Tuesday, February 23, 2010

"Why Do I Write?"

“Why do I write? Why do I write? Why do I write?,” Just like a bee buzzing around flowers, this question come up to my mind ever and ever again, wherever I am. Yes, Why do I write? Isn’t it odd? I have been writing for several years, but I never ask this question, this fundamental question. This question keep bothering me since somebody suggested me to ask my self about it.
 
Then, in a lovely evening, when my children was playing around me and my husband was working in his ‘laboratory’, I took a deep breath, lied in my bed, pondered to answer this question deeply. I tried to look for the answer, but my mind just kept silent and my heart didn’t give any signal even one clue. I waited and waited, hoping the answer would pop up in my mind, but useless. I felt bad and tired. Oh God, why is it so difficult to answer the question?
 
“Why do you think I write?” I asked my husband suddenly. “Hmm..good question,” He said. His warm eyes stared at me for a second and then he continued,” Who else will write about medical problems if not you.  How many doctors who write compare to million doctors in Indonesia? How many books are written by doctors? Our country still needs a lot of books, even though there are some similar books, more books, hundred books, thousand books are still needed. You have a talent, a chance, you have to be the one who write, like or dislike. That is your destiny!”

What? Destiny? I woke up and looked at him. “How dare you said about destiny. I never have a dream to be a writer, I want to be a doctor! You know how hard to write a book and sometimes I even want to cry and scream as hard as I can when I stuck, didn’t know what I had to write. I’m struggling with my self, collecting spirit to continue writing my unfinished book. That’s why I need several years to write it, several years Honey! You know it” I got upset.

“Of course I know, but that is your destiny, believe me,” my husband murmured.

Oh Nooooo! Please don’t! I don’t want to be a writer! Sometimes,  my heart screamed and made an affirmation that I don’t like writing and don’t want to be a writer. There was a time when I falled in love with writing and there was also a time when I hated writing. But, maybe my husband is right, I don’t know. The more I run, the more ‘universe conspire’ to make writing become closer to me.
 
When I falled in love with writing, I was very happy knowing that writing can make us healthier, younger and reduce wrinkle, according to Fatima Mernissi, a famous woman writer. I was also glad when Dr Pennebaker, a researcher, said that writing can reduce stress, solve problems, clear our mind and increase our knowledge. But, when I hated writing, I didn’t want to write at all for months, for years. I didn’t touch my diary, I even felt pain in my heart when I heard about writing. It was weird, indeed. But, I really have experienced a feeling as I was fly in the sky but then falled down to the deepest part of the earth.

So, when ‘universe conspire’ to make writing become closer to me, I feel like stand up in the middle of a tiny bridge that has no handle. If I don’t go away through the bridge, I will fall down to the left or to the right of the river. I’m in the middle of nowhere, looking for a light that can make me go through the bridge. That’s why  it was so difficult for me to answer question,’why do I write.’
 
Several weeks ago, I read someone's article about his dream to be a writer. He had read tremendous books, wrote several articles and hoping  a publisher could publish his works. He really wanted to be a writer but he hadn’t got a chance yet. Reading his dream touched me a lot that time. His writing gave me a strong message,”Look, somebody out there really wants to be a writer and look at you now, you even didn’t do anything to achieve it, universe has opened the chance for you, just like that.” Oh, I feel so ungrateful. I do apologize to God because of my thankless.
 
Now, after reading several resources looking for the answer, I understand that writing is not about destiny (even though somewhat true), writing is about a choice! There is no doubt anymore about the advantages of writing, either for ourselves or the reader. But, whoever you are, you can be a writer, you don't have to be talented, you can choose to be a writer with your own reason.Become a writer doesn’t mean you have to publish books or articles in the newspaper. If we can publish our books and become famous that is just the side effect. But actually, writing is about a choice and spiritual activities for ourselves.

Thinking a lot about that recently make me realize that for me now, writing is not only a way to express my feeling, to speak, to spread my idea, to increase my knowledge, to keep my brain healthy, to keep me younger than my age, but also to appreciate my live, to live twice, to enjoy my live in detail, to know my selves deeply and to to be grateful with my wonderful life. So, when you ask me now ‘why do I write’? I can answer it surely that I write because it is my choice to be grateful to have a wonderful life!
 

