Anak-anak adalah asset bangsa, lagu lama ya? Tapi kenyataannya, kita tak bisa sangkal, masa depan bangsa kita (yang sedang carut marut ini) memang ada di tangan anak-anak , iya kan? Bayangkan kondisi ini. Ketika anak lelaki kita berusia 12 tahun, kelas 6 SD. Kita sudah berusaha membentenginya dengan menyekolahkan ia di sebuah SD Islam ternama misalnya ( Walaupun mungkin, alasan kita menyekolahkannya disana karena kita orangtuanya terlalu sibuk bekerja dan tak sempat mengajarkan pendidikan agama dan pendidikan seks sejak kecil di rumah). Lalu tiba-tiba, suatu hari, masuk laporan dari guru sekolahnya bahwa anak kita tertangkap basah sedang menonton video porno lewat handphone, hardcore porn pula! (video porno yang isinya aduhai menjijikan sekali buatku). Dan parahnya ia tertangkap basah menonton video itu bersama 12 orang temannya. Bayangkan! Kita, ibu yang melahirkannya, dan ayah yang sama bertanggungjawabnya terhadap anak itu (karena bikinnya sama-sama kan ;-)). Bagaimana perasaan kita?
Belum cukup sampai disitu. Ketika seseorang yang memergoki bertanya pada anak kita.
“Apa yang kamu rasakan dengan menonton video itu?”
“Senang.”Jawab anak kita.
“Terus kamu mau melakukan itu?”
“Mau, saya senang koq.”
“Kalau mau, sama siapa kamu mau melakukannya?”
“Sama siapa aja yang mau.” Jawabnya cool tanpa dosa.
“Lha nanti kalau perempuan itu hamil gimana?” penasaran si penanya.
“Kalau punya uang ya tinggal gugurin aja.” Jawab anak kita enteng.
Astaghfirullaah! Bayangkan! Anak kita bicara seperti itu! Berkeping-keping. Hancur kan perasaan kita? Lalu kemana selama ini hukum-hukum tentang zina dan ajaran moral yang sudah berusaha kita ajarkan padanya? Kemana perginya? Oke, selama ini soal pengajaran moral kita angkat tangan dan menyerahkannya saja kepada guru di sekolah. Lalu kenapa ajaran guru itu tidak ada yang menempel di kepalanya? Kenapa?
Contoh di atas bukan khayalan. Tapi nyata diceritakan oleh bapak anggota DPR Hilman Rosyid Lc yang kebetulan diundang bicara tentang RUU pornografi di Groningen semalam. Dan itu baru satu kasus, di satu sekolah. Aku jadi ingat cerita ibu Elly Risman Psi. dari yayasan kita dan buah hati yang sangat concern soal ini. Seminarnya tentang ‘Bicara seks pada Anak’ selalu menginspirasi sekaligus membelalakkan mata kita tentang betapa ngerinya kondisi penyerangan ideologi pornografi di Indonesia terhadap anak-anak kita, terutama di kota besar.
Ketika beliau menjelaskan tentang bagaimana proses kehamilan terjadi dengan mengumpamakan rahim dari buah pir, dan organ lain dengan buah lain, anak-anak SD kelas 5 dan 6 asuhannya menertawakannya.”Ha haha..itu sih kuno Bu!” kata mereka. Ya tentu saja, karena mereka sudah terbiasa melihat aslinya langsung dari gambar-gambar dan situs porno. Aku dan teman-teman peserta seminar waktu itu terkaget-kaget ketika beliau menceritakan temuannya melihat sekumpulan anak wanita SMP yang saling mempotret kemaluannya dengan telepon genggamnya dan memperlihatkan hasil jepretan mereka ke teman-teman laki-lalkinya dengan bangga.Duh!
