Tuesday, August 16, 2005

Ayah, Kau Begitu Berharga


Saat kau tak ada, dunia kami terasa hampa. Tak ada lagi gelak
tawa dan jerit mungil anak-anak kita. Tak ada lagi cekikik geli mereka.
Mereka rindu wajah anehmu ketika kau menjadi hamtaro yang lucu. Mereka
rindu rentetan peluk ciummu yang kadang berlebihan dan membuat mereka
kesakitan. Mereka rindu diputar-putar, mereka rindu dikejar-kejar.
Mereka rindu suaramu yang bisa mengecil dan membesar. Mereka rindu
wajahmu yang bisa berubah menyeramkan. "Aik miss ayah, mbak Lala kangen
ayah," begitu mereka berujar, hampir setiap malam. Ayah, kami sangat
rindu padamu. Kau begitu berharga. Tanpamu, dunia menjadi begitu
berbeda.



"Para ayah memiliki pengaruh luar biasa terhadap anak-anak mereka. Gaya
permainan ayah kepada anaknya yang  sangat heboh dan kadang kasar
justru merupakan cara yang penting untuk membantu anak belajar tentang
emosi. Ayah yang secara emosional terlibat dalam pengasuhan
anak-anaknya terbukti memberi kontibusi khusus bagi tumbuh kembang
mereka. Studi psikologi bahkan menunjukkan bahwa Anak-anak yang ayahnya
kerap meneguhkan perasaan mereka dan memuji prestasi mereka memiliki
hasil yang lebih baik dalam prestasi akademis dan dalam hubungan dengan
teman sebaya," kata John Gottman dan Joan DeClaire dalam bukunya
'Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional'.



Ayah. Sosok yang jarang berada di rumah. Tapi kehadirannya kadang
membuat rumah kami  bagaikan panggung sirkus bagi anak-anakku.
Kadang ia seperti badut yang menghibur penontonnya, tak jarang pula ia
bagaikan pemimpin sirkus yang menggiring pemainnya untuk berlaga ini
dan itu. Selepas kerja, anak-anak selalu menyambutnya dengan
kegirangan. Lala selalu ingin naik di pundak ayah, dan Aik selalu ingin
mengajak ayah bermain. "Main monster-monsteran yah," pintanya lucu.
Dengan kedua tangan diangkat keatas, badan bungkuk, berjalan
patah-patah, ditambah mata melotot dan wajah dibuat menyeramkan,
anak-anak berlari ketakutan, menghindari monster ayah yang hendak
menangkap mangsa.



Begitu  tertangkap, mangsa tak lagi bisa bergerak. Pipi kanan,
pipi kiri pasti habis diciumi ayah. Ciuman yang kadang nyeri, karena
kumis ayah yang datang bertubi-tubi. Belum lagi kalau monster itu
menjilati mangsanya." Hiii...ilek...! Ayah ih! Jijay bajay!" seru bunda
protes saat melihat sang monster menjilati hidung dan pipi mangsanya.
"Biarin Ma, monsternya gemes sama anak-anak kecil  ini," sahutnya
sambil tetap melanjutkan aksinya. Dan anak-anak? Tentu saja mereka
berteriak ampun-ampunan sambil berteriak geli campur kesakitan. "Ampun
monster, ampuuun!" teriak mereka bersamaan. Monster pun
menjawab,"monsternya baru mati kalo mangsanya berdoa." Dengan sigap,
tangan si mangsa menengadah dan membaca surat al-fatihah,"Gimana Bun
doanya?" kata Lala minta bantuan. Setelah selesai membaca
doa,"Agrhhhh...panas..panas...monsternya matii...!" seru monster sambil
tergeletak jatuh pura-pura mati.



Selesai? "Lagi yah...lagi...lagi monster...lagi!" suara-suara mungil
mereka tak pernah bosan meminta ayah bermain lagi. "Ayah capek sayang,
nanti lagi ya," ujar ayah kelelahan. Tapi rengekan anak tersayang
membuat ayah tak bisa diam. "Oke sekarang hamtaro ayah mau mengejar
mangsa lagi," seru ayah mulai kembali beraksi. Hamtaro adalah boneka
lucu milik anak-anakku. Si ayah memang sering menjadi apa saja semau
dia. Berlagak seperti orang-orangan sawah, tangan lurus kesamping,
dengan telapak tangan digoyang-goyang, mimik muka bodoh, bahu kedepan
dan jalan sempoyongan, hamtaro ayah mulai mencari mangsa. Anak-anak
berlarian sambil tertawa cekikikan, lucu memang.



Bila tak dilarang, mereka pasti keterusan, kasihan ayah kan, capek
bukan kepalang. Tapi walaupun capek, ayah tak pernah bosan. Setelah
makan malam, ritual sebelum tidur tetap  dijalankan. Bergantian
dengan bunda, kadang ayah bercerita seru, atau membacakan buku. Sambil
terangguk-angguk menahan kantuk, ayah berusaha membacakan buku
anak-anaknya. "Ayah nggak boleh tidur!" teriak Aik protes saat melihat
ayah yang mulai tertidur. Dan ayah pun mulai membacakan buku lagi.



Semua keceriaan itu hilang ketika ayah pergi. Walaupun ritual tidur
tetap berlangsung seperti biasa, tapi suara tawa lepas anak-anak tak
pernah terdengar lagi. "Aik miss ayah Bun, hu hu hu...mbak Lala kangen
ayah...," suara dan tangis mereka tentang kerinduan pada ayahnya hampir
terdengar setiap hari. Lucunya, suatu hari, saat makan malam bertiga,
tiba-tiba mereka bergantian menjadi ayah. "Mama, ayah mau makan," suara
Lala yang dibesar-besarkan terdengar dari kursi ayah. Setelah itu ia
tertawa kegelian,"Mbak Lala jadi ayah Bun," katanya lucu. "Sekarang
Aik, sekarang Aik! Aik mau jadi ayah," kata Aik tak mau kalah.
"Anak-anak makan ya...," kata Aik dengan suara besar di kursi ayah.
"Kek..kek..kek....sekarang hamtaro suruh jadi ayah," sahut mereka
kegelian sambil meletakkan boneka hamtaro di atas meja.



