Friday, June 29, 2007

Barbequan after Acara Workshop




Barbequean di rumah kak nina ini sengaja dibikin biar ikatan panitia sama ibu Elly makin erat gitu loh. Dan juga biar ibu-ibu panitia dapat pesan spesial dari ibu. Naa disinilah ibu elly memberikan wejangannya tentang 'ibu sebagai' tea.

Hari ke-2 dan ke-3 Acara Workshop Salamaa




Hari kedua, dress code panitia merah-hitam. Sedangkan hari ketiga dress codenya putih-hitam. Kompak kaan :-)

"Ketika Kekuatan Kehendak Bekerja" , laporan pandangan mata dari Workshop Salamaa

When you want some thing, all the universe conspires in helping you to achieve it.“ — Paulo coelho

 

Siapa bilang kita tak mampu berubah, berkarya dan membuat sesuatu yang sepertinya di luar nalar kita? Bila Tuhan berkehendak, tak ada yang tak mungkin! Dititipkannya kehendak itu pada hati-hati kita. Sehingga kemana pun kita melangkah, ingatan tentang kehendak yang telah ‘dititipkanNya’ itu selalu melekat. Asalkan kita berupaya, satu persatu jalan kemudahan akan dibukakanNya bagi kita. Dan kemudian, tiba-tiba saja semua kehendak yang semula hanya angan telah nyata hadir di hadapan kita! Tapi bagaimana kalau kehendak itu ternyata hanya semata nafsu atau  bukan murni kehendak dari Nya? Sebetulnya membedakannya mudah saja. Bila Dia yang berkehendak, maka Dia juga lah yang akan ‘bekerja’. Dengan caraNya sendiri, seperti kata Coelho, seluruh alam seperti bergerak dan berpadu membantu kita. Yang perlu kita lakukan adalah meluruskan niat lagi dan lagi, serta membenahi kerja-kerja kita agar tidak keluar dari jalurNya.

 

Begitulah kekuatan kehendak bekerja! Dan karena kekuatan kehendak itu lah, maka ibu Elly Risman Musa Psi., direktur yayasan kita dan buah hati, pada tanggal 1-3 Juni 2007 bisa datang jauh-jauh dari Jakarta untuk berbicara di Delft, Belanda. Ibu Elly menjadi pembicara pada acara Workshop bertema “Kiat Berkomunikasi Secara Sehat dengan Anak : Menjadi Orangtua yang Pede Bicara Seks dan Bisa Membantu Anak Taat Beribadah dengan Menyenangkan,” yang diselenggarakan oleh Salamaa, sebuah komunitas Muslimah di Belanda.


“Alhamdulillah, kekuatan kehendak membuat kita bertemu. Karena semua bekerja dengan hati, maka semua happy, suasana nyaman dan guyub. Kita bisa menangis bersama dan tertawa bersama. Ruangan yang panas jadi tidak terasa panas. Yang tadinya hanya mau datang sehari jadi dua dan tiga hari. Orang datang pun dengan komentar positif. Itu lah hebatnya kekuatan kehendak,” kata ibu Elly Risman mengomentari acara Workshop Salamaa. Dari feed back yang masuk sebagian besar peserta memang menyatakan puas dan merasakan manfaat dari acara tersebut. Mereka malah meminta agar ibu Elly bisa diundang lagi di lain waktu ke Belanda.

 

“Sebelum hari H, ada beberapa teman yang menanyakan ke saya, apakah ibu Elly datang sendiri ke Belanda? Kalau iya, berarti jadi pembicara tunggal? Hmm…apakah nanti tidak membosankan, karena acaranya 3 hari penuh ? Saya kesulitan menjawab pertanyaan teman saya tersebut, karena saya sendiri belum pernah melihat bagaimana ibu Elly menyampaikan makalah dan belum tahu bagaimana panitiia men-design acaranya nanti. Tapi ternyata.... Subhanallah.... tidak ada rasa bosan sama sekali, bahkan malah pada semangat mengikuti acara! Pokoke rugi lah ya... yang nggak sempat ikut,” demikian salah satu pernyataan salah seorang peserta workshop.