Ah..banyak sekali contoh-contoh mengerikan yang pernah aku dengar dari beliau yang membuatku miris. Kita memang tidak akan tahu inti permasalahan kalau kita tidak mencari tahu kondisi yang sebenarnya. Dari bu Elly, aku juga baru tahu bahwa kasus pornografi ternyata bukan sekedar pornografi. Kasusnya tidak sesederhana itu. Ada agenda besar dari penyebar ideologi pornografi untuk menghancurkan moral masyarakat. Mereka bekerja dengan cerdas, sistematis dan berusaha masuk dari berbagai celah. Mereka sengaja mentarget anak-anak, karena anak-anak adalah pasar masa depan bagi mereka. “Ada temanya, incest misalnya,” kata pak Hilman. “Nanti tentang incest ini lalu ada filmnya (produksi hollywood), lalu muncul di film Indonesia, sinetron, komik, manga, game dan lain-lain.” Lanjut pak Hilman. Bu Elly juga pernah mengatakan yang sama. Parahnya komik-komik tersebut dijual sangat murah dengan akses yang sangat gampang pula di sekitar sekolah. Bahkan karena keaktifannya menyuarakan tentang pendidikan seks sejak dini dan melaporkan hasil-hasil temuannya tentang pornografi pada anak-anak, ibu Elly pernah meminta perlindungan khusus dari pemerintah. Ya, beliau mendapatkan ancaman dari pihak-pihak yang dirugikan tentu. Artinya, musuh itu ada bukan?
Oke, jadi apa hubungannya dengan Undang-undang pornografi dan apa perlunya?” Kalau kasusnya seperti di atas, itu sih cukup orangtuanya saja di rumah mengajarkan pendidikan seks, atau pihak sekolah, kenapa harus pake Undang-undang segala? Begitu kan pertanyaan sebagian orang.
Hmm…kenyataannya apakah segampang itu mengajarkan pendidikan seks pada anak di rumah dan di sekolah? Dan berapa banyak sih orangtua yang concern untuk mengajarkan soal pendidikan seks sejak dini? Di sekolah-sekolah di Indonesia? Rasanya masih menjadi wacana. Bukankah soal ini masih dianggap tabu dan saru?
Aku sering mengompori temanku untuk mulai bicara seks pada anak sejak kecil. Tapi apa tanggapannya?”Iih ga tega deh Nes. Gimana ngomongnya? Enggak Ah!” Dan ketika aku ajak untuk ikut seminar bagaimana bicara seks sejak dini ke anak, banyak yang tidak melihat pentingnya. Mungkin kejauhan, tidak perlu ikut seminar, membaca artikelnya saja, atau membaca bukunya. Tapi apakah dipraktekkan? Padahal pendidikan seks tidak bisa dilakukan borongan dan instant, harus dicicil pelan-pelan. Bukannya hendak membanggakan diri, tapi aku saja yang sudah mendapat pencerahan dari ibu Elly, sering mencari info-info seputar bagaimana mengajarkan seks sejak dini pada anak, dan mencoba untuk mempraktekkannya pada anak-anakku, kadang masih tergagap-gagap dan cemas dengan hasilnya. Bagaimana dengan yang sama sekali tidak concern dengan hal ini. Dan jumlah orangtua yang concern? jangan ditanya, hanya segelintir dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia!
Sejak anak-anakku mulai bisa bicara, aku mengajarkan pada mereka untuk menyebut kemaluan dengan nama aslinya, vagina dan penis. Awalnya aneh, tapi lama-lama terbiasa. Ketika anakku batita dan aku sering memandikannya, sambil mandi, aku sebutkan nama-nama organ tubuh mereka. Aku katakan bahwa nanti suatu saat akan tumbuh rambut di ketiak dan kemaluan mereka. Ketika anak lelakiku sering memegang-megang penisnya aku katakan padanya.”Say, enak ya, geli ya. Iya bunda tau pasti enak dan geli kalau penisnya dipegang-pegang, tapi ga usah dipegang ya sayang, nanti lecet.” Ketika mereka balita dan melihat cicak kawin, aku katakan pada mereka,”Cicaknya menikah, nanti mereka punya anak. Titik.” Semua itu contoh pendidikan seks sejak dini pada anak yang pernah aku dapatkan dan coba aku terapkan. Gampang? Phfh…perlu perjuangan tentunya untuk melenturkan lidah yang kelu dan otak yang beku ketika hendak mengatakannya.
