Friday, May 20, 2005

Yang Tak Hilang dari Perjalanan



Ber3-di-metro.jpg

Di dalam metro



Kami baru turun dari metro di Noisy Champ ketika tiba-tiba
seorang anak lelaki negro tersandung dan terjatuh di depan kereta
dorong Malik. Kejadian itu begitu cepat dan tentu saja 
anak-anakku menyaksikan semuanya. Bapak anak berkulit legam itu
tiba-tiba datang. Tanpa ba bi bu ia langsung menampar dan menyeret anak
itu. Tarikannya teramat kasar diikuti dengan teriakan marah pula. 
Aku terkesiap. Ada yang tergores di dada ini melihat wajah kesakitan
anak itu. Kemarahannya seperti si anak habis mencuri saja, padahal
semua tak sengaja. Malik dan Lala hanya bisa melongo, begitu juga aku.
Tapi aku tak  bisa membiarkan kejadian ini terekam begitu saja di
kepala anak-anakku.



"Menurut Lala dan Aik, gimana ya perasaan kakak tadi
dipukul sama ayahnya seperti itu?" tanyaku berjongkok di depan
mereka.

"Sedih" Aik langsung menimpali.

"Sakit nggak?"

"Iya" jawab mereka
dengan wajah bingung

"Ayah dan bunda pernah kayak begitu?"  Mereka
pun menggeleng

"Alhamdulillah ya, Aik dan Lala nggak punya ayah yang
seperti itu"

Anak-anakku hanya diam. Barangkali masih bingung, atau
mudah-mudahan sedang mencerna ucapanku. Semoga saja ini menjadi
pelajaran berharga buat mereka.



Esok harinya, kejadian itu terulang
lagi, tak separah kemarin memang. Di dalam metro, seorang ibu,
lagi-lagi berkulit gelap, duduk di hadapan kami dengan ke tiga orang
anaknya. Anak lelaki kecilnya tak bisa diam, ya namanya juga anak.
Namun, si ibu memarahinya dengan berteriak galak. Matanya pun melotot
sambil tangannya menarik-narik si kecil untuk duduk diam. Anak-anakku
hanya bisa melongo lagi. Aku hanya bertanya-tanya dalam hati, mengapa
berkulit gelap lagi? Pesan yang sama tak lupa kusisipkan pada
anak-anakku.



Masih di hari serupa, di dalam metro pula, lagi-lagi
seorang lelaki berkulit legam berulah. Dengan jas necisnya ia berdiri
di hadapan kami, karena metro sedang penuh waktu itu. Diambilnya sebuah
permen dari saku jasnya. Permen pun masuk ke mulutnya.
Tapi...O...O...si bungkus permen? Dengan cueknya dia buang begitu saja
ke lantai kereta. Tentu saja anak-anakku melihatnya. Dan tentu pula
hatiku bertanya lagi, negro lagi?"Harusnya sampahnya dibuang kemana
ya?" Pertanyaan itu kulontarkan pada kedua buah hatiku. Pertanyaan yang
tak butuh jawaban, karena aku hanya sekedar mengingatkan.



menunggu-kereta-datang.jpg

Menunggu Kereta Datang



Di
hari lainnya, tempat duduk di ruang tunggu kereta subway sedang penuh.
Anak-anakku duduk di kereta dorongnya, dan kami berdiri menemani. Aku
tersentak kaget dan baru tersadar, sepasang muda-mudi duduk di hadapan
kami. Masya Allah, Malik terbengong-bengong menyaksikan pasangan yang
sedang 'berasyik masyuk' itu. Hebohnya luar biasa pula. Tak cukup
sekedar Frenchkiss yang terkenal saja, tapi merajalela ke sekitarnya.
Di kota ini, pemandangan seperti itu memang sering sekali kami lihat.
Parahnya, lebih liar daripada di kota kami. Frenchkiss yang terkenal
itu betul-betul dilakukan dimana-mana, tak hanya satu-dua pula. 
Hmm...untung  aku tadi melihatnya. Langsung saja mulutku berkata :
"Malik sayang, berciuman itu hanya boleh untuk yang sudah menikah ya,
seperti ayah bunda" Jagoan kecilku cuma diam. Pasti bingung lagi. Tapi
semoga omonganku direkamnya.