Aku geli sekali melihat ulah mereka. Tampaknya mereka betul-betul
kehilangan, sehingga berusaha untuk menggantikan sosok ayah di meja
makan. Tapi pernah juga tiba-tiba Lala bersuara girang,"Yes, sekarang
bunda nggak bisa ngobrol lagi sama ayah!" Tentu saja aku heran,"Lho
memangnya kenapa La, Lala nggak suka ya kalo bunda ngobrol sama ayah?"
Oh, rupanya Lala memang tak suka dengan kebiasaan ayah bunda yang
selalu ngobrol berdua setelah makan. Kalau ayah bunda ngobrol, Lala
merasa tak diperhatikan mungkin, jadilah dia begitu senang karena bunda
tak lagi bisa ngobrol dengan ayah hehe.



Di malam yang lain, saat hendak tidur, Aik ingin memeluk boneka tikus,
tapi karena tak ada, bunda menyuruh Aik untuk memilih boneka yang ada
saja. "Aik pilih ayah," katanya yakin. Hah, ayah? bunda bingung, oh
rupanya Aik mengambil boneka hamtaro, Aik bilang itu ayah he he. Dan Aik pun memeluk 'ayah' sambil tidur. Bunda
langsung tertawa geli, rupanya anak-anak berusaha menggantikan sosok
ayah dengan boneka hamtaro karena ayah beberapa kali sering menjadi
hamtaro ayah, hehe. Duh, anak-anak memang polos dan lucu.



Esoknya, bangun tidur, Lala dan Malik tiba-tiba berseru,"Bunda, tadi
mbak Lala mimpi ketemu ayah," kata Lala senang. "Aik juga, tadi Aik
mimpi dipeluk ayah," sahut Aik tak mau kalah. Hmm...betulkah mereka
bermimpi? Yang pasti, mereka betul-betul merasa kangen tampaknya.
Bahkan semalam, sebelum tidur, tiba-tiba Lala berdoa,"Ya Allah, semoga
aku bisa mimpi ketemu ayahku. Amin." Dan Aik, tentu saja tak mau
ketinggalan."Ya Allah, Aik kangen ayah, Aik mau mimpi ayah," bisiknya
pelan.



Selain itu, ada satu hal yang membuat mereka sungguh senang, kartu pos!
Ya, ayah mereka memang mengirimkan kartu pos spesial untuk mereka dari
Edinburgh. Saat baru saja dibuka dari kotak pos, mereka langsung
berebutan mengambilnya dan minta dibacakan. Kartu pos itu dibawa-bawa
kemanapun mereka pergi hingga beberapa jam. Dan saat kartu pos itu
hilang, tergeletak entah dimana, mereka pun kesal tak karuan. Setelah
bosan, barulah mereka tak lagi menghiraukan kartu pos itu. Waktu mereka
ingat lagi, sebelum tidur pun mereka meminta dibacakan apa yang ayah
tulis di kartu pos. "Mbak Lala tau Bun, itu patung James Watt, di deket
sekolah ayah,"kata Lala sewaktu dibacakan kartu pos dari ayah. " "Ha
ha, laki-laki pake rok, " tawa Aik dan Lala saat melihat gambar
seseorang berseragam khas lelaki Scotland--Gambar kartu pos kiriman
ayah untuk Aik. Hanya sebuah kartu pos, tapi barang itu kerap bagaikan emas bagi mereka.



Ayah, kehadiranmu begitu bermakna. Lihatlah mereka, begitu merindu dan
kehilangan. Permainanmu yang lucu dan mendebarkan, telah memberi mereka
kejutan dan kecerian. Kesabaran dan ucapmu disaat kau kelelahan, telah
menguatkan ikatan yang dalam. Sungguh tak heran bila para ahli
menyatakan bahwa ayah memiliki pengaruh luar biasa terhadap
anak-anaknya, karena hubungan ayah dengan anak ternyata memang
menimbulkan emosi yang sangat hebat dalam diri anak-anak. Kami semua
mencintaimu ayah. Hiks...











Tuesday, August 9, 2005

Kampanye Bicara Kalimat Positif


Bicara menggunakan kalimat positif sangat penting, begitu kata banyak
pakar. Anjuran itu telah lama kudengar, kutulis bahkan kucamkan dalam
benakku. "Orangtua yang selalu berbicara positif, akan membantu
menumbuhkan harga diri anak. Kata-kata positif memiliki kekuatan untuk
membuat anak merasa berguna, merasa senang, memberi harapan dan memupuk
jiwa mereka," tulis Mimi Doe, dalam bukunya 'Sepuluh Prinsip Spiritual
Parenting".



Prakteknya bagaimana, gampangkah? Wuih jangan ditanya. Susahnya bukan
kepalang. Ah masak iya? Lha iya, wong seumur-umur
orangtua kita dulu kebanyakan mencekoki kita dengan kalimat negatif je. Wajar sekali kan kalau akhirnya kalimat positif
malah menjadi kalimat yang tak terbayangkan dan sangat tidak familiar
dengan kehidupan sehari-hari. Tapi bukan berarti hendak menyalahkan
orangtua kita dulu lho. Semua pasti ada sebab, jaman dulu barangkali
penelitian para ahli belum marak. Orangtua kita pun sesungguhnya telah
berbuat yang terbaik bagi anak-anaknya pada masanya. Namun, jaman tentu
saja berubah, kalau ada yang terbukti lebih baik, kenapa tidak dicoba?