Dan kini selepas masa balita, aku sering tergagap dengan pertanyaan-pertanyaan mereka. “Bunda, apa ini?” Tanya anakku ketika melihat sebuah kondom. “Itu kondom Sayang.” Buat apa?” Itu alat KB. KB itu apa? Dstnya. “Bunda, gimana bisa ada bayi di perut?” Ketika aku menjelaskannya lewat buku dan menceritakan tentang sel telur dan sperma, pertanyaan berlanjut. Gimana masuknya?” Haa?! OMG! Bagaimana aku harus menjawabnya? Meski aku punya senjata ‘KISS’ (Keep information short and simple), tapi tetap saja jantungku berdegup kencang dan cemas menanti pertanyaan apa yang selanjutnya bakal keluar dari mulutnya? Untungnya sampai sejauh ini semua berjalan lancar karena ternyata anak-anak adalah anak-anak yang akan berhenti bertanya ketika keingintahuannya sudah terpuaskan. Dan keingintahuan mereka betul-betul sejalan dengan usia. Kini, makin besar mereka, peer ku makin banyak. “Apa itu penyakit kelamin, apa itu AIDS?” tanya mereka. Saat ini aku hanya menjawab dengan sederhana. Namun suatu saat aku harus menjelaskan pada mereka apa bahayanya zina. Aku ingat pesan bu Elly,” Dengan menunjukkan gambar-gambar penyakit akibat seks bebas, mereka biasanya sadar sendiri dan ga berani macem-macem. “ Aku harap begitu adanya sambil dalam hati aku cemas, apakah benteng yang kuberikan sudah cukup kuat untuk menghalau serbuan yang luar biasa?
Ya! Serbuan pornografi pada anak-anak di Indonesia, di kota besar terutama, kini sangat luar biasa. Berapa banyak orangtua yang concern? Hanya segelintir! Berapa banyak lembaga yang peduli untuk mengedukasi orangtua soal pendidikan seks sejak dini? Segelintir. Sementara serangan ideologi pornografi setiap hari menggurita. Anak-anak diserang dari berbagai penjuru. Film, sinetron, iklan TV, internet, game, komik, majalah, handphone..agrh…mereka sungguh seperti diteror. Diantara segelintir anak yang terbentengi, berapa yang bebas lepas merajalela? Diantara orangtua yang peduli, berapa yang berpikir ‘emang gw pikirin, yang penting kerja dapat duit?’ Sementara raksasa penyerang bergembira terus melancarkan aksinya disana.
Bila lalu pemerintah mensahkan Undang-undang pornografi dengan tujuan utama untuk menjerat raksasa industri pornografi ini, apakah lantas kita masih tidak setuju? Bayangkan kalau kita sudah membentengi anak kita sedemikian rupa tapi kemudian dia diperkosa dan disodomi karena lingkungan yang kacau balau. Hii..amit-amit, naudzubillah. Ah..masa urusannya hanya karena anak-anak lantas dibuatkan undang-undang! Menyepelekan masalah anak-anak? Jangan lupa, target raksasa industri pornografi itu memang utamanya anak-anak! Bayangkan kalau sebagian besar anak-anak dan remaja Indonesia telah memiliki mental model porno akibat keseringan mengakses hal-hal porno sebelum matang usianya. Menurut penelitian Judith A. Reisman, candu pornografi bisa mengakibatkan kerusakan otak permanen! Meski penelitian tentang kerusakan otak permanen ini oleh sebagian orang dibantah dan dianggap hanya kampanye anti pornografi, tapi secara common sense saja, jelas anak-anak yang sudah addict terhadap pornografi, tentu akan dipertanyakan kualitasnya kelak. Bagaimana akibatnya terhadap cara berpikir dan perilaku mereka nanti? Bayangkan dampaknya 5 atau 10 tahun lagi ketika mereka sudah beranjak dewasa. Dan jumlah mereka memenuhi sebagian besar rakyat Indonesia, bayangkan! Kualitas manusia seperti apa yang akan tumbuh di Indonesia?
Begitulah akibatnya kalau sang raksasa dibiarkan merajalela, sementara sungguh sedikit anak-anak yang terbentengi. Terlalu berlebihan? Silahkan ulik sendiri. Aku sendiri malu, sempat mempertanyakan tentang pentingnya RUU ini dan protes sana sini padahal aku tak tahu dasarnya, tujuan utamanya, dan apa yang terjadi di kalangan atas sana. Ternyata ada masalah besar disana. Jadi buat apa UU pornografi? Bertanyalah pada hati nurani! Dan yang lebih penting lagi, akankah kita berdiam diri?