 

“Workshop ini menarik dan menggugah, nggak bikin ngantuk! Datang lagi ya Bu ke Belanda. Ditunggu lho Bu…Soalnya disini pada kekurangan ilmu parenting.” Tulis peserta lain dalam pesan dan kesannya. “Alhamdulillah  Allah bukakan hati saya untuk datang di workshop Salamaa, walau saya hanya dua hari mengikutinya. Subhanallah betapa bagusnya materi yang disampaikan oleh ibu Elly dan cara menyampaikanya  juga  bagus! Pokoknya ngga rugilaaaaaaaaaaaaaaaah! Banyak sekali manfaatnya buat diri saya pribadi yang ternyata selama ini banyak kesalahan dalam mendidik anak. Tetapi Alhamdulillah semuanya belum terlambat,” komentar seorang peserta mengungkapkan perasaannya.

 

Saat workshop, peserta memang ada yang berniat hanya datang pada hari pertama. Tapi setelah melihat kepiawaian ibu Elly dalam menyampaikan materi dan juga pentingnya materi yang disampaikan, beberapa peserta malah bela-belain datang di hari selanjutnya. Sejak pembukaan dimulai, ibu Elly telah berhasil memikat peserta dengan materi yang menarik dan joke-joke yang menyegarkan.


Pembukaan hari pertama, tanggal 1 Juni 2007 diawali dengan sambutan dari ketua Salamaa, Khairina, yang bercerita sedikit tentang latar belakang Salamaa dan juga pentingnya acara workshop. Selanjutnya Mw. Van Bolten, wethouder Delft (pejabat pemerintah daerah yang bertugas seperti menteri tapi untuk level pemda-red), dalam sambutannya mengungkapkan tentang Screen age era. Betapa anak-anak masa kini hidup dalam era ‘layar’. Anak-anak yang seharusnya lebih banyak bergerak dan beraktivitas menjadi pasif, ‘tersihir’ oleh layar TV, layar Hp, layar komputer, dan layar lainnya. Menyambung sambutan Mw Van Bolten, ibu Elly pun mengamini masalah screen age era beserta dampak negatifnya yang detilnya akan dibahas dalam workshop hari kedua. Acara pembukaan ditutup oleh bapak Firdaus, mewakili bapak Duta Besar KBRI Belanda, Junus Effendi Habibie, yang berhalangan hadir. Bapak Firdaus, menyatakan dukungan positifnya terhadap acara workshop yang diselenggarakan oleh Salamaa.

 

Sesie pertama pada pukul 14.30 dimulai dengan materi ‘Komunikasi Efektif dalam Pengasuhan Anak’. Dalam sesie tersebut ibu Elly memaparkan tentang sepuluh kekeliruan yang kerap dilakukan orangtua dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya. Dengan bersama-sama menyanyikan lagu ‘Berubah Yuk’ ibu Elly mengajak peserta untuk mulai merubah cara berkomunikasi peserta dengan anak. Setelah break sholat ashar dan makan malam, pukul 18.30 peserta mengikuti sesie kedua dengan semangat baru. Pada sesie “Komunikasi dengan Remaja”, ibu Elly menekankan pentingnya mengajari anak untuk belajar ‘BMM’ (Berpikir, Memilih, Mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas keputusan tersebut). Ibu Elly juga mengatakan bahwa inti dari pengasuhan adalah membentuk kebiasaan dan meninggalkan kenangan. Di akhir sesie ibu Elly memberikan kiat-kiat bagaimana berkomunikasi dengan remaja. Dan kunci sukses parenting remaja adalah,”Rubahlah diri kita sendiri dulu!” begitu pesan ibu Elly.

 

Keesokan harinya, ruangan workshop tampak lebih padat karena sekira 70 orang peserta ditambah beberapa peserta dadakan tak mau ketinggalan mengikuti acara. Sesie hari kedua dibuka dengan topik “Menjadikan Ibadah Anak Kita Menyenangkan.” Pesan terpenting dari sesie ini adalah agar orangtua merubah cara pandang,”Anak bukan hanya bisa tapi suka beribadah!” Demikian ibu Elly menegaskan. Untuk mencapainya, kita tak bisa membiarkan jiwa-jiwa anak kita kempot. “Bagaimana mau beribadah menyenangkan kalau jiwa-jiwa anak terbengkalai?” Pertanyaan retoris dari ibu Elly tersebut menggambarkan betapa pengasuhan anak itu sesungguhnya bukan pekerjaan main-main. Artinya peran ayah dan ibu sebagai partnership sangat diperlukan untuk menyehatkan jiwa anak-anak. Ibu Elly membeberkan data-data tentang pentingya peran ayah dalam pengasuhan. Sekira sepuluh peserta bapak-bapak yang mengikuti acara mendapat tepuk tangan meriah sebagai penghargaan karena telah mau hadir ke acara workshop dan peduli dalam pengasuhan anak. Selain itu ibu Elly juga menekankan tentang pentingnya ‘ber-3B’ dalam mengasuh anak, yaitu bersungguh-sungguh, berencana dan bersengaja.