Belakangan ini aku melakukannya,  menggerakkan lagi kampanye
bicara kalimat positif dalam keluargaku. Dan hasilnya? Wow,
bagiku mencengangkan dan sekaligus membuatku malu hati. Dulu aku pernah
mencobanya, tapi hanya tahan beberapa bulan. Kepindahanku ke negeri ini
dengan segala dampaknya menguras tenagaku lahir dan batin. Waktu banyak
ku habiskan untuk menata diriku sendiri yang memang lebih membutuhkan.
Aku menjadi lebih sensitif, gampang sekali naik darah. Padahal dulu aku
termasuk ibu yang cukup sabar, walaupun memang masih kalah dibandingkan
suamiku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi ibu yang baik, bila aku
belum 'menemukan' diriku sepenuhnya.



Proses belajar terkadang memang melelahkan dan menyakitkan, tapi
tentunya akan berbuah juga. Perlahan aku mulai bangkit, mengontrol
emosiku, menata lagi kesabaranku dalam menghadapi anak-anakku. Saatnya
tiba, ketika aku mulai tersadarkan lagi untuk menggerakkan bicara
dengan kalimat positif dalam rumah kami. Entah mengapa, hati dan telingaku kini
menjadi tergelitik mendengar Lala yang sering berbicara dengan kalimat
negatif. Padahal sebelumnya aku sama sekali tak terpengaruh atau
tepatnya mengabaikan saja barangkali.  "Aik! Kalo Aik nggak mau
berbagi, mbak Lala marah sama Aik!" begitu kira-kira ucapan yang kerap
terlontar dari mulutnya. Dan, tentu saja, kalimat ini menular kepada
Malik adiknya.



Lho? Kalau Malik tertular dari Lala, mestinya Lala berbicara seperti
itu juga tertular dari seseorang dong ya. He he, dari siapa lagi kalau
bukan dari orangtuanya. Mestinya begitu kan? Aku bisa saja
ngeles bahwa aku tak pernah mengajarkan anak-anakku
berbicara seperti itu, seperti halnya aku tak pernah mengajari mereka
memukul. Toh akhirnya mereka memukul juga, mencubit juga sebagai respon
normalnya anak-anak saat tidak suka. Tapi bagaimanapun, aku akui bahwa
tidak selamanya aku bisa mengontrol diri untuk bisa selalu berbicara
baik-baik pada mereka.



Seorang ibu juga manusia yang bisa kesal dan marah tentu saja. Namun
alangkah mulianya bila si ibu bisa menahan kemarahan dan kekesalannya,
mengolahnya dalam hati sehingga tetap menjadi telaga yang meneduhkan
bagi anak-anaknya. Ibu yang seperti ini barangkali sudah melakukan
jihad terbesar, jihad melawan hawa nafsunya sendiri. Hmm...itu masih
menjadi mimpi bagiku. Sekarang? Aku sedang belajar, dan untungnya,
anak-anakku mengajariku banyak hal, termasuk dalam kampanye bicara
kalimat positif ini. 



Dalam sebuah pelatihan komunikasi pengasuhan anak yang pernah aku
ikuti, ada mendapatkan rumusan sederhana yang sering aku terapkan pada
anak-anakku.  Rumusnya adalah menggunakan 'Pesan Saya' atau
'Mendengar Aktif' dalam berkomunikasi dengan anak. 'Pesan saya'
digunakan bila masalah ada di orangtua. Sedangkan 'Mendengar Aktif'
kita gunakan bila masalah ada pada anak. Rumus 'Pesan Saya' dipermudah
dengan kalimat seperti ini "Kalau kamu....bunda
merasa....akibatnya...." Contoh 'Pesan Saya' aku gunakan pada kasus
seperti ini: Malik sering sekali naik ke atas meja, artinya masalah ada
di  aku, orangtuanya, karena bagi Aik, hal itu malah menyenangkan.
Jadi untuk kasus ini, aku memakai kalimat 'Pesan Saya' . Aku katakan
pada Aik, "Aik, kalo Aik naik-naik meja, bunda khawatir Aik jatuh,
nanti Aik bisa sakit kakinya."



Sederhananya begitu, tapi kadang-kadang dalam kondisi lelah dan penat,
rumusan yang bagus itu akhirnya terpotong. Alih-alih ingin mengajari
anak tentang sebab akibat dan  memahami perasaan orang lain,
akhirnya malah menjadi ancaman dan perintah. Hal ini justru yang
tampaknya sering terjadi. Untung saja kesadaran itu muncul lagi.
Kesadaran untuk memperbaiki cara komunikasi diantara kami dan terutama
berbicara dengan kalimat positif.



"Aik! Kalo Aik rebut mainan mbak Lala, mbak Lala marah sama Aik! Nanti
nggak ada orang yang suka sama Aik!" teriak Lala suatu hari. Lala
sedang marah karena mainannya direbut adiknya. Momen yang tepat,
pikirku. Aku tengahi mereka dan setelah mereka tenang, aku buat
kesepakatan dengan mereka. "Lala dan Aik, sekarang kita mulai bicara
pake kalimat positif ya," kataku sehabis sarapan. "Jadi kalo mbak Lala
lagi marah kayak tadi, mbak Lala rubah kalimatnya, coba jadi begini :
mbak Lala seneng sekali kalau Aik ngembaliin mainan mbak Lala, pasti
nanti Aik disukai temen-temen kalo Aik begitu."



Hmm... sebetulnya aku juga kebat kebit sendiri, aku saja masih
kelimpungan membuat kalimat positif apalagi Lala dan Aik. Tapi ya
sudahlah namanya juga usaha hehe. Lalu aku katakan juga pada mereka,
"Kalo mbak Lala sama Aik denger ayah bunda bicara pake kalimat negatif,
mbak Lala sama Aik tolong ingetin ayah bunda juga ya." Aku tak berharap
banyak, hanya berusaha saja, kalau hasilnya seperti dulu lagi ya
sudahlah.



