Thursday, September 10, 2009

Ketika Kejujuran Ramai-ramai Digadaikan

Setelah lima tahun tak pulang, tentu aku senang. Meski beberapa keadaan kadang membuatku bimbang. Banyak cerita-cerita yang ingin kutulis sebagai catatan. Tapi baru ini yang sempat tertuang.

Ketika Kejujuran Ramai-ramai Digadaikan

Pernah menyontek? Jujur, aku pernah. Masih tergambar jelas dalam ingatanku, ketika ibu guru matematika SMP ku menghampiri tempat dudukku.”Buka!” Ketusnya. Gemetaran, aku ambil lembar kertas paling atas di depanku. “Buka lagi!” Suaranya makin galak. Aku ikuti perintahnya sambil mengutuki degup jantungku yang bunyinya makin keras. “APA INI?!” Teriaknya. Tubuhku seketika lemas. Mati aku! SRET…SRET…! Ibu guru yang galak itu merobek-robek kertas contekanku. Uuh wajahku mendadak  bersemu merah bak kepiting rebus. Ingin rasanya aku berlari sekencang-kencangnya keluar kelas, agar terhindar dari tatapan mata teman-temanku.

Yup, di masa-masa badung itu aku memang kerap menyontek dan ketahuan menyontek. Kapok? Sebelum aku memutuskan memakai jilbabku, sayangnya tidak. Selain karena kemalasanku belajar, menyontek juga  menurutku saat itu asyik, karena membuat adrenalinku meningkat. Maklumlah namanya juga ABG, sambungan sel-sel dalam otaknya memang belum waras benar. Tapi aku berani sumpah, meski begitu, aku hanya menyontek di saat-saat ulangan harian. Masih ada kesadaran dalam diriku untuk menghargai  momen-momen ujian besar. Aku tidak berani dan tidak pernah menyontek saat ujian naik kelas apalagi ujian Ebtanas.

Belasan tahun berlalu sejak masa-masa itu. Masa yang membuat aku kini bisa geleng-geleng kepala tapi juga tertawa. Tapi aku bukan hanya geleng-geleng kepala. Aku terhenyak dan tak bisa lagi tertawa ketika mendengar cerita sahabat-sahabatku tentang menyontek berjamaah  yang kini sedang menjadi trend di lakukan di sekolah-sekolah di Indonesia.

“Anak-anak kelas 6 SD yang bersekolah di SD X itu semua menangis. Sebetulnya mereka selalu diajari untuk jujur oleh guru-gurunya. Tapi ketika hari H ujian Nasional tiba, guru pengawas dari sekolah lain malah memberitahu jawaban-jawaban soal ujian pada anak-anak itu. Tentu saja mereka menolak. Guru-guru SD X tak terima dan melaporkan kejadian itu pada dinas pendidikan. Rupanya pak pejabat cepat tanggap. Esoknya, si pejabat dinas sendiri yang datang mengawas. Dan ternyata oh ternyata…Tahu apa yang diucapkan oleh si Bapak dinas pendidikan yang terhormat ini pada anak-anak kelas 6 SD itu? Kalian anak-anak yang sombong! Diberi tahu jawaban supaya nilai kalian bagus malah tidak mau.” Begitu kira-kira cerita dari salah seorang sahabatku.

Haaa?! Aku melongo. Entah apa yang ada dalam pikiran para pejabat pendidikan itu. Rupanya kini sudah menjadi rahasia umum jika sebelum hari H ujian Nasional tiba, kunci-kunci jawaban mulai beredar. Bahkan ada peraturan tak tertulis, agar guru-guru pengawas diminta untuk membiarkan saja anak-anak murid menyontek. Kalau belum punya contekan ya diberi saja. Edan! Jaman sudah edan kan. Mendengarnya, aku jadi teringat guru matematiku dulu itu. Kemana perginya sosok-sosok guru macam itu, yang meski galak tapi tetap setia mengajarkan apa arti kejujuran.