Eiffel-kasih-makan-burung.jpg



Anak-anakku
memang sering melongo melihat kejadian-kejadian seperti itu. Tapi
mereka pun banyak tertawa. Seperti sewaktu mereka kegirangan memberi
makan burung-burung di dekat menara Eiffel, juga di museum Louvre.
"Lala bosan ayah bunda foto-foto terus" rengeknya kala kami sedang
berada di dekat menara Eiffel. Beruntung ayah tak kehabisan akal.
Diambilnya roti bekal yang tak termakan. Burung-burung pun berdatangan
dan  mematuki  potongan-potongan roti itu. Anak-anakku
tertawa riang. Dan mereka pun berkejar-kejaran dengan para burung.
Burung-burung itu pasti bilang "Terimakasih Lala, terimakasih Aik
karena sudah memberi makan kami. Allah pasti tambah sayang sama kalian"
kata ayah menirukan suara hati burung.



Lala-dan-badut.jpg



Tawa
yang ini lain lagi. Tawa takjub dan heran, juga kegirangan. Awalnya
mereka ketakutan melihat badut di pinggir jalan. Badut itu berjualan
balon-balon berbentuk lucu, yang dibuatnya setelah anak-anak bersalaman
dan mengucapkan salam. "What is your name?" sapanya ramah. Sambil
bersalaman, diberinya Lala sebuah permen. Lala langsung saja ingin
mengambilnya. Tapi...eit...permennya malah lari ke atas. Tangan Lala
segera menjumput permen ke atas. Eit...koq permennya lari lagi. Tangan
Lala berkelak-kelok kesana kemari bagaikan ular, berusaha mengambil
permen yang dipermainkan oleh sang badut. Tawanya riang sekali. Badut
itu memang  lucu dan pintar. Belit sana, belit sini, balon
berbentuk bunga pun segera siap dipersembahkan, buat Lala seorang.



Aik-badut-permen.jpg



Ha...ha...ha...tawanya
senang. Tawa itu terdengar saat Malik berhasil mengambil permen dari
sang badut. Matanya berbinar heran, melihat sang badut membuat balon
berbentuk binatang. Dipeluknya balon macan itu dengan sayang. "Ik houd van je. Je ben myn beste friendin
(aku sayang kamu, kamu teman baikku)" katanya riang. Tapi esoknya
tangisnya tak kunjung hilang, saat balon macan itu kempes dan dibuang.
"Hu...hu...hu...Je ben myn beste friendin hu...hu...hu..."




Wajah
mereka juga senang sekaligus ketakutan, saat melihat anjing dan kucing
tidur akur berduaan. Anjing dan kucing itu menjadi tontonan bagi
turis-turis yang berseliweran. Dengan iringan musik yang riang, anjing
dan kucing tetap akur, tak peduli pada sekitar. Pemiliknya berkaca mata
hitam, berdiri mematung sambil menunggu sumbangan. Anak-anakku mencoba
mendekatinya perlahan. Tawanya terdengar, tapi tetap saja ketakutan.



Lala-dan-anjing-kucing.jpg



Buah
hatiku tersayang, betapa lugu dan lucu kalian. Perjalanan ini memang
cukup mahal, apalagi bagi kami yang cuma pelajar. Tak cuma uang, kaki dan tanganpun pegal-pegal tak karuan.
Tapi, semahal apapun ongkos yang telah keluar, semua tak tergantikan melihat keriangan kalian. Semua tak terbayar
melihat mata-mata polos kalian. Mata-mata takjub dan heran. Mata-mata
penuh keingintahuan. Semoga semua yang terlihat tetap tercerna indah.
Semoga segala yang terekam tak kan pernah hilang dan akan berbuah
kebajikan. 







4 comments:

  1. Bagus, Agnes. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari yang sederhana, ya.

    ReplyDelete
  2. Waduuuuh,senang bgt ya anak2 melewati masa kecil disana....
    Tiap hari kita memang ga berhenti belajar...dari manapun...
    Semoga Bunda Agnes bisamenjadi contoh yg baik untuk saya nantinya....

    ReplyDelete
  3. Seneng ya...liburan sambil "belajar"...sekolahku adalah dunia :)...

    ReplyDelete
  4. Walaah saya jadi contoh? ntar nyesel lho mbak hehe. Kita sama-sama saling mencontoh dan sama2 inspiring each others, gitu kali ya mbak :-)

    ReplyDelete