Tapi ternyata, tak disangka, Lala menjadi pengingat setiaku! Dan
ajaibnya, dia jadi pintar  merangkai kalimat positif. Sesekali
memang dia lupa kalau sedang dalam kondisi marah luar biasa, dan aku
pun tak lupa mengingatkannya. Namun obrolan selepas sarapan itu
betul-betul diserapnya. Hasilnya? Malah aku yang sering ditegur oleh
Lala. Kalau sedang marah, boro-boro ingat mau pakai kalimat apa, yang
ada hanyalah perasaan ingin ngomel dan mencurahkan semua
kekesalan  di hati. Seperti hari ini, suamiku sedang
summer school ke Edinburgh. Mau tak mau, semua
pekerjaan rumah dan ulah anak-anak harus aku tangani sendiri. Ingatan
akan 2 minggu kepergiannya saja sudah membuat hatiku tak karuan,
apalagi ditambah mengurus anak-anak dan rumah sendirian. Aku jadi lebih
mudah meradang.



"Aik, kalau Aik nggak mau beresin baju-baju Aik yang berantakan itu,
kita nggak jadi main sekolah-sekolahan ya. Bunda mau ngetik t erus kalo
Aik nggak mau beresin! " sahutku kesal. Tiba-tiba saja Lala 
langsung bersuara,"Bunda, bunda itu pake kalimat negatif Bun."
Hmh...Ggrh...Oh....entah apalagi yang ada di hati dan kepalaku saat
mendengar suara mungilnya, menohok hatiku. Rasanya hati ini masih ingin
meluapkan segala kekesalanku, tapi mendengar teguran gadis mungilku
yang lugu, oh...mana tahan. Kekesalan itu mau tak mau harus kuendapkan.
Malu pada anak sendiri? Ya memang bersitan rasa malu pun muncul,
normalnya keegoisan manusia barangkali. Tapi, bukankah mestinya aku
bersyukur?



Ya, mestinya aku bersyukur. Ingatan tentang rasa syukur karena telah
diingatkan oleh putriku sendiri membuat kalimat maaf dan perbaikan
leluasa meluncur dari bibirku. "Oh,iya maafin bunda ya sayang, bunda
lagi kesel. Mestinya bunda bilang gini ya, Aik, bunda seneng sekali
kalo Aik mau beresin baju-baju Aik. Nanti kita bisa cepet main
sekolah-sekolahan deh." Hmm...walaupun Aik tetap saja melenggang
kangkung dengan manisnya, tapi setidaknya pelajaran untuk saling
mengingatkan dan memaafkan ini semoga saja masuk kedalam hatinya.



Kejadian semacam ini bukan hanya sekali dua, hampir setiap hari. Lala
betul-betul menjadi kontrol yang baik buatku. Kini Lala pun selalu
berusaha bicara dengan kalimat positif, dan berpikir dulu sebelum
marah-marah kepada Aik. Lain halnya kalau Lala sedang lelah, mengantuk
atau marah besar, semua aturan itu lenyap begitu saja dari pikirannya,
sama saja lah seperti bunda tadi hehe. Dan Malik, tampaknya juga
menyerap semuanya dan ingin seperti Lala, tapi dia belum bisa
membedakan mana kalimat positif dan mana negatif. "Aik pasti
kelereng-kelereng itu akan senang sekali kalo dikumpulin lagi sama Aik,
nanti mereka nggak kedinginan diluar," ujarku mencoba memintanya
membereskan mainan. Tapi tiba-tiba wajah Aik langsung nyureng dan
berujar,"Bunda itu pake kalimat negatif! Bunda  harus pake kalimat
positif bun!" Katanya dengan percaya diri, padahal salah hehe.



Anak-anak memang kadang mencengangkan, aku betul-betul terbantu
dan banyak sekali belajar dari mereka. Semoga saja usaha kami kali ini
berhasil. Hanya saja, jangan berharap aku bisa sukses memakai kalimat
positif ini kala sedang ngambek sama suamiku. Dia kadang protes, "Ke
anak-anak bisa kampanye kalimat positif, lha koq sama aku ndak bisa."
Hmm... kalau ini sih lain soal, "sama siapa lagi aku bisa begitu kalau
bukan sama ayah, kan merajuk hehe, nggak seru lagi dong yah kalo kita
baekan terus hi hi, asal anak-anak nggak denger aja." Begitu alasanku
kepada suamiku.  Kepadanya, aku memang bisa
ngeles, malas memakai kalimat positif dengan alasan
merajuk, tapi kepada anak-anak? Ah, siapa yang mampu melawan keluguan
dari suara dan wajah-wajah mungil mereka. Merekalah malaikat-malaikat
kecilku, yang datang dari surga untuk mengajari aku.

















Thursday, June 2, 2005

Inikah Yang Namanya Syukur?


Bagi sebagian kalangan, mendampingi suami sekolah di luar negri
barangkali tampak selalu nikmat dan mengasyikkan. Memang sih banyak
sukanya juga, bisa kumpul sama-sama, bisa jalan-jalan dan banyak dapat
pengalaman. Tapi jangan salah, dukanya juga segudang. Salah seorang
temanku yang dulu bernasib sama di Inggris pernah bilang "Tenang Nes,
bukan cuma Agnes koq yang ngalami begitu, aku malah happynya cuma tiap akhir pekan aja. Temanku juga ada yang kerjanya nangiis aja pas awal-awal datang" begitu tulisnya dalam email.



Nah lho, ternyata memang tak mudah kan." Ah, nggak bersyukur kali,"
kata sebagian orang. Hmm, yang namanya bersyukur itu sebetulnya
bagaimana ya? Rasanya sudah setengah mati diri ini bilang syukur dan
meyakin-yakinkan diri bahwa aku harus bersyukur dan bersyukur. Tapi
kalau kenyataannya masih terasa berat dan tak bisa menahan air mata
bagaimana? Dan ternyata, setelah aku survey, yang terutama merasa berat
mendampingi suami di luar negeri adalah mereka-mereka yang dulunya di
Indonesia tak bisa 'diam' alias hobi berkegiatan.