Lima tahun aku tak pulang ke negeriku. Tapi kepulanganku rupanya membawa cerita pilu. Tak hanya sekali aku mendengar cerita serupa ini. Lagi-lagi aku mendengar cerita yang sama ketika aku hendak mendaftarkan anak-anakku ke sebuah sekolah, sebut saja sekolah Y. Untuk masuk ke sekolah Y ini memang harus waiting list, karena itu meski aku akan kembali tinggal di tanah airku entah kapan, aku tetap saja mendaftar.

Seorang ibu guru yang ramah saat itu menemuiku. Aku bertanya soal macam-macam, termasuk tentang bagaimana output sekolah itu. Mendengar jawaban sang ibu guru, aku kembali terpaku. “Hmm..sulit untuk bicara soal output,” ujarnya pelan. “Kami selalu mengajarkan kejujuran pada anak didik kami. Tapi ketika dunia di luar sana berkata lain, apa yang bisa kami katakan,” Lirihnya. “Waktu itu, setelah ujian nasional matematika selesai, anak-anak SMP didikan saya berhamburan memeluk saya. ‘Hu..hu..hu…Ibuuuu! Mereka (siswa sekolah lain) sudah menyelesaikan soal hanya dalam waktu tigapuluh menit! Hu..hu..hu’. Anak-anak didik saya bertangisan. Saya hanya bisa diam. Anak-anak sekolah lain itu sudah mendapatkan jawaban soal dari guru-guru mereka sendiri sejak sehari sebelum ujian dimulai. Kami tentu saja tidak bisa melakukan itu dan saya tahu anak-anak didik saya tidak ikut-ikutan. Mereka tetap berjuang mati-matian menyelesaikan soal, tanpa sebelumnya tahu jawaban. Saya tak tahu lagi apa yang harus saya katakan. Saya hanya bisa bilang,’Yang pasti Allah tahu dan akan melihat kejujuran kita Sayang.”…

Mataku seketika berembun, terharu mendengar anak-anak itu yang mampu mempertahankan kejujuran . Kuhapus pelan-pelan air yang keluar dari sudut mataku, khawatir ibu guru itu memerhatikan.“Bahkan anak-anak yang tidak memiliki handphone pun, diminta untuk membawa handphone saat ujian, supaya bisa mendapatkan jawaban,” lanjut ibu guru. “Hasil ujian anak-anak didik saya memang menggembirakan. Tapi kalau anak-anak sekolah lain nilainya sepuluh semua, saya bisa apa?”

Hiks. Apa yang sesungguhnya terjadi Tuhan? Menyontek berjamaah, bahkan dianjurkan oleh para pejabat tingkat atas pendidikan. Ini gila! “Ibu, mengapa bisa terjadi seperti itu, maksud Diknas apa Bu?” Tanyaku tak sabar. “Saya tak tahu pasti. Tapi dengar-dengar sih , ada uang tambahan dari pemerintah jika sekolah-sekolah yang mereka pegang mendapat nilai rata-rata ujian yang memuaskan.” Glek! Aku hanya bisa menelan ludah. Lagi-lagi hanya karena uang? Hanya karena uang, para pejabat pendidikan itu mampu menggadaikan pentingnya sebuah kejujuran. Hah…aku betul-betul tak habis pikir! Mau jadi apa anak-anak itu nanti? “Ibu, kalau begini caranya, entah kapan saya akan benar-benar tinggal dan pulang ke negeri saya sendiri.” Si ibu hanya mengulum senyum. “Yah begitulah kondisi pendidikan di Indonesia sekarang,” ujarnya kelu.

Ketika aku menceritakan kejadian ini pada suamiku, ia bilang ini namanya ‘ripple’. Untuk menuju ke ‘steady state’, keadaan tenang, selalu ada jungkir balik gelombang sebelumnya. “Negara kita sekarang sedang bergelombang. Nanti ada saatnya ia menjadi tenang,” lanjut suamiku. Ya, mungkin suamiku memang salah seorang yang optimis terhadap nasib bangsa. Tapi tetap saja, sebuah keoptimisan, sebuah keadaan tenang harus diraih dengan sebuah perjuangan bukan?