 

Sesie keempat walaupun dimulai pukul 13.30 siang, sepertinya tak membuat peserta mengantuk. Peserta malah enggan meninggalkan kursi walau sejenak, karena di layar monitor diputar potongan adegan film dan sinetron yang seru dan membuat mata peserta terbelalak. Tarikan nafas panjang, wajah-wajah sedih, kaget, gelengan kepala dan kata-kata seperti “Ck…ck..ck..Ya Allah..Astaghfirullahaladzim…,” kerap terdengar dalam sesie kali ini. Tentu saja, karena dalam topik ‘Dampak Negatif Media terhadap Perkembangan Spiritual dan Kejiwaan Anak,” ibu Elly membeberkan fakta-fakta dan data tentang betapa berbahayanya dampak teknologi dan media bagi anak-anak kita.  Menit-menit terakhir hari kedua diisi dengan tips-tips yang harus dilakukan oleh orangtua untuk mencegah dampak negatif tersebut.

 

Berbeda dengan dua hari sebelumnya, hari terakhir workshop diawali dengan suasana haru. Sambil terisak, seorang peserta menceritakan pengalamannya sebagai anak yang merasa menjadi ‘korban’ salah asuhan orangtua yang terlalu diktaktor. “Semoga tidak ada lagi ‘korban-korban’ lainnya, mari kita berubah!” lagi-lagi ibu Elly mengajak peserta untuk melakukan perubahan. Selanjutnya, peserta memasuki topik “Pede Bicara Seks dengan Anak Anda.” Dalam sesie kali ini peserta dibuat tergelak-gelak melihat aksi peserta lain yang diminta maju ke depan. Dalam simulasi ‘anak-orangtua’ yang sedang bertanya soal seks, terjadi banyak kelucuan yang membuktikan bahwa menjawab pertanyaan soal seks itu ternyata memang tak gampang. Tapi agar kita tidak kaku lagi bicara seks dengan anak intinya adalah,”Tenang, ungkapkan perasaan, cek pemahaman, jelaskan secara singkat dan sederhana, serta kunci dengan agama,” jelas ibu Elly.

 

Akhirnya, tiga hari berlalu tanpa terasa. Setelah acara bunga rampai selesai, workshop ditutup dengan pemberian cendera mata dan foto bersama. Walaupun padat dan cukup melelahkan, namun beberapa peserta malah merasa kekurangan waktu. ”Alhamdulillah, ilmunya bermanfaat sekali. Tapi waktunya kurang nih, mestinya dibikin empat hari!” begitu ucapnya. Peserta lain yang menyatakan sangat puas dengan workshop ini bahkan mengatakan, “Lebih dari harga berlian yang saya dapatkan!” Wow!

 

Ya, begitulah. Acara yang bermula dari sebuah kekuatan kehendak itu, selesai sudah. Melihat respon yang masuk, tentu hilang lelah kerja keras panitia. Acara sukses, peserta puas, pembicara pun bahagia. Namun masih ada satu tanda tanya. Mampukah kita menerapkan ilmu yang berguna itu dalam rumah-rumah kita? Berusaha dan berdoa, tentu itu lah yang harus kita lakukan!