Tapi Allah memang Maha Penyayang. Ketika sedang merasa 'down' begini,
selalu saja ada sesuatu yang bisa membuatku bangkit dan bangkit lagi.
Entah itu nasehat seorang kawan, atau tiba-tiba membaca sesuatu yang
mencerahkan. Kadang aku berpikir, mungkin Allah memang membuatku
mengalami ini semua, supaya aku bisa menjadi orang yang tahan banting.
Untuk tahan banting memang tak gampang bukan?



Seperti kali ini. Sudah 3 hari ini aku bergadang, sangat kurang tidur.
Ya, bagaimana lagi, sudah kadung janji, tulisanku harus kelar minggu
ini. Alhasil aku limbung. Aku terserang radang tenggorokan, disertai
panas
badan. Badanku linu, dan lemas sekali. Obat sudah kuminum, tapi tetap
saja keluhan hanya sedikit berkurang. Duh, rasanya ingin sekali cuma
tiduran saja di pembaringan. Tapi mana mungkin. Hidup sendirian tanpa
sanak saudara begini, apapun yang terjadi, the show must go on. Suamiku
tak mungkin bolos kerja, dan anak-anakku pun tetap harus sekolah. Aku
tetap harus mengantar jemput mereka. Aku tetap harus memasak untuk
mereka. Dan, aku pun tetap harus melayani rengekan-rengekan mereka.



Jarum panjang sudah tepat di angka 12 siang, tapi badanku rasanya
tetap enggan untuk digerakkan. Padahal anakku pasti sudah menunggu jemputan.
Ya Allah, beri aku kekuatan. Hanya itu yang bisa kukatakan. Dan,
pergilah aku menjemput anakku tersayang.



Sampai disana, ternyata anakku berulah. Dia tak ingin pulang, karena
masih ingin bermain serodotan. Ya sudahlah, dengan lemas dan
sakit-sakit badan, aku duduk saja menunggunya bermain. Eh, ternyata,
seorang perempuan datang menegurku "Anaknya nggak boleh main disitu bu,
ini buat anak besar, nanti kalau kedorong anak besar gimana" katanya
dalam bahasa Inggris.



Aku mulai kesal. Gregetan. Biasanya juga tak pernah ada yang larang.
Anakku selalu bermain disitu setiap siang. Iya sih mungkin dia benar
dan  tentu maksudnya baik, tapi tetap saja aku kesal. Kesal karena
tahu Malik pasti bakal mengamuk tak mau pulang, lantaran biasanya tak
pernah dilarang. Apalagi ini waktunya dia tidur siang. Wah, sudah pasti
akan terjadi kehebohan.



Dan ternyata benar, dia meraung habis-habisan waktu kubawa pulang.
Tenagaku yang sudah lemas ini rasanya tak mampu menahan marahnya.
Kekesalanku pun makin menggunung jadinya. Aku bawa dia naik kereta
sepeda, tapi kakinya malah kelojotan. Dia tetap berlari ke arah tempat
mainan sambil menangis tak tertahan.



Saking kesalnya tak tahu lagi harus bagaimana, aku datangi perempuan tadi, dan aku katakan padanya "Please tell him what do you want, he don't want to go home. Tell him in Dutch, he will be understand". Dia bilang "sory
lalu menjelaskannya pada Malik. Tentu saja tangis Malik makin keras.
Tapi setidaknya Malik yakin bahwa apa yang kukatakan benar--dia
harus pulang karena dilarang bermain di tempat itu.



Berakhirkah perjuanganku? tentu saja tidak. Malik tetap tak ingin
pulang dan menangis kelojotan. Ya, dia memang selalu begitu kalau
sedang mengantuk dan keinginannya tak dikabulkan. Akhirnya aku buat
kesepakatan, "Satu kali lagi naik serodotan ditemani bunda, habis itu
pulang" Oke. Deal. Setelah itu barulah Malik mau diajak pulang.



Selesai? Hmm sayangnya belum juga. Setelah menarik sepeda layaknya
abang becak--karena kereta sepedaku memang mirip becak :-)-- sampai di
depan rumah Malik tertidur. Terpaksa aku harus menggendongnya ke atas.
Sepedaku pun terjatuh saat aku mengangkat Malik. Flatku terletak di
lantai 2. Ya aku memang cuma harus menaiki 2 lantai. Tapi mengangkat
beban seberat 14 kg dalam keadaan sakit begini, tetap saja gempornya
minta ampun.



Tiba di kamar, aku betul-betul ngos-ngosan. Hatiku pun tak karuan.
Rasanya jadi ingin sekali  pulang. Ingatanku tentang kehidupanku
dulu malah semakin membuat hatiku tak karuan. Kalau
di Bandung, aku tinggal naik mobil, tak perlu mengayuh sepeda hingga
ngos-ngosan begini. Kalau di Bandung, dalam kondisi begini pasti bapak
ibuku dengan suka rela  menjemput anakku dan mengasuh mereka
. Hmh, buat apa pula aku mengingat itu semua, membuat hatiku tambah kesal saja.



Sambil menidurkan Malik, kutarik napas perlahan, berharap kekesalan ini
segera hilang.  Lamaa kutarik lagi dan lagi napas ini, tapi tetap
saja kekesalan itu tak mau pergi. Sampai akhirnya ingatanku kembali
pada cerita ibunda mbak Virrie di postingan WRMom kemarin. Ya Allah,
apa yang kualami belum seberapa dibandingkan dengan ibunya mbak Virrie.
Aku masih memiliki suami yang bisa kuajak berbagi. Aku tak perlu kerja
setengah mati demi sesuap nasi. Tapi beliau? Hiks. Ada yang menetes dari mata ini.
Kekesalanku hilang perlahan, berganti dengan syukur yang mendalam. Inikah yang
dinamakan syukur Tuhan?















Tuesday, May 24, 2005

Rebutan Lagi...Rebutan Lagi...