Di bulan ramadhan ini, aku menjalani puasaku di negeri orang, negeri yang katanya sekuler, tak percaya pada Tuhan. Ramadhan di negeri ini sungguh kontras dengan di negeriku. Di negeriku, gema suara adzan dimana-mana terdengar. Mesjid-mesjid pun ramai dikunjungi orang. Acara-acara rohani di TV tiba-tiba muncul seperti jamur di musim hujan. Acara buka puasa bersama dimana-mana digelar, khataman Quran, menyantuni anak yatim, pengajian; hampir seluruh kegiatan begitu agamis. Orang-orang pun begitu gembira menyambut ramadhan. Semua itu seolah menunjukkan betapa ‘sholeh’nya negeriku, negeri yang hampir seluruh penduduknya mengaku ber Tuhan. Namun bila kuingat lagi cerita sahabatku dan ibu guru itu, aku miris, sungguh miris. Apa artinya semua gembar-gembor itu, kalau arti sebuah kejujuran telah ramai-ramai digadaikan, bahkan oleh sebuah institusi yang bernama pendidikan! Adakah yang mau memperjuangkan? (Agnes Tri Harjaningrum)

Ps:
Tulisan ini dibuat tanpa mengurangi rasa hormatku pada para pendidik. Aku sadar, masih banyak pendidik yang sangat baik di negeriku. Masalahnya hanya terjadi pada segelintir orang yang kebetulan sedang memangku jabatan dan menjadi pengambil kebijakan.

Diemen, 10 September 2009
Ditulis untuk diary ramadhan deGromiest

37 comments:

  1. Kita tetep harus optimis mbak betapapun carut marutnya negeri ini mbak... ^_^

    ReplyDelete
  2. yup setuju Say, but the problem is, adakah yg masih mau memperjuangkan soal ini, sebab ko kayanya adem ayem aja ga ada beritanya di media atopun di milis2 :(

    ReplyDelete
  3. Sedih ya mbak....Indonesia memang sebagian besar masyarakatnya adalah masyarakat citra..kadang munafiknya ampun-ampunan..dan kadang sampai ke masalah yg besar dan mendasar seperti ini.

    ReplyDelete
  4. ^_^ apa kabarnya mbak...kangen deh..lama bgt kita gak ketemu...jd kangen Groningen juga....

    ReplyDelete
  5. Hai Lessy! tambah cantik aja dirimuh :-) iya ya dah lama bgt ga ketemu, terakhir mah ya pas lessy bawa serundeng ke groni itu kan, n pijet pijet, duuh mau deh di pijet hehe. Btw, skarang aku dah ga di gron lg say, di diemen, maen2 ya :-)

    ReplyDelete
  6. iya ya Les, dan herannya koq sptnya dah jd biasa ya, TST ajah :(

    ReplyDelete
  7. memang sangat memprihatinkan....makanya bisa dilihat dari kualitas anak-anak smp dan sma almamater kita itu dulu...sekarang berkurang banyak :(

    ReplyDelete
  8. Kayaknya masalah ini tidak begitu diangkat di permukaan deh mbak. Aku aja kaget banget nih pas baca postingan ini. Duh.. separah itukah indonesia saat ini. Seingetq zaman dulu tu ga sampai sebegininya, walau ada budaya contek2an, tapi ga sampai ada keterlibatan oknum yang jelas2 seharusnya menjaga kualitas pendidikan bangsa dgn mempertahankan nilai kejujuran. Rasanya kalau seperti ini mah ya wasting saja sih ada UAN, cuma buang2 anggaran negara saja, padahal kualitas anak didik ga cuma hanya dinilai dari beberapa hari UAN saja. Apalagi kan kalau SMU, aslinya UAN ini tidak begitu terpakai kecuali di beberapa institusi yg mensyaratkan nilain minimal UAN. Tapi kalau SPMB kan ga ngaruh berapapun nilai UANnya..

    Yang kasihan juga anak2 SD di dalam postingan mbak ini. Mereka yang sudah berusaha jujur & ikhtiar bwt UAN eh harus dapat alakadarnya dibanding mereka2 yg memilih jalan tidak jujur.

    piuh.... ntahlah..
    harapannya nilai kejujuran sudah dilatih sejak kecil.. tapi klo sejak kecil sudah begini ya gimana nantinya..