Sunday, February 21, 2010

Listen a lot, Memanusiakan Anak dan Bermimpi

Ketika aku membaca tips penting bagi penulis menurut Natalie Goldberg dalam bukunya ‘ Writing Down the Bones’, hatiku langsung tergerak untuk mencatat dan merekamnya baik-baik. “Read a lot, listen a lot, and write a lot,” demikian tips penting tersebut. Dan yang tidak bisa diabaikan adalah ‘listen a lot,’ with all of  your body. Sering kita ngobrol ngalor ngidul dengan siapapun atau jalan-jalan ke suatu tempat, tapi kalau kita tak berusaha mendengar dengan seluruh indra kita, banyak hal yang kemudian terabaikan dan terlupa.

Sejak ingat tips itu, aku lalu merenung-renung, apakah aku selama ini sudah melakukannya? Kadang ya kadang tidak, aku sadar, aku harus lebih mengasahnya lagi. Namun soal ‘listen a lot’, aku rasa, sejak aku mulai tertarik dengan dunia tulis menulis, tanpa sadar, ketika ada hal-hal menarik untuk dicatat, otakku sudah langsung ingin merekamnya baik-baik. Kalau aku beruntung, aku akan mencatatnya dalam diariku lalu hal menarik itu akan menjadi sebuah tulisan, namun kalau tidak tercatat, kejadian menarik itu lalu hanya tinggal kenangan. Kalau kejadian itu sungguh menarik, kadang meski aku malas mencatat, ada dorongan yang menarik-narik aku untuk menulisnya. Meski waktu terus berjalan ditelan kesibukan, tapi beberapa bulan kemudian dorongan itu tiba-tiba muncul lagi. Aku kemudian sangat ingin menuliskannya, merecall semua memory tentangnya dan akhirnya jadilah sebuah tulisan. Aneh memang, tapi itulah yang terjadi barangkali, ketika kita sudah meniatkan dan ‘mengajak’ tubuh kita untuk ‘listen a lot’.

Kemarin, saat di perjalanan pulang dari Zootermer ke Diemen, kawan baikku yang seorang perawat dengan senang hati mengantarkan aku pulang. Sepanjang jalan kami ngobrol banyak hal. Aku lalu bertanya di mana dia bekerja.”Aku kerja di RS St. Lucas, di bagian anak,” Jawabnya. Tiba-tiba saja barisan kata-kata Natalie Goldberg soal ‘listen a lot’ langsung muncul di kepalaku. Seperti seorang bos menyuruh sekretarisnya untuk mencatat, otakku seperti berkata padaku,”Ayo, dengarkan dan catat baik-baik!” Dan inilah hasil ‘Listen a lot’ ku kemarin dengan kawan perawatku itu.

Sejak punya anak, aku sangat concern pada dunia anak-anak. Herannya, kehidupanku di Belanda pun membuat aku bertemu dengan beberapa wanita hebat yang urusannya tak jauh dari seputar anak. Mereka telah menginspirasi aku, mengobarkan semangatku sehingga mimpi-mimpiku yang semula sudah kukubur dalam-dalam kembali bangkit. Karena itu lah pendengaranku menjadi lebih sensitif ketika seseorang menyebut tentang permasalahan seputar anak. Mungkin itu pula sebabnya, saat temanku itu bilang bahwa ia bekerja di bagian anak, aku jadi langsung alert.

Alhamdulillah, anak-anakku belum pernah punya pengalaman dirawat inap di rumah sakit di Belanda, jadi aku tak memiliki gambaran seperti apa perawatan bagi anak-anak sakit di Belanda.  Yang kutahu, dulu ketika kaki putriku masuk ke jari-jari sepeda dan perlu di gips, dokter dan perawatnya sangat ramah padanya. Sebelum di gips, perawat menjelaskan padanya apa saja yang akan dilakukan dokter pada kakinya. Lalu, setelah di gips dan pulang, ia boleh memilih hadiah, hadiahnya saat itu adalah boneka rusa yang lucu. Dan setelah perawatan selesai, lalu gips dicopot, anakku pun mendapat diploma gips! Wah tentu saja dia senang bukan kepalang. Oya, saat hendak digips, putriku juga boleh memilih warna gipsnya, ada merah, putih, biru, hijau, sayangnya waktu itu tidak ada pink, jadi putriku pilih warna merah.

Begitu juga saat anak bungsuku (4 tahun usianya kala itu) tangannya kejepit pintu. Sebelum di rontgen, dia boleh memilih sticker dan kertas mewarnai. Setelah selesai di perban (karena alhamdulillah ga ada yang patah), dia boleh memilih hadiah boneka lucu juga. Pokoknya pulang dari rumah sakit, anak-anakku bahagia banget karena mendapat hadiah dari rumah sakit.