Rebutan.jpg

Demi keadilan aku rela :-)

Berebut
mainan? Rasanya semua anak pasti pernah melakukannya, apalagi kakak
beradik yang usianya tak terpaut jauh. Malik dan Lala? Hmm...tentu saja
iya, berebut barang sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. 
Bagusnya, mereka jadi belajar berbagi, dan belajar mengendalikan ego
masing-masing. Kabarnya  masa egosentris yang menjadi ciri anak
balita ini, bila tak tertangani dengan baik bisa bahaya akibatnya.
Biasanya, orangtua jaman dulu sering mengorbankan anak pertama supaya
mengalah kan. Alhasil, kakak jadi pengalah, dan si adik jadi semau gue.
Duh, kami sungguh tak mau begitu. Kalau begitu, si kakak jadi
terdzolimi kan.

Selama ini aku dan suamiku mengatasi masalah
ini dengan membuat kesepakatan tentang kepemilikan barang. Warna pink
untuk Lala dan warna biru untuk Malik. Selain itu kami juga selalu
mengatakan bahwa Lala perempuan dan Malik laki-laki. Jadi mainan berbau
perempuan ya untuk Lala, dan laki-laki untuk Malik. Tapi, selalu saja
ada barang lain yang menjadi bahan rebutan. Jadi, tak heran kalau tiada
hari tanpa berebut.

Dulu, kami selalu turun tangan membantu
kalau mereka sedang berseteru. Tapi sekarang, mereka kami dorong untuk
menyelesaikan masalah mereka sendiri. Biasanya mereka main pingsut,
siapa yang menang dia yang duluan pegang mainan itu. Setelah hitungan
ke-10, 20 atau 100 sesuai kesepakatan, barulah yang kalah mendapat
kesempatan. Kadang berhasil, kadang tetap saja kami harus membantu
melerai. Suka duka jadi orangtua deh kalau sudah begini :-) Pusing
hehe. Tapi satu hal yang membuat kami yakin,  masa ini akan
terlewati dengan baik bila kami tetap konsisten. Tapi...kapan ya? Malam
ini, lagi-lagi mereka ribut.

"Hua...hua... Aik mau boneka itu, kalo enggak, Aik mau nangis terus, huaa...huaa!"

Duh,
tangis Aik keras sekali, padahal ini sudah jam tidur. Perkaranya,
apalagi kalau bukan rebutan mainan dengan Lala. Lala punya boneka
Eiffel, oleh-oleh dari Paris. Waktu itu kesepakatannya, Malik dapat
puzzle Eiffel dan Lala dapat boneka Eiffel. Ternyata... namanya
anak-anak, tetap saja rebutan. Lala mau boneka itu dia peluk menjelang
tidur. Malik menangis keras lantaran ia pun ingin memeluknya sebelum
tidur.

"Itu kan bonekanya mbak Lala Ik, Aik pegang boneka lain aja ya"

"Enggak!
Aik mau yang itu huaa...huaa..." Begitulah Aik, memang sedang masanya
tak bisa dilarang atau ditolak. Aku berusaha menenangkannya, meneguhkan
perasaannya. Biar saja Aik menangis, supaya dia belajar bahwa tak semua
yang diinginkan bisa terkabul saat itu juga. Tapi karena Lala kasihan
melihat adiknya menangis terus barangkali, tiba-tiba Lala jadi berbaik
hati.

"Bunda, Ik heb goed idea (aku punya ide bagus)" katanya sambil bisik-bisik ditelinga bunda.

"Bonekanya dikasih pinjem aja ke Aik sampe Aiknya tidur ya bun, kalo Aiknya udah tidur diambil lagi sama mbak Lala"

"Waduh...mbak
Lala baik sekali mau berbagi" sahut bunda surprise. Dan, Aik tentu saja
langsung  mesam-mesem berhenti menangis.

"Aik, Aik boleh pinjem sampe hondred, tachtig ya (100, 80 hitungan maksudnya) Tapi pinjem ya, ini punya mbak Lala ya, Aik pinjem " ujar Lala menegaskan.

"Pinjemnya sampe Aik bobo ya mbak Lala, mbak Lala baik sekali"

"Iya bun" Lala menjawab singkat lalu meringkuk dalam selimutnya.

"Aik bilang apa sama mbak Lala?"

"Bedankt (trimakasih)" kata Aik sambil senyum-senyum

Fffhuuihh...lega...
akur dah, aku takjub juga dengan kebaikan hati Lala :-). Semenit, dua
menit, lima menit berlalu, Aik senang sekali memeluk boneka milik
kakaknya. Tapi tiba-tiba...koq ada suara hiks...hiks... Oo.. ternyata
ada yang tidak ikhlas hehe.

"Mbak Lala nggak bisa bobo kalo nggak peluk boneka hu...hu...hu..."

"Kalo gitu Lala peluk boneka lain aja ya, Aiknya belum tidur mbak"

"Hua...nggak mau, itu kan bonekanya Lala huaa...Aik harus kembaliin huaa..."

Duorr! Pecah lagi deh kamar. Ribut. Rebutan lagi.

Akhirnya
karena sudah larut malam, ayah terpaksa turun tangan. Diambil jalan
tengah, "bunda yang pegang bonekanya ditengah, Aik pegang dari kanan
dan mbak Lala dari kiri, oke."

"Huaa.. tapi itu kan bonekanya mbak Lala...huaa..."

"Iya La, adeknya pengen pegang sedikit boleh kan La, Lala pegang yang banyak oke"

Horee
berhasil! Tapi dalam hati aku geli sendiri. Lucu melihat Malik memegang
ujung boneka dengan tangannya. Lala pun memegang dari arah yang lain.
Dan bunda? "Bunda harus pegang yang putihnya" kata Aik.

Oke
deh...  Jadilah 3 tangan memegangi satu boneka sambil tidur he he.
Dasar anak-anak...ada-ada saja...Dan akhirnya mereka pun
tertidur...Zzz...zzz...