    ReplyDelete
  9. Pas pulang liburan kemarin dan mengobrol dengan sepupu-sepupu yang muda, tampaknya efek dari sistem pendidikan yang jalan pintas ini sudah terlihat yah...pas jaman kita memang sih sudah ada yang beli soal, beli nilai, cuma kalau mendengar dari mulut anak yg masih sekolah yang bisa dengan enteng berkata,"Belajar ngga usah ngoyo, toh susah payah tetep aja kalah pas masuk sekolah favorit sama yg pakai uang", rasanya miris yah...

    Tapi kalau ngeliat kaya murid-muridnya Yohanes Surya atau gerakan beasiswanya Betty Alisyahbana, tetap optimis sistem pendidikan di Indonesia masih ada yang bagus :-D

    ReplyDelete
  10. wah baru tau nih ... kok parah bgt gini skrg yah ..

    ReplyDelete
  11. baru tahu, kalau memang nanti bakal dikasih jawaban, kenapa masih ada yang pergi ke bimbel yak?..
    jadi uan itu buat apa?

    "Allah tak melihat hasil, tapi kerja keras orang itu."

    ReplyDelete
  12. Masalahnya begini.....sistem UAN sekarang kan pake minimal nilai, tapi bukan minimal total nilai, tiap mata pelajaran ada nilainya, dan gak boleh kurang dari 5 atau berapa gitu, kalo jaman dulu kan, gak masalah misalnya nilai fisika 3,5, tapi bahasa indonesia 9,8, kalo sekarang gak bisa begitu, satu nilai jelek, gak lulus semuanya.....namanya anak-anak kan ada aja kekurangannya.....akibatnya, pernah ada satu sekolah gak lulus semua. nah kalo udah begitu, sekolahnya yang malu......akibatnya diambil jalan pintas, semua dikasih kunci jawaban, biar bisa lulus 100% dan wajah sekolah terselamatkan

    Nah....kalau sudah begini siapa yang salah coba?

    ReplyDelete
  13. boleh di-share ke facebook saya nggak?

    ReplyDelete
  14. wah gila jg tu para pendidik yg malah ngasih jawabannya. kalau gitu mendingan murid2nya dikasih langsung angka sepuluh aja, gak usah buang2 waktu dan kertas utk menilai. amit2 dah...

    btw, kalau generasinya rusak mentalnya, butuh waktu yg panjang utk memperbaikinya... gemeeezzzzz

    ReplyDelete
  15. halah? mest ngulang semua mata pelajaran? koq yg kerja di depdikbud makin gila aja ya yg bikin aturannya? seingetku jaman aku di smp/sma, kalau nilai bhs indonesia dan pmp (kalo gak salah) di bwh 6, gak bisa naik kelas.

    ReplyDelete
  16. pastilah ya sus, eh si ibu guru jg crita, ktnya klo masuk SMA kita n tetangg yg SMA internasional ato apa lah gitu, tes nya beda, sendiri2 pake wawancara, jd bnr2 kudu pilih2 skul buat anak klo gini caranya mah ya, masuk skul negri malah syerem :(

    ReplyDelete
  17. Na itu dia masalahnya Say, jaman kita mah masuk skul bener2 kringet sendiri, na klo gini caranya kan mana anak2 mau belajar wong udah bakal dpt sepuluh, parah bgt de :(. Jdnya emang kudu bener2 selektif cari skul, memang klo SPMB ga pengaruh, but yg ketampung SPMB cuma segelintir, aplg sekarang banyaknya yg pake duit, kebayang kan mental yg terbangun di anak2 sisanya, duh klo dibandingin sm anak2 sekolah disini yg ktnya sekuler tp sgt menghargai kejujuran ini, produk kita kalah jauh lah :(.