 

Semoga ilmu yang didapat tidak hanya berjejak satu atau dua hari. Tapi semoga bisa menguat mengakar selalu dalam hati. Sehingga manfaatnya akan terus mengalir dalam diri kita, anak-anak kita dan sekeliling kita nanti. Seberat apapun tantangan dalam mengasuh anak-anak kita, dengan ilmu dan bimbinganNya, Dia jua lah yang memudahkan. Karena jika niat terhunjam kuat, lagi-lagi seperti kata Coelho, dengan caranya sendiri semesta akan berkolaborasi mendukung kita! (Agnes Tri Harjaningrum)



 

Friday, June 22, 2007

Workshop bersama bu Elly Risman hari I




Rasanya seperti mimpi, menyaksikan workshop ini bisa terealisasi. “Mengundang ibu Elly Risman dari Indonesia ke Belanda? Wah, berapa biayanya? Apa pentingnya? Apa banyak yang tertarik? Berapa pesertanya? Bagaimana kalau nombok? Bagaimana kalau begitu dan bagaimana kalau begini?” Beragam pertanyaan yang melemahkan berkeliaran menyiutkan nyali.

Tapi, anak-anak membutuhkan orangtua yang tahu bagaimana cara berkomunikasi. Agar mereka tahu apa itu empati. Agar dalam hal seks mereka tahu diri. Agar dalam hidup, Tuhannya selalu dijadikan tempat tertinggi. Anak-anak butuh orangtua yang mampu membuat mereka percaya diri, merasa berharga, berkembang dengan optimal, bahagia, dan juga cinta kepada Tuhannya. Apalagi di negeri yang kering spiritual dan tak ber-Tuhan ini. Pada pokoknya anak-anak butuh orangtua yang tahu bagaimana menjadi orangtua! Karena menjadi orangtua adalah sebuah proses panjang berliku yang tak pernah ada sekolahnya. Artinya workshop ini menjadi sangat penting. Artinya niatan workshop ini sangat mulia. Bayangkan berapa banyak mata yang akan terbuka, lalu kemudian berjuang menjadi orangtua yang sesuai dengan kehendakNya. Bayangkan berapa banyak anak-anak yang menatap bahagia karena memiliki orangtua yang memahami jiwa-jiwa mereka dan membuat mereka kian berharga. Akankah Allah meninggalkan orang-orang yang ingin menegakkan niatan mulia? Ah tidak! ‘Tangan-tangan Allah’ pasti bekerja!

Dengan satu keyakinan itu lah kami pun memulai rencana.”Dengan namaMu ya Allah, kami hanya abdiMu, kami hanya bekerja untukMu, dan kami percaya tak ada yang tak mungkin bagiMu.” Tak ada yang ajaib memang bagi Allah. Tapi bagi kami, manusia-manusia yang lemah ini, semua begitu ajaib! Satu persatu kemudahan demi kemudahan betul-betul ditampakkanNya. Kemudahan yang kadang membuat kami tercengang dan tak bisa berkata-kata. Walau kesulitan pun tentu ada. Namun seperti perahu yang sedang melaju dalam aliran sungai, perahu kami seperti didorong tenaga berkekuatan besar untuk menghalau hambatan yang datang. ‘Tangan-tangan Allah’ betul-betul mendorong ‘perahu’ kami, sehingga kami sampai pada tujuan dan menepi.

Begitulah kata-kata sambutan yang kubuat untuk peserta workshop bersama ibu Elly Risman dalam seminar kit. Dan sungguh seperti itu lah nyatanya...dari yang imposible bisa jadi posible, subhanallah! Itu lah kekuatan kehendak kalau kata bu Elly..Pokoknya pengalaman jadi panitia workshop, bekerja dengan ibu-ibu yang penuh dedikasi dan kompak, dibantu bapak-bapak yang juga kompak serta sangat helpfull, betul-betul pengalaman indah yang tak terlupakan deh buatku. Belum lagi ilmu yang didapat. Waah pokoknya luar biasa! Sekarang tinggal berjuang semoga ilmu yang didapat bukan cuma teori tinggal teori. Amin ya Allah...

Wednesday, June 20, 2007

‘Ibu Sebagai’

“Jangan kebanyakan jadi ‘ibu sebagai’!” Kata-kata itu begitu mengusik hati dan tak mau lepas dari ingatanku. “Sudah banyak Ibu lihat contoh, ibu-ibu yang sukses di luaran tapi anak-anaknya nggak beres di dalam. Banyak pula nama-nama Kyai dan ustad-ustadzah, yang nggak perlu lah Ibu sebut namanya, mereka sukses diluaran, tapi keluarganya hancur di dalam,” lanjut Ibu Elly Risman saat memberikan pesan terakhir untuk panitia workshop Salamaa tanggal 3 Juni 2007 lalu.

