di sebelah Malik cekikikan sambil berkata sok
dewasa,"Aik...Aik...Allah itu terbuat dari niks, jadi Allah makan
niks." Malik tak mau kalah,"Allah terbuat dari niks tapi bisa liat semua, bisa
liat melon juga, bisa makan juga." Lalu analisa Malik berlanjut.
"Allah punya gigi? atau ndak?" Ayahnya menjawab,"Allah terbuat dari niks, berarti nggak punya gigi
Ik." Setelah beberapa saat termenung, Malik berkata, "Allah ndak punya gigi,
Allah itu baby atau oma (nenek)?" Hehehe saya tertawa lagi. "Allah itu bukan baby, bukan oma, bukan
semua," balas ayahnya. " Allah itu Tuhan! Hmm...Aik...Aik..."
timpal mbak Lala sok dewasa. Saya tak berhenti tertawa, tapi saya maklum, anak
seusia Malik memang hanya mengerti hal-hal yang kongkret. Tak heran bila
‘pencarian’nya tentang Tuhan menjadi dialog yang ganjil dan lucu.




Namun,
beberapa minggu kemudian tawa saya berubah. Saat itu suami saya tak berhenti
menggelitiki Malik, dan Malik marah besar. "Sebesar apa marahnya Aik ke
ayah? tanya saya. " Dari Belanda sampe Afrika. Eh ehm.. maksud Aik Sebesar
bumi!" kata Malik. Tapi Lala membela ayahnya,"Kalo mbak Lala, mbak
Lala sayang sama ayah, sayangnya dari matahari sampe pluto." Lantas Malik
pun menyahut,"Aik marah sama ayah dari matahari sampe pluto!" Tapi
yang membuat saya heran, kalimatnya tak berhenti sampai disitu. Dengan semangat
ia berkata,"Dan Aik sayang sama Allah dari matahari sampe pluto!"




Ya
Allah…saya sungguh terharu mendengarnya. Apakah pencarian Tuhan ala Malik
memang berakhir indah? Dengan cinta yang begitu besar kepada Tuhannya? Entahlah,
saya hanya bisa berdoa semoga semua itu benar dan kekal adanya. Namun yang
pasti, saya semakin yakin bahwa pelajaran tentang Tuhan bagi anak-anak sungguh
abstrak dan tak mudah. Anak-anak adalah mahkluk spiritual, dan saya,
orangtuanya sekalipun, tak berhak untuk mematahkan imajinasi mereka tentang
Tuhan. Tugas saya hanya lah membimbing serta mengarahkan. Dan ternyata dengan
caranya sendiri ia menemukan Tuhan versi bocah. Bahkan dengan cinta yang tak
terbayangkan, dari matahari hingga pluto!