    ReplyDelete
  18. O brarti masalahnya bkn cuma duit doang ya sus, tp biar wajah sekolah terselamatkan? gilee ya klo gitu ngapain pake bikin sistem UAN yg ga realistis, yg salah tetep aja org atas,mikire piye to? guru2 n anak2 sebenernya ya cm jd korban, lha anak ABG, otaknya belum beres malah dikasih pendidikan moral ga jujur kaya gitu, gmn ga korupsi tambah banyak, kasian bgt ya :(

    ReplyDelete
  19. miris emang Ndres, klo jaman kita, yg bli soal meski ada ya tp kan ga satu sekolahan dan ga seluruh kota gitu lho, lha ini sekampung :(. Emang sih optimis tetep at least anak2 kita sendiri deh yg dibenerin ya ga :-). Btw, klo muridnya johanes surya sebenernya dpt kritikan jg kan, udah mah mereka itu emang dr sononya gennya pinter2, anak2 gifted trus di drill pula, gmn ga menang. Klo peserta dr negara lain mah dibiar2in aja, ga pake dilatih, but ya tetep bagus deh dp ga ada yg mikirin nasib anak2 pinter :-)

    ReplyDelete
  20. aku jg klo ga daftarin anakku n ga ngobrol ama temenku yg kebetulan anaknya di sekolah swasta jg ga bakal tau mba, jd ati2 aja klo mau sekolah di negri, tp moga2 aja pejabatnya diganti sm yg bener, biar ga kaya gitu lagi :(

    ReplyDelete
  21. Bimbel kayanya buat UMPTN tetep rame ya mba, krn umptn tetep ga bs nyontek, tp kali bimbel jg soal trend ya, jamanku aja dulu dah gitu, klo ga ikut bimbel kayaya ko ketinggalan ma temen, mestinya skarang jg msh ga jauh2 dr itu.

    ReplyDelete
  22. monggo..mongo Jeng, tersanjung niy daku pake di share segala hehe

    ReplyDelete
  23. uuh pas dicritain jg aku gemez bgt mbaa....duiit aja yg dipikir ya ma orang2 atas itu heran :(

    ReplyDelete
  24. Agnes, walaupun mengejar angka minimal UAN, tdk semua sekolah menghalalkan kecurangan

    Afra sekolah di SD Islam kecil di Depok,sejak Januari, awal semester, anak2 diberi latihan soal, try out tiap 2 minggu , dan dimotivasi sepekan sekali dengan psikolog, isi motivasinya macam2, yg paling banyak tentang keutamaan org2 berilmu

    3 hari menjelang UASBN, kepala sekolah mengajak anak istirahat belajar,anak2 diajak menyimak novel laskar Pelangi (2thn lalu) diceritakan ttg perjuangan Thomas Alfa Edison, yg walau pintar, tp dianggap bodoh di sekolah, dan banyak lagi cerita lain yang memotivasi anak utk belajar, alhasil, Afra dan banyak teman2nya,dapet NEM diatas target,

    setelah ditanya,karena motivasi psikologis ini, mereka jadi sadar belajar itu utk mereka sendiri

    ReplyDelete
  25. turut prihatin .....sepantasnya kita berusaha aga berdiri di atas kaki sendiri, jadi besok kalo mo jalan udah bisa.....

    ReplyDelete
  26. iya...soalnya kemarin itu ada kejadian, siswa SMA 3 yang pintar tidak berhasil lulus UN, karena salah satu nilainya ada yang 4 gitu, padahal mata pelajaran lainnya di atas 8, dan sehari-harinya dia juga kabarnya pandai dan nilainya selalu bagus....jadi memang kasihan sih, masa nasib kelulusan ditentukan dengan ujian dalam satu hari saja, apa gunanya sekolah 3 tahun.... jadi bocoran itu fungsinya supaya murid lulus UAN saja.