Tapi ternyata itu belum seberapa, karena menurut kawanku yang perawat tadi, anak-anak yang di rawat berhari-hari biasanya setelah dirawat bahkan tak mau pulang ke rumah! Haa? Koq bisa? “Ya gimana enggak, wong di rumah sakit semua mainan disediain. Ada Wii, ada play stasion, game komputer, TV dan bahkan setiap setelah mendapat tindakan mereka dapat satu hadiah. Setelah di ambil darah dapat hadiah, setelah dilakukan sonde, diinfus, diambil darah lagi, ya dapat hadiah lagi. Jadi pulang dari rumah sakit, anak-anak itu bisa membawa sekarung hadiah!” Wow! Cuma kata itu yang bisa keluar dari mulutku.

Anak-anak yang sakit itu sangat dimanusiakan. Di setiap ruang kamar bahkan ada 2 orang pedagogish werker (ahli pedagogi) yang khusus menangani masalah psikologis anak. Sebelum di infus misalnya, si pedagogis ini akan memberikan gambar-gambar dan penjelasan pada si anak apa saja yang akan dilakukan dokter nanti padanya.”Kamu akan diinfus. Nanti jarum dan selang ini akan dimasukkan ke tubuhmu, supaya kamu ga dehidrasi. Itu memang sakit, tapi hanya sebentar, tapi tubuh kamu memerlukannya,” begitu kira-kira penjelasan sang ahli pedagogi.
 

Jadi, anak sama sekali tidak dibohongi. Karena memang disuntik sakit ya akan dibilang sakit. Anak-anak pun pastinya takut ada yang menangis, tapi itu bukan alasan untuk lantas boleh membohongi mereka. Akan lebih menyakitkan bagi mereka bila mereka dibohongi. Jadi mereka tetap diberi penjelasan sebelum dilakukan tindakan. “Dari umur berapa Mba, anak-anak itu diberi penjelasan?” tanyaku penasaran. “Ya sejak mereka bisa ngomong,” jawab si Mba. “Kalau anaknya masih bayi, orangtuanya yang dipanggil dan diberi penjelasan.”

Asyiknya lagi, orangtua-orangtua ini diberi pilihan, mau melihat anaknya saat diinfus atau tidak. Dan dokter yang menginfus hanya boleh diberi kesempatan dua kali. Setelah dua kali gagal, harus dokter lain atau supervisornya yang menggantikannya, kasihan kan kalau anak ditusuk-tusuk dan gagal terus.

Hmm…mendengarnya, aku langsung teringat rumah sakit-rumah sakit di Indonesia. Aku dengar, sekarang sudah ada rumah sakit-rumah sakit swasta yang memberikan pelayanan oke, meski bayarnya selangit, dan tentu saja hanya anak-anak kalangan ‘the have’ yang bisa merasakannya. Sementara disini, semua anak mendapatkan perlakuan yang sama, karena setiap warga memang wajib ikut asuransi kesehatan. Jadi kuncinya memang ada di asuransi kesehatan. Tapi kalau ngomongin asuransi kesehatan di Indonesia, kepalaku jadi senut-senut. Aku lebih baik bermimpi, agar suatu saat anak-anak yang sakit di Indonesia juga bisa mendapatkan perlakuan yang layak dari orang dewasa di sekitarnya.

Pesan dari ‘Listen a lot’ ku hari itu memang singkat, tapi membuat semangatku menguat untuk mengejar mimpi-mimpiku. ‘Listen a lot’ dan tetaplah bermimpi, itu lah pelajaran besar bagiku dari obrolanku dengan temanku hari itu. “Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu,” kata Aray dalam buku Sang Pemimpi. Dan semoga Tuhan berkenan memeluk mimpi-mimpiku.

 

Friday, February 12, 2010

Being 'Alien'

Aku tak pernah menyangka bila akhirnya perjalanan hidup membuatku harus mencicipi rasanya keterasingan, menjadi orang asing, menjadi sosok aneh yang tak lazim. Kadang, mereka memandangku sebelah mata, mentatap lama-lama, dan menganggapku sebagai manusia penebar murka. Meski memang tak semua, namun awalnya berat juga. Aku bahkan sempat menitikkan air mata.