“‘Ibu sebagai’? Maksudnya?” Pikirku dalam hati. Oh maksudnya itu lho..misalnya ibu Anu yang menjabat sebagai ketua A, sebagai B, sebagai C, sebagai D dan sederet ‘sebagai’ lainnya, alias ibu yang banyak memegang tanggungjawab selain jadi ibu dan istri. “Jadi ibu dan istri saja sudah capek, apalagi kalau harus bekerja, capeknya luar biasa lho! Anak dititip ke pesantren? Diasuh orang lain? Lalu mau anak-anak seperti apa yang dihasilkan? Karena itu ibu selalu menganjurkan keluarga ibu, kalau anak belum 7 tahun, lebih baik dirumah dulu deh. Ibu juga dulu sering ditawari jadi ini jadi itu. Tapi lalu ibu berpikir, apa sih yang kita cari di dunia ini?” Begitu kira-kira ucapan ibu Elly selanjutnya.

Kami, panitia workshop yang sebagian duduk dan sebagian berdiri mengelilingi ibu Elly mendengarkan nasehat beliau dengan seksama. Acara Workshop Salamaa tanggal 1-3 Juni lalu berjalan sukses. Kebanyakan peserta merasa puas, bahkan menyatakan berharap ibu Elly bisa datang lagi ke Belanda. Kami, sebagai panitia tentu juga puas dan senang dengan suksesnya acara ini. Tapi kemudian di perjalanan pulang aku merenung. “Telah sukses jugakah aku membangun keluargaku? Jangan-jangan selama ini aku telah kebanyakan jadi ‘ibu sebagai’. Jangan-jangan tanpa sengaja selama ini aku terlalu sibuk ‘diluar’ dan melupakan tanggungjawabku sebagai ibu. Jangan-jangan selama ini fisik ku di rumah, tapi hatiku tidak bersama anak-anak dan suamiku. Kebanyakan depan kompi, kebanyakan ngenet. Duh ditambah lagi, bukankah selama ini aku sering bilang bahwa aku bukan orang yang bisa ‘duduk manis’ saja di rumah?”

Oh Tuhan! Mengapa tidak Kau buat saja aku menjadi orang yang suka ‘duduk manis’ di rumah? Bukankah semua itu bukan keinginanku? Andai aku bisa merubahnya aku mauu!. Tapi selalu saja aku kesulitan. Memang betul sekali, selama ini aku merasa lebih enjoy melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tak berurusan dengan rumah. Urusan pekerjaan di luar sana bisa aku sikapi dengan profesional, tapi mengasuh anak dan keluarga? Apakah aku sudah bersungguh-sungguh? Padahal ibu Elly selalu berpesan, mengasuh anak itu harus dengan 3 B, Bersungguh-sungguh, Berencana dan Bersengaja! Beliau bahkan selalu membuat goal dan objektif per tiga bulan, per- enam bulan atau per tahun, dalam mengasuh anak-anaknya. Karena urusan pengasuhan anak bukan main-main!

Hmm…bukankah  pertumbuhan dan perkembangan anak-anakku kadang berlalu begitu saja ditelan waktu. Bukankah ‘peer-peer’ ku dalam pengasuhan yang masih menggunung kadang kubiarkan lewat begitu saja. Boro-boro bersungguh-sungguh, berencana dan bersengaja, kesibukan demi kesibukan malah kerap melewatkan waktu-waktu emas anakku yang tak akan pernah kembali itu. Duh! Mengalir dan mengalir saja seperti air, terbawa arus yang entah mengarah kemana. Sejujurnya sejak dulu, tarikan-tarikan di luar sana bagiku memang selalu lebih indah daripada pekerjaan menjadi ibu.