    ReplyDelete
  27. @ mba mia: ko komennya ga muncul disini ya, tp aku bales disini aja ya mba :-)
    Memang mba ga semua sekolah begitu, SD X dan Y yg kuceritain diatas jg ga begitu, sm kaya SDnya Afra, sptnya kebanyakan si yg negri ya, krn ibu guru crita samplenya yg negeri2 ya, yg jd target diknas, makanya sptnya saat ini kalo mau sekolah hrs ngulik dulu n ati2 pilih sekolah. Btw skul nya afra asik banget ya sptnya mirip sm program yg di SD Y. tfs mba :-)

    ReplyDelete
  28. Nes.. masih ada kok para pendidik yang concern dengan tujuan pendidikan. Jadi, kalau di Indonesia, jeli-jelilah kita memilihkan sekolah buat anak anak kita. Kadang memang sulit untuk mendapatkan yang 'ideal' menurut kita, karena tuntutan kurikulum dari Diknas sendiri masih gila-gilaan. Jadi ya ahkirnya harus win-win solution, saya pribadi meskipun sekolah anakku masih mem-push dalam bidang pelajaran (ya karena memang tuntutan KBK yang tinggi), tapi sekolah anakku ini masih memegang teguh value kejujuran, keberpihakan pada yang lemah dan tersingkir serta budi pekerti. Itulah yang aku cari, mengenai kurikulum, ya ini sih sistem, kita mau gimana lagi...

    ReplyDelete
  29. Sam Li, aku jgbaru tau, moga segera ada solusi ya...

    ReplyDelete
  30. Sam Li, aku jgbaru tau, moga segera ada solusi ya...

    ReplyDelete
  31. yup setuju Ta, makanya aku tulis di Ps hehe, soalnya kuatir menyinggung guru2 yg berdedikasi, guru2 di sekolah X n Y itu jg bagus2 mrk jg jujur dan concern dgn tujuan pendidikan, cm krn sistem memang akhirnya mereka kena dampaknya. Aku jg setuju bgt sekarang kudu ati2 sekali pilih sekolah. Dan sejak menulis ini aku dpt laporan dr bberp temen2, intinya memang ada bbrp sekolah yg ga ngalami spt cerita di atas, yg jelas sekolah swasta, cm aku belum mudeng skolah swasta yg spt apa, apa yg ga ikut persamaan? sebab sekolah X n Y diatas jg swasta tp ikut persamaan, makanya mereka jd mau ga mau hrs dpt pengawas suruhan diknas yg nyuruh nyontek itu. Tp klo sekolah negeri sptnya dah jgn ditanya deh. Tp aku jg ga pasti apakah di semua provinsi spt itu, yg jelas, jawabarat begitu trus ibu guru bilang sih di Indonesia kondisinya spt itu, plus laporan dr temen yg pernah jd pemantau ujian nasional, bukan di jawa barat jg memang mengiyakan kasus di atas, jd tampaknya memang mengendonesia, kecuali swasta yg belum persamaan? ato yg bs mandiri ga usah urusan sm diknas? hmm..perlu mendapat laporan lebih lanjut dr temen2 lain neh :-) Yg jelas prihatin...krn yg ga jujur jmlnya jauuuh lebih bnyk dr yg jujur, kebalikan jaman kita dulu kan :(

    ReplyDelete
  32. mungkin benar kt suami mba, ini adalah tahap ripple hingga agak gonjang ganjing. meski begitu saya tahu ada banyak sekolah yg tetap berpegang teguh pada kejujuran mba seperti di sekolah anak saya dan juga sekolah keponakan saya. ada sekolah islam dan juga yg negeri, ini menandakan masih ada pendidik yg tidak menggadaikan arti kejujuran meski untuk hal itu mereka harus pontang panting beserta para orang tua murid agar anak2nya dapat lulus......
    met lebaran dan maaf lahir bathin ya mba, salam untuk keluarga ^_^

    ReplyDelete
  33. mbak agnes, salam kenal. saya senang membaca tulisan2 mbak disini. saya rajin lho buka2 blog mbak agnes :) inspiring banget.....hehehehe....btw...gak tau kapan sistem contek mencontek ini bisa dirubah...makin maju sistem pendidikan akan dibarengi dengan majunya sistem percontekan...:)) mungkin bisa kita mulai dgn ngajarin anak ttg kejujuran dirumah dulu kali ya...jadi anak akan terbiasa dgn kejujuran...tapi kadang2 org tua sangking takut anaknya gak lulus malah mendukung anak buat nyontek...jadi dari rumah pun banyak yang musti dirumah...terutama yang berhubungan denga harga diri :p

    ReplyDelete