Sunday, April 23, 2006

"Mau Pipisin Bunda!"



"Aik mau pipisin Bunda!" kata Aik sambil betul-betul membuka celana dan mengeluarkan
kemaluannya di depanku. Aku terhenyak. "Aik!" Sentakku. Ya Allah,
kenapa anakku sangat tidak sopan begini. Apakah aku telah gagal menjadi
seorang ibu yang baik? Sesak merayapi dadaku. Dan api mulai menyala di
hatiku. Mendadak kisah Malin kundang pun berkelebat dalam kepalaku.
Panas api itu semakin membakar rasanya. Kucoba untuk menahan diri. Tak
kukeluarkan sepatah kata pun. Aku tak ingin menodai keberhasilanku. Aku
sudah cukup sukses menghadapi Lala. Setelah kesadaran baru dari mbak
Neno, seingatku aku tak pernah lagi memarahi Lala. Haruskah kini aku
mendapatkan 'mangsa' baru?



Tidak! Please tolong aku Tuhan! Apakah kini aku harus menjadikan
puasaku sebagai kambing hitam? Aku sedang membayar hutang puasaku.
Orang yang sedang berpuasa memang lebih gampang terpancing emosi, wajar
kan. Tapi, bukankah menahan diri memang ujian buat orang yang sedang
berpuasa. " Huaaa...karena Bunda nggak mau cari peluitnya Aik, Aik mau
pipisin Bunda! hu..hu..hu," sambung Aik lagi.



Ggrh! Aku tak tahan. "Aik! Denger ya, Bunda marah
sekali sama Aik! Itu nggak sopan, tau nggak Aik! Aik sayang sama Bunda?
Kenapa Aik mau pipisin Bunda? Anak Bunda, anak yang sopan dan tahu
aturan. Anak Bunda bukan seperti Malin kundang, ngerti nggak Aik!"



Oh, batal! Puasaku batal! Ya Allah...ya Allah...ajari aku ya Allah,
mampukan aku! Kenapa aku tak juga mampu? Aku lelah, sangat lelah. Dan
putraku berulah. Sedari siang tadi dia rewel dan rewel saja. Tak
bolehkah aku marah Tuhan? Sedikit saja. Aku sudah berusaha untuk
menekan suaraku serendah mungkin tadi. Boleh ya Tuhan?



Uh, pertanyaan konyol! Aku tahu aku sedang mencari-cari pembenaran
dari kesalahanku. Tapi sudahlah, tak apa marah sedikit. Proses, semua
butuh proses! "Hargai keberhasilan walaupun sedikit," kuingat-ingat
pesan suamiku. Yang penting sekarang cari solusinya. Malik harus
belajar sesuatu dari kejadian ini.



Malik yang sedari tadi mengganduli kakiku, mendadak berlari ke kamar
mandi. Cuuurr...keluarlah air mancur dari kemaluannya. Oh, rupanya ide
untuk pipisin bunda itu muncul karena dia memang ingin pipis.
Hmm...berarti ini memang kecelakaan. Malik tidak bermaksud untuk kurang
ajar tentunya. Kenapa aku berpikir terlalu jauh? Menghubungkannya
dengan cerita Malin kundang. Ah, kejauhan! Malik hanya seorang anak
lelaki berumur 4 tahun yang belum lewat masa 'terrible two' nya.
Apalagi sore hari begini memang waktunya Aik mengantuk dan lapar. Uh,
jadi malu. Begini lah kalau orangtua tidak mau masuk ke dunia anak, tak
mau menyelami perasaan anak-anak, jaka sembung jadinya. Tapi
bagaimanapun aku harus mengajarinya sopan santun. Aik harus tahu
kesalahan apa yang telah dibuatnya.



"Aik,Bunda masih marah sama Aik. Aik juga marah sama Bunda. Kita
hilangin marah kita dulu ya, habis itu baru kita bicara." Aku mencoba
merubah suasana. "Hu..hu..hu... tapi Aik mau ngomong apa-apa. Aik mau
Bunda cari peluitnya Aik hu hu hu," Aik masih tak berhenti menangis.
"Iya, Bunda akan bicara sama Aik setelah Aik berhenti nangis dan bicara
yang baik," jawabku masih menyimpan kesal.



Tak lama, aku mendengar suara Malik berubah manis,"Maaf Bunda,
tolong cariin peluitnya Aik," katanya sambil menahan isak tangis. Aku
langsung menghampirinya dan bersikap manis pula," Oh, Aik pinter
sekali, marahnya udah ilang ya." Tapi, Malik betul-betul capek rupanya.
Kata-kata manisku tak mempan. Tangisnya pecah lagi.



"Aik mau peluit! huaa...Aik udah ngomong baik, Bunda nggak tahu apa-apa..huaaa!"



Hmh...kesal ku pun datang lagi. Daripada aku mengeluarkan kata-kata
yang tak enak lagi, aku pun keluar kamar. Aik masih tetap menangis. Dan
aku berusaha menata hatiku di dapur.



Tiba-tiba kemarahan Aik memuncak, teriakannya menggema dari kamar,"BUNDA! BUNDA HARUS CARI PELUITNYA AIK! Huaaa..."