Friday, May 20, 2005

Yang Tak Hilang dari Perjalanan



Ber3-di-metro.jpg

Di dalam metro



Kami baru turun dari metro di Noisy Champ ketika tiba-tiba
seorang anak lelaki negro tersandung dan terjatuh di depan kereta
dorong Malik. Kejadian itu begitu cepat dan tentu saja 
anak-anakku menyaksikan semuanya. Bapak anak berkulit legam itu
tiba-tiba datang. Tanpa ba bi bu ia langsung menampar dan menyeret anak
itu. Tarikannya teramat kasar diikuti dengan teriakan marah pula. 
Aku terkesiap. Ada yang tergores di dada ini melihat wajah kesakitan
anak itu. Kemarahannya seperti si anak habis mencuri saja, padahal
semua tak sengaja. Malik dan Lala hanya bisa melongo, begitu juga aku.
Tapi aku tak  bisa membiarkan kejadian ini terekam begitu saja di
kepala anak-anakku.



"Menurut Lala dan Aik, gimana ya perasaan kakak tadi
dipukul sama ayahnya seperti itu?" tanyaku berjongkok di depan
mereka.

"Sedih" Aik langsung menimpali.

"Sakit nggak?"

"Iya" jawab mereka
dengan wajah bingung

"Ayah dan bunda pernah kayak begitu?"  Mereka
pun menggeleng

"Alhamdulillah ya, Aik dan Lala nggak punya ayah yang
seperti itu"

Anak-anakku hanya diam. Barangkali masih bingung, atau
mudah-mudahan sedang mencerna ucapanku. Semoga saja ini menjadi
pelajaran berharga buat mereka.



Esok harinya, kejadian itu terulang
lagi, tak separah kemarin memang. Di dalam metro, seorang ibu,
lagi-lagi berkulit gelap, duduk di hadapan kami dengan ke tiga orang
anaknya. Anak lelaki kecilnya tak bisa diam, ya namanya juga anak.
Namun, si ibu memarahinya dengan berteriak galak. Matanya pun melotot
sambil tangannya menarik-narik si kecil untuk duduk diam. Anak-anakku
hanya bisa melongo lagi. Aku hanya bertanya-tanya dalam hati, mengapa
berkulit gelap lagi? Pesan yang sama tak lupa kusisipkan pada
anak-anakku.



Masih di hari serupa, di dalam metro pula, lagi-lagi
seorang lelaki berkulit legam berulah. Dengan jas necisnya ia berdiri
di hadapan kami, karena metro sedang penuh waktu itu. Diambilnya sebuah
permen dari saku jasnya. Permen pun masuk ke mulutnya.
Tapi...O...O...si bungkus permen? Dengan cueknya dia buang begitu saja
ke lantai kereta. Tentu saja anak-anakku melihatnya. Dan tentu pula
hatiku bertanya lagi, negro lagi?"Harusnya sampahnya dibuang kemana
ya?" Pertanyaan itu kulontarkan pada kedua buah hatiku. Pertanyaan yang
tak butuh jawaban, karena aku hanya sekedar mengingatkan.



menunggu-kereta-datang.jpg

Menunggu Kereta Datang



Di
hari lainnya, tempat duduk di ruang tunggu kereta subway sedang penuh.
Anak-anakku duduk di kereta dorongnya, dan kami berdiri menemani. Aku
tersentak kaget dan baru tersadar, sepasang muda-mudi duduk di hadapan
kami. Masya Allah, Malik terbengong-bengong menyaksikan pasangan yang
sedang 'berasyik masyuk' itu. Hebohnya luar biasa pula. Tak cukup
sekedar Frenchkiss yang terkenal saja, tapi merajalela ke sekitarnya.
Di kota ini, pemandangan seperti itu memang sering sekali kami lihat.
Parahnya, lebih liar daripada di kota kami. Frenchkiss yang terkenal
itu betul-betul dilakukan dimana-mana, tak hanya satu-dua pula. 
Hmm...untung  aku tadi melihatnya. Langsung saja mulutku berkata :
"Malik sayang, berciuman itu hanya boleh untuk yang sudah menikah ya,
seperti ayah bunda" Jagoan kecilku cuma diam. Pasti bingung lagi. Tapi
semoga omonganku direkamnya.



Eiffel-kasih-makan-burung.jpg



Anak-anakku
memang sering melongo melihat kejadian-kejadian seperti itu. Tapi
mereka pun banyak tertawa. Seperti sewaktu mereka kegirangan memberi
makan burung-burung di dekat menara Eiffel, juga di museum Louvre.
"Lala bosan ayah bunda foto-foto terus" rengeknya kala kami sedang
berada di dekat menara Eiffel. Beruntung ayah tak kehabisan akal.
Diambilnya roti bekal yang tak termakan. Burung-burung pun berdatangan
dan  mematuki  potongan-potongan roti itu. Anak-anakku
tertawa riang. Dan mereka pun berkejar-kejaran dengan para burung.
Burung-burung itu pasti bilang "Terimakasih Lala, terimakasih Aik
karena sudah memberi makan kami. Allah pasti tambah sayang sama kalian"
kata ayah menirukan suara hati burung.



Lala-dan-badut.jpg



Tawa
yang ini lain lagi. Tawa takjub dan heran, juga kegirangan. Awalnya
mereka ketakutan melihat badut di pinggir jalan. Badut itu berjualan
balon-balon berbentuk lucu, yang dibuatnya setelah anak-anak bersalaman
dan mengucapkan salam. "What is your name?" sapanya ramah. Sambil
bersalaman, diberinya Lala sebuah permen. Lala langsung saja ingin
mengambilnya. Tapi...eit...permennya malah lari ke atas. Tangan Lala
segera menjumput permen ke atas. Eit...koq permennya lari lagi. Tangan
Lala berkelak-kelok kesana kemari bagaikan ular, berusaha mengambil
permen yang dipermainkan oleh sang badut. Tawanya riang sekali. Badut
itu memang  lucu dan pintar. Belit sana, belit sini, balon
berbentuk bunga pun segera siap dipersembahkan, buat Lala seorang.