Suatu kali ketika aku sedang berbelanja di pasar tradisional ala Eropa, aku telah menunggu dengan lama dan berusaha bertanya. Namun sang penjual tak mau menyapaku juga. Meski akhirnya aku dilayaninya, namun dipandangnya aku dengan mata tak suka. Kali lain, ketika aku dekat dengan anak-anak balita Belanda lantaran kerap menjaga mereka saat jam istirahat sekolah, orangtua-orangtua mereka sering menghunjamkan matanya padaku lama-lama. Pernah, anak bule ganteng berumur 5 tahun bernama Boaz, ketika papanya menjemput, dipamerkannya aku pada papanya dan disapanya aku dengan mesra. Ayahnya yang semula menatapku sekilas lalu segera membalikkan badannya. Dipandanginya aku dari ujung kaki sampai ujung kepala, hingga kemudian ia berlalu bersama anaknya. Sreet! Hatiku tergores seketika. Betapa hina aku dimatanya, hingga ia harus memelototi aku sedemikian rupa. Ah, sudahlah biarkan saja, tak kenal maka tak sayang begitu kan kata orang, hiburku mencoba menghapus goresan luka.

Lama-lama aku mulai terbiasa. Tak kupedulikan lagi tatapan-tatapan mata dan gerak gerik yang memandangku curiga. Pede aja lagi, emang gue pikirin, kataku membatin. Seorang anak perempuan ABG, berkulit pekat asal Curasau, pernah pula menatapku dengan mata bertanya-tanya,”Apa yang kamu pakai di kepalamu itu? Kenapa kamu memakainya?” tanyanya sambil menjulurkan kepalanya mendekatiku, meneliti wajah dan kerudungku lamat-lamat. Aku tersenyum dan menjelaskan sebisaku. Keheranannya saat menelitiku membuatku geli. Melihatku, ia betul-betul seperti melihat alien, belum pernah seumur hidupnya dilihatnya seorang wanita menutupi kepalanya dengan kerudung, karena ia baru saja datang dari Curasau, sebuah negeri mantan jajahan Belanda di dekat Amerika sana. Aku maklum, sangat maklum dengan keluguannya.

Namun, aku tak lagi bisa maklum ketika seorang wanita paruh baya menghinaku nyata-nyata.”Perempuan berkerudung itu bodoh, kuno! Enak saja kalian harus berkerudung sementara suami-suami kalian, para lelaki itu tak perlu menutup kepalanya. Aku sering takut melihat berita di TV tentang kaum kalian, teroris.” Meski aku sudah menjelaskan bahwa di negeriku, kaumku tidak seperti itu, aku bukan teroris, ia tetap ngeyel. Pertemuan berikutnya dengan wanita itu membuat aku kesal luar biasa. “Bukan karena kamu muslim, karena kamu pake jilbab, tapi kamu memang nggak bisa kerja!” Tuduhnya semena-mena. “Buat apa aku bayar kamu kalau kerjamu lama sekali, ini bukan karena kamu muslim!” Lagi-lagi diungkit-ungkitnya soal agama dan kerudung. Darahku mendidih. Aku tak sanggup lagi. Aku betul-betul terhina. ”Oke mevrouw, tak perlu kau bayar aku! Aku tak butuh uangmu!” Tanpa babibu, segera kukemasi barang-barangku dan pergi dari rumah nyonya besar itu. Dengan dada sesak menahan amarah, kukayuh sepedaku perlahan, meski kemudian aku tak kuasa melanjutkan. Sepedaku harus segera kuhentikan karena air mataku bercucuran, tumpah tak tertahan.

Tapi kejadian itu menguatkan aku. Kepahitan itu menempa hatiku. Sejak itu, apapun kata orang dan pandangan orang tentangku, hatiku bergeming, tak ada lagi goresan atau sesak di dadaku. Aku sadar, bagi mereka, aku memang asing. Namun aku tak ingin keterasingan itu meluluhlantakkan hatiku. Apa gunanya? Toh, Tuhan memang menciptakan manusia berbeda, aku yang harus paham.

Aku kemudian terbiasa menjadi ‘alien’ dalam kelas-kelas yang aku ambil. Kelas bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan olahraga. Aku selalu berbeda, sendirian. Tatapan-tatapan mata aneh, obrolan tak bersahabat di awal pertemuan, kerap kualami. Ah, tapi siapa yang peduli, hatiku pun sudah tak pernah tergores lagi. Aku sudah kebal!