"Ugh! Kenapa sih ini anak jadi sulit begini,"kesahku. Hilang! Hilang
sudah kesabaran itu. Aku diam seribu basa. Api itu membesar lagi. Tapi
aku memilih diam. Aku biarkan Aik menjerit-jerit. Lala yang ketakutan
melihat 'perseteruan' ku dengan Aik mendekati aku dengan sangat manis.
"Maaf Bunda, tolong ambilin piringnya. Mbak Lala baik kan Bun. Mbak
Lala tau aturan kan Bun," katanya takut-takut. Duh gadisku yang sangat
taat pada aturan, Bunda senang sekali Lala sudah jauh lebih baik
sekarang Nak."Iya sayang, mbak Lala pinter banget," kuberikan sebuah
senyum untuk Lala. Oh, semoga tak tampak sebagai senyum yang
dibuat-buat dimatanya.



Lalu kuhampiri Aik, kukatakan padanya,"Aik, Bunda marah sama Aik
karena Aik mau pipisin Bunda dan Aik teriak keras sekali. Bunda akan
diemin Aik sampe Aik berhenti nangis," kataku datar.



Untungnya sebuah teori parenting masih mau muncul di kepalaku. Aku
ingat pesan seorang temanku yang psikolog. Membiarkan anak menangis
kelojotan kadang perlu. Anak bisa belajar mengatasi emosinya sendiri
dan merenungi kesalahan apa yang telah diperbuatnya.



Aik meraung, menangis jejeritan, bibirnya tak berhenti mengomel. Dan
aku diam saja. Aku meladeni Lala yang sudah kelaparan. Kemudian, karena
aku tahu Aik juga lapar, iseng-iseng aku melongok ke kamar dan berkata
pada Malik,"Kalau Aik laper, sini makan sama mbak Lala."



Aik masih menangis. Tapi ia keluar dari kamar sambil menangis
sesenggukan. Aku angkat dan aku dudukkan dia di kursi. Tangisnya mulai
reda. Aku suapkan sesendok nasi sambil membaca doa mau makan ke
mulutnya. Tiba-tiba tangisnya pecah lagi,"Huaaa...maafin Aik...Huaa...."



Yes! Ini dia yang kutunggu-tunggu, akhirnya keluar juga permintaan
maaf itu dari mulutnya. Aku langsung memeluknya erat." Aik pinter Aik
mau minta maaf. Maafin Bunda juga ya Sayang..."



Suapan selanjutnya tak lagi diiringi tangis. Aku tatap Aik dan aku
katakan padanya,"Aik, Bunda sayaang sekali sama Aik. Bunda ingin Aik
jadi anak sholeh." Huaaa....Huaaa... tangis Aik pecah lagi.



"Oh Sayang, Aik merasa apa sekarang?"



"Huaa...Aik nangis karena Bunda bilang Bunda sayang Aik..hu hu hu.."



"Oh, Aik terharu ya, anak sholeh.Aik pinter. Aik tahu kenapa tadi
Bunda marah?" Kesempatan ini tak kusia-siakan untuk menyimpulkan
permasalahan. Pesan dari pelatihan emosi yang pernah kuikuti dulu
berkata, "Kendalikan dulu emosinya, nasehat belakangan."



"Hu hu hu...karena Aik teriak keras. Karena Aik mau pipisin bunda..hu hu hu..."



"Terus lain kali gimana?"



"Lain kali Aik nggak mau pipisin Bunda lagi,nggak teriak keras
lagi." Wajah Aik masih penuh air mata, tapi tangisnya sudah berubah
menjadi senyuman.



Pfhuih...lega. Mudah-mudahan pelajaran ini berharga buat Aik. Namun
tiba-tiba Aik beranjak pergi. Diambilnya tembok berlin souvenir dari
Berlin. Ia juga mengambil kertas dan pinsil. Setelah selesai
corat-coret, tangannya terulur menyerahkan kertas itu kepadaku.



"Bunda, ini buat Bunda."



"Oh bagusnya, gambar tembok berlin ya, kenapa Aik kasih ini buat Bunda?"



"Karena Aik maafin Bunda." (Aik masih kebalik-balik pengertian minta maafnya)



"Oh Aik minta maaf maksudnya ya, Aik menyesal?"



"Iiiyaa...huaaa..." angguk Aik sambil kembali menangis.



Setelah itu ia berlari lagi. Diambilnya kertas lagi, menggambar lagi.



"Bunda, ini Aik sama Bunda, Aik sayang sama Bunda. Bunda lagi cium
Aik. Aik lagi nangis. Ini air matanya (Aik menunjuk gambar air mata
yang panjang menjuntai hingga ujung kertas). Ini juga buat Bunda Bun."



Aik berlari lagi dan menggambar lagi. Berlembar-lembar gambar Aik
kuterima dengan penuh suka. Gambar sebagai bukti permintaan maafnya dan
penyesalannya. Oh, anakku, terimakasih Nak. Kini, bunda tak lagi merasa
gagal sebagai ibu. Bunda harus terus belajar kan Nak. Semoga bunda
semakin bisa menapaki proses ini. Proses panjang menjadi ibu yang mampu
menata hatinya baik-baik. Ibu yang bisa meredam emosi, agar anak-anaknya
kelak mampu bersikap bijak dalam perasaan dan tingkah lakunya. Bukan hal
mudah, sungguh. Apalagi di negeri orang begini.Tapi semoga Allah
memudahkan.