Aik-badut-permen.jpg



Ha...ha...ha...tawanya
senang. Tawa itu terdengar saat Malik berhasil mengambil permen dari
sang badut. Matanya berbinar heran, melihat sang badut membuat balon
berbentuk binatang. Dipeluknya balon macan itu dengan sayang. "Ik houd van je. Je ben myn beste friendin
(aku sayang kamu, kamu teman baikku)" katanya riang. Tapi esoknya
tangisnya tak kunjung hilang, saat balon macan itu kempes dan dibuang.
"Hu...hu...hu...Je ben myn beste friendin hu...hu...hu..."




Wajah
mereka juga senang sekaligus ketakutan, saat melihat anjing dan kucing
tidur akur berduaan. Anjing dan kucing itu menjadi tontonan bagi
turis-turis yang berseliweran. Dengan iringan musik yang riang, anjing
dan kucing tetap akur, tak peduli pada sekitar. Pemiliknya berkaca mata
hitam, berdiri mematung sambil menunggu sumbangan. Anak-anakku mencoba
mendekatinya perlahan. Tawanya terdengar, tapi tetap saja ketakutan.



Lala-dan-anjing-kucing.jpg



Buah
hatiku tersayang, betapa lugu dan lucu kalian. Perjalanan ini memang
cukup mahal, apalagi bagi kami yang cuma pelajar. Tak cuma uang, kaki dan tanganpun pegal-pegal tak karuan.
Tapi, semahal apapun ongkos yang telah keluar, semua tak tergantikan melihat keriangan kalian. Semua tak terbayar
melihat mata-mata polos kalian. Mata-mata takjub dan heran. Mata-mata
penuh keingintahuan. Semoga semua yang terlihat tetap tercerna indah.
Semoga segala yang terekam tak kan pernah hilang dan akan berbuah
kebajikan. 







Monday, May 16, 2005

Paris I'm In Love




Paris memang cantik, dan banyak sekali tempat-tempat menarik untuk
dikunjungi. Lantaran itu lah mungkin jadi banyak orang bilang, belum ke Eropa
namanya kalau belum ke Paris. Saya yang dulu nggak demen sama pelajaran
sejarah, sekarang malah jadi penasaran dan ingin tahu lebih jauh
tentang sejarah. Apalagi di Paris ini bangunan-bangunan tua yang megah
bertebaran dan semua bercerita tentang sejarah Prancis seperti
Napoleon, Raja Louis, revolusi Prancis dan lain-lain. Anak-anak pun
saya coba jelaskan tentang hal ini, biar mereka nantinya nggak alergi
sama pelajaran sejarah. Seminggu di Paris benar-benar tak cukup
ternyata, masih banyak sekali tempat-tempat indah yang belum sempat
dikunjungi. Rasanya jadi jatuh cinta sama Paris dan pingin balik lagi
someday. Tapi cuma buat liburan ya, kalau untuk tinggal sih lebih
tenang di Groningen, dan tentu aja lebih betah lagi tinggal di Bandung
.



Dan, karena kami demen banget foto-fotoan, akhirnya anak-anak jadi
korban hehe. Untuk bisa berfoto didepan monumen revolusi (Arc de
Triomphe) di ujung Champ
Elysee--yang kata buku petunjuk guide Paris merupakan 'the most world's
famous avenue'-- anak-anak kami tinggalkan di pinggir jalan sambil
kerubutan sarung  (sayang fotonya agak kabur). Soalnya kalau mau
dapat foto bagus, mau tak mau harus berada di tengah jalan kan. Waktu
itu kami saltum alias salah kostum juga. Saat menengok ramalan cuaca,
katanya Paris sudah lebih hangat di musim semi begini. Ternyata kalau
malam tetep aja duingin. Alhasil karena tak bawa selimut, jadilah
sarung buat sholat punya ayahnya dipakai. Hehe lucu juga, mereka jadi
tontonan orang-orang dengan kostum yang seperti itu. Untung nggak ada
polisi lewat, bisa dimarahi kami karena meninggalkan anak dipinggir
jalan. Tapi kan masih eye catching kan, jadi ya sekali-kali boleh lah
anak berkorban demi kesenangan ortu nya .



Oh ya, anak-anak saya yang suka tidur malam ternyata membawa keuntungan
juga. Untuk bisa melihat Eiffel di tengah malam kami harus menunggu
pukul 10 malam, karena hari baru gelap lewat jam itu. Akhirnya demi
melihat Eiffel di malam hari, kami tega aja bawa mereka jalan dari jam
9 pagi berkeliling sampai jam 12 malam. Dan karena mereka belum tidur,
jadinya kami tak perlu repot mengangkut mereka turun naik tangga metro.
Mereka pun dengan senang hati mau difoto di tengah malam. Alhamdulillah
mereka pun baik-baik saja dan nggak sakit. Cuma emak bapaknya aja
nih  pulang-pulang teler berat karena berhari-hari selalu jalan
dari pagi sampai menjelang tengah malam, plus naik turun tangga metro
bawah tanah pula. Aneh juga sebetulnya, kota dengan nama sebesar Paris,
tapi hanya di beberapa stasiun metro besar saja yang disediakan lift,
sisanya tangga menjulang, gempor kan jadinya .



Capek memang, tapi rasanya kalo urusan jalan nggak pernah kapok ya 
Karena menurut kami manfaatnya cukup banyak. Salah satunya menurut
suami saya, travelling itu membuat terjadinya lompatan berpikir, dan
mudah-mudahan bisa memperbanyak sambungan sel-sel syaraf di otak
anak-anak. Memperkenalkan sesuatu yang baru pada anak kabarnya akan
semakin menstimulus otak anak kan. Apalagi kalau diselingi
pelajaran-pelajaran tentang kebesaran Allah dibalik semua kemegahan
itu, semoga akan membuat spiritualitas mereka juga terasah. Jadi, mana
ada kapok, cuma duitnya aja nih yang kapok .



Berminat ke Paris atau menambah info tentang jalan-jalan di Paris?
Siapa tahu catatan perjalanan ini bermanfaat. Silahkan klik di sini.