Kini, aku nyaman-nyaman saja bertemu dengan siapapun dan ditatap seperti apapun. Ketika harus menemani suamiku makan malam di sebuah restaurant Italia terkenal bersama rekan kerjanya di Amsterdam, aku satu-satunya yang berkerudung. Diantara puluhan manusia beramput pirang, aku pede saja duduk dan mengobrol bersama mereka. Mungkin karena sekarang aku tinggal di Amsterdam, banyak orang sudah paham. Melihat kerudungku, tanpa diminta, petugas restaurant malah memberi tahu aku,”Makanan yang ini vegetaris, yang ini ayam dan yang ini sapi, tidak ada babi,” katanya. Tanpa diminta, istri bos suamiku pun tiba-tiba bercerita tentang adiknya yang masuk Islam.”Awalnya bagi kami berat, tapi ya mau bagaimana lagi. Sekarang kami sudah terbiasa,” tuturnya ramah.

Begitu juga ketika aku menghadiri pernikahan seorang kawan, di sebuah gereja. Diantara puluhan pria bule berjas dan berdasi serta wanitanya yang bergaun anggun, aku lagi-lagi menjadi ‘the only one’. Bukannya aku kegeeran, tapi aku sadar, hampir semua mata menatapku ketika aku memasuki ruang gereja itu. Tapi lagi-lagi aku melenggang dengan tenang, menebar senyuman.

Being ‘alien’, tak pernah kusesali, karena ia telah mengajari aku untuk berhati lapang dan mengasahku untuk tidak menangis dengan gampang. Aku tidak bisa memaksa orang lain untuk memahami aku, tapi aku yang harus sadar bahwa perilaku mereka sangat wajar lantaran perbedaan latar belakang. Karena itulah ketika kemudian tatapan-tatapan aneh itu muncul lagi, aku tetap bisa melenggang dengan riang.

Thursday, February 11, 2010

Catatan Cinta Sang Istri

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Parenting & Families
Author:Meidya Derni
Sudah lama aku dikirimi buku ini langsung oleh penulisnya dari Amerika, wah seneng banget dong (makasih ya mba Me), tapi baru kali ini aku sempat bikin reviewnya.

Buku ini mengisahkan pengalaman pribadi penulis dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang seperti naik roller coaster, kata penulis. Yang menarik, penulis bukan hanya mengisahkan perjuangan beratnya, suka dukanya melalui pernikahan tahun-tahun pertama, tapi juga ada quote-quote penyemangat, serta tips-tips praktis yang bisa diterapkan untuk menjadi orang yang lebih baik dan mencapai kebahagiaan keluarga.

Membaca buku ini serasa membaca pengalaman pribadiku sendiri. Ada bagian-bagian yang membuatku merasa ‘gue banget’ saat penulis menceritakan perjuangan hidup di luar negeri, menemani suami yang sedang studi dengan gaji pas-pasan, dengan dua orang anak masih kecil-kecil pula. Ditambah lagi sebelumnya penulis tidak bisa masak, terbiasa hidup enak di Indonesia, terbiasa aktif, punya penghasilan sendiri, persis seperti yang kualami. Namun tentu saja, pengalaman penulis yang menikah tanpa pacaran sebelumnya, dan baru mengenal pasangan setelah di boyong suami ke Amerika, sungguh sebuah perjuangan berat yang aku tidak mengalaminya. Jadi boleh dibilang, perjuangan penulis dobel-dobel disini. Hidup di luar negeri saja sudah berat, apalagi baru memulai adaptasi dengan pasangan ditambah dengan cobaan-cobaan yang datang bertubi-tubi, wah!

Namun, hebatnya, penulis bisa mengambil pelajaran dari setiap jeritan hati dan penderitaan yang ia rasakan sehingga malah menghasilkan tips-tips berharga. Menikah adalah sebuah jenjang dalam kehidupan seseorang yang memang membawa perubahan luar biasa. Ketika perbedaan dengan pasangan begitu terasa, seringnya pernikahan bukannya membawa bahagia tapi malah petaka. Di buku ini, penulis menceritakan bagaimana perjuangannya berdamai dengan perbedaan hingga bisa menciptakan keluarga yang harmonis dan bahagia. Buku ini sungguh layak dibaca oleh siapa saja, yang belum menikah, hendak menikah maupun yang sudah menikah. Banyak cerita dan tips bermanfaat yang membuat kita tergoda untuk melaksanakannya. Banyak pula tebaran hikmah yang membuat kita merasa malu bila tidak menjadi orang yang bersyukur.

11 February 2010

Dedicated to mba Me, sang wanita tangguh…
Teruslah berkarya dan menebar wangi bunga dimana-mana mba! J