Kenapa ya? “Karena pekerjaan pengasuhan melelahkan jiwa,” kata suamiku. “Siapa sih yang suka mendengar rengekan, tangisan dan lain-lain dari anak-anak, capek hati kan. Dan itu nggak pernah aku temui kalau aku mengerjakan thesis. Karena itu aku bisa ngelembur berhari-hari demi thesis. Aku bisa enjoy sekali dengan pekerjaanku,” lanjut suamiku lagi. Ya mungkin suamiku benar, pekerjaan pengasuhan memang melelahkan bukan hanya fisik tapi juga jiwa. Namun aku sungguh penasaran. Kenapa ya? Kenapa aku dan kebanyakan orang pada umumnya lebih suka pada pekerjaan di luar sana dibandingkan mengasuh anak? Apalagi mengasuh dengan 3 B. Ah aku yakin orangtua yang ber 3 B dalam mengasuh anaknya dijaman sekarang ini sungguh langka. Bukankah kita umumnya hanya berkejar-kejaran dengan pekerjaan, jabatan, masa depan, harta dan entah apa?

Anak-anak kita biarkan diasuh oleh media, harta, tetangga, atau siapapun dia. Yang jelas bukan oleh kita. Waktu untuk anak-anak kita? Twenty minutes parents! begitu kata penelitian di USA. Menurut penelitian tersebut kebanyakan orangtua hanya menyediakan waktu dua puluh menit dalam sehari untuk anak-anaknya. Kita memang ada di pagi hari bersama anak kita. Pulang sekolah, makan malam, menjelang tidur, mungkin kita juga ada. Tapii hati kita tidak bersama mereka! Wajah mengkerut, ingatan pekerjaan di kepala, bentak sana bentak sini, dan selalu dengan tergesa berkata,”Ayo cepat, nanti terlambat. Makannya lama amat! Ayo tidur! Ayo sholat! Ayo beresin mainan!” dan pecutan kata-kata lainnya. Dan kalau anak-anak ingin bermain bersama kita,”Mama capek!” Itu yang kerap kita ucapkan bukan?

Oh..oh..oh…aku harus berhenti sejenak! Merenung lagi, mengingat lagi tugas-tugas pengasuhan ini. Mereka amanahku! Akankah kutinggalkan mereka tanpa bekal yang berharga? Tapi mengapa begitu sulit untuk mau ber-3 B? Aku sungguh masih penasaran. Kenapa? Kenapa pekerjaan di luar sana selalu berwarna lebih indah?

“Karena orangtua kita tidak pernah mempersiapkan kita menjadi ibu dan ayah!” Itu jawabnya! Ibu Elly menjawab pertanyaanku itu saat aku bersamanya seminggu. “Dari dulu, kita tidak pernah disiapkan untuk menjadi orangtua. Akademik..akademik dan akademik, itu saja yang selalu jadi tujuan. Jadi insinyur, dokter, pengacara..dan lain-lain pekerjaan bergengsi lainnya. Itu lah yang dimau kebanyakan orangtua kita dulu. Apakah pernah kita belajar bagaimana menjadi ibu? Apakah pernah ditanamkan dalam diri-diri kita bahwa suatu saat nanti kita harus menjadi ibu dan ayah? Apakah pernah kita diberi bekal untuk menjadi ibu dan ayah? Tidak bukan? Padahal menjadi orangtua itu tidak mudah. Padahal keterlibatan seorang ayah dalam pengasuhan sangat penting. Padahal ayah dan ibu harus menjadi partnership dalam pengasuhan. Apakah kita tahu semua itu? Saya dengan Neno (Neno Warisman-red) bahkan berjanji, bahwa kami akan berusaha semampu kami hingga mati untuk membuat anak-anak laki-laki generasi kini, agar mereka siap menjadi seorang ayah!” Begitu kira-kira penuturan ibu Elly dalam obrolan-obrolan kami selanjutnya.

Ya! Itulah jawaban yang aku cari. Pantas saja aku tak pernah tergerak untuk bersungguh-sungguh, berencana dan bersengaja membangun keluargaku, mengasuh anak-anakku, karena orientasiku dulu memang hanya jadi dokter..ambil spesialis..karir dan karir. Begitu juga dengan suamiku. Belakangan kurubah niatku menjadi ibu, tapi itu pun karena kondisi. Itupun disambi jadi penulis, jadi tukang kue, dan jadi jadi lainnya. Tetap saja prioritas menjadi ibu ini kemudian tenggelam.

Hmm…lalu apakah artinya aku tak boleh bekerja dan beraktivitas di luar sana? Oh tidak, bukan begitu maksudnya. “Silahkan saja, tapi kalau sudah siap mengambil tanggungjawab lain, bagaimanapun, anak tetap amanah kita. Pengasuhan anak tetap jadi prioritas dan artinya kita tidak boleh mengeluh capek! Siapa suruh punya anak?” begitu kira-kira pesan bu Elly lagi. Di sela-sela obrolannya dengan suamiku, bu Elly malah bilang,” Di rumah saya, haram hukumnya bilang capek! Karena anak saya sudah besar-besar, sekarang, ada anak saudara yang saya asuh. Tanpa ganti baju sepulang kerja, saya bahkan mendahulukan mereka. Ngobrol dengan mereka, atau menemani mereka bikin Pe-er.” Bayangkan, bukan anak sendiri saja betul-betul diasuh dengan 3 B oleh bu Elly. Sedangkan aku? Hmm…

Jadi untuk orangtua yang bekerja, bagaimana tipsnya agar anak tetap dalam ‘kendali’ kita? “Quality time yang benar bukan menyediakan 20 menit sehari untuk anak, tapi terpotong-potong. Kalaupun memilih bekerja, minimal sekali, sediakan  dua puluh menit sehari tapi full betul-betul untuk anak. Itu lah yang disebut quality time,” kata bu Elly memberikan tipsnya. “Pulang kerja, muka jangan kenceng. Lakukan sesuatu bukan ‘bersama-sama’ tapi ‘bersama’ anak (jangan melakukan yang lain). Nggak bisa kita bilang,”Mama capek!” saat anak sedang membutuhkan kita. Ketika bersama anak, kosongkan pikiran, buang semua timbunan pekerjaan yang masih menggelayut di kepala, dan lakukan sesuatu dengan anak dengan sepenuh hati.”
 
Tapii… Tidak boleh mengeluh capek? Wadaw! Bagaimana mungkin? Huhuhu padahal sekalipun aku dirumah tapi pekerjaan rumah dan pekerjaan lain-lain itu lah yang membuatku capek. Si capek yang selalu bikin gara-gara, sehingga aku melewatkan saja momen-momen berharga dalam hidup anakku. Si capek yang kerap membuat amarahku tak tertahan dan kesabaranku hilang. Tapi kalau dipikir lagi, iya ya, setiap pilihan mengandung resiko bukan? Kalau mau mengambil tanggungjawab lain (bukan hanya sebagai ibu dan istri), tentu harus siap dengan akibatnya dong ya? Jadi, memang sudah sewajarnya kalau kita tak boleh mengeluh capek bukan? “Geser paradigma!” kuingat lagi pesan bu Elly. Ya barangkali itu kuncinya agar kita tak lagi mengeluh capek.

Ngeles? Mau lari dari tanggungjawab? Boleh-boleh saja, karena hidup adalah pilihan. Tapi bukankah setiap pilihan harus dipertanggungjawabkan? Sekarang tinggal pilih, mau generasi yang lebih baik, tetap jalan ditempat atau berlari mundur kebelakang?”Apa nggak malu, paspor negara kita selalu dipandang sebelah mata oleh negara lain? Ya karena Cuma sebegini lah kualitas manusia-manusia Indonesia yang ada sekarang!” Ucapan Bu Elly itu kerap kudengar untuk menyentil kami. Namun yang terpenting lagi, ketika nanti Allah bertanya,”amanahKu, telah kau asuh seperti apa amanahKu?” Mampukah aku dengan lancar menjawabnya? Ataukah mulutku hanya bisa terbata-bata, kelu bahkan terkunci kaku? Kalau menjadi ibu dan istri saja sesungguhnya aku belum mampu, lalu sanggupkah aku menjadi  ‘ibu sebagai’ lainnya? Argh… rasanya harus kutata ulang lagi hidupku kini!

Pertemuan dengan ibu Elly sungguh seperti sebuah paket spesial dari Tuhan untukku. Ketika aku sedang asik dengan kegiatan baruku dan terlena, lagi-lagi Allah mengirimkan utusannya untuk mengingatkan aku, menegurku dan meluruskan kembali jalan pengasuhanku. Terimakasih ibu, pesan-pesan dan semangat yang kau bawa dalam cerita-ceritamu sungguh membuatku haru. Terimakasih Tuhan, untuk kiriman paket spesial itu. Gerakkan kaki, tangan, hati dan pikiranku, agar tak lagi melalaikan amanahMu.