Wednesday, May 3, 2006

"Mengajarkan Jiwa Wirausaha, Bikin Matre?"






“Wah
ternyata Ibu Stephen King suka membeli karya-karya King kecil dengan sejumlah
uang! Bagus nih, pasti ibunya ingin King punya jiwa enterpreneur
(wirausaha).” Suamiku menceritakan secuil hasil bacaannya dari buku ‘Stephen
King on Writing'. Ah ya, cocok dengan kata-kata Aa Gym yang aku baca dari sebuah
artikel di koran Pikiran Rakyat (3 April 2005). "Didiklah anak-anak agar
memiliki jiwa wirausaha. Kalau perlu, gaji lah mereka untuk mengerjakan suatu
pekerjaan. Orangtua juga perlu terus membangun kemampuan berhemat anak serta
kemampuan untuk tidak meremehkan jerih payah orang lain. Kalau anak-anak sudah
tahu kepahitan cari uang, maka mereka akan menjadi pejuang yang tangguh dalam
hidup ini."







“Ah
anak-anak kecil diajarin cari uang, ntar matre lo!” Begitu kata seorang
kawan. Tapi di koran itu juga dikatakan bahwa tanggungjawab, kreativitas dan
mampu mengambil keputusan adalah sifat yang akan muncul pada anak jika jiwa
wirausaha ditumbuhkan sejak dini. Sifat tersebut juga merupakan modal bagi
keberhasilan hidup anak saat ia dewasa. Hmm…iya juga ya. Matre atau tidak
tergantung cara hidup orangtuanya kan. Aku lihat, di sekolah Lala juga ada
program membangun jiwa wirausaha murid-muridnya. Setahun sekali kerap diadakan
'Hari Buku' disana. Biasanya pada hari itu anak-anak diminta untuk menjual
buku-buku bekas. Harganya betul-betul murah, mulai dari 10 cent Euro hingga 1 Euro. Lalu apa yang bisa kulakukan untuk
anak-anakku ya?







Ah
ya, Koningen Dag (hari Ratu)! Mengapa tidak berjualan pada hari ini
saja? Asyiknya, pada hari Ratu ini ada acara VrijeMarkt alias pasar
bebas. Jadi masyarakat boleh bebas berjualan apa saja barang-barang bekas
dengan harga miring tanpa harus membayar pajak. Setiap hari Ratu yang jatuh pada tanggal 30 April,
atau 29 April (jika tanggal 30 April jatuh pada hari Minggu) negeri Belanda
pasti dipenuhi warna orange. Rakyat berpesta memenuhi jalan dengan
pernak-pernik baju, topi, bahkan mencat wajah, rambut dan tubuhnya dengan
orange.







Sewaktu
ratu Juliana masih hidup dan berkuasa dulu, tanggal itu selalu diperingati
untuk merayakan hari ulangtahunnya. Nah, setelah ratu Juliana meninggal dan
digantikan oleh ratu Beatrix, ratu Beatrix meminta supaya hari Ratu tetap jatuh pada tanggal 30 April saja.
Sebab, ulangtahun ratu Beatrix tanggal 31 Januari, dan pada tanggal itu katanya
pamali kalau diadakan pesta. Entah apa alasannya, masih dingin kali ye
hehe.







Tapi
sayangnya di Groningen kota tempatku tinggal, makanan tidak boleh dijual bebas.
Padahal di Amsterdam, makanan homemade pun boleh dijual. Kenapa ya?
Katanya sih khawatir dengan kebersihan dan keamanan. Tapi temanku yang lain
mengatakan di Groningen juga boleh menjual makanan. Entahlah beritanya simpang siur. Padahal aku sudah
bertekad mau berjualan siomay dan rempeyek.”Jadi apa enggak sih jualannya,
boleh apa enggak sih? Mau belanja nih…” Aku bingung. Lalu temanku
bertanya langsung pada gemeente, eh ternyata di jawab,” Tidak boleh!” Hu
hu hu padahal aku sudah bersemangat baja. Eh, tapi tiba-tiba datang lagi
laporan dari temanku. “Cuek aja jualan, wong setiap tahun temennya temenku itu
jualan makanan dan asyik asyik aja koq nggak pernah ada yang negur.”







Duh,
daripada tak yakin akhirnya sehari sebelum hari H aku betul-betul mewanti-wanti
suamiku,” Telepon gementee ya Yah, jangan lupa!” Dan hasilnya: Dilarang
berjualan Homemade Food! Sama sekali tidak boleh! Waks…gimana nih,
padahal semangat sudah menggelora. “Ah udah nekat aja, kalo diusir ya udah
makanannya bawa pulang lagi dimakan sendiri,” kata temanku lagi. Oke deh kalau
gitu demi melatih anak-anak berjualan, dan demi sesuap Euro hehe, apapun yang
terjadi positif jualan!







Hup!
Jam 6.30 pagi suamiku langsung siap-siap berangkat. Kalau kesiangan, bisa-bisa
jualan batal karena tak kebagian tempat untuk jualan. Walaupun mataku masih
ingin terpejam dan badan masih pegal-pegal, tapi aku pun harus segera
bersiap-siap menyusul. Semalaman aku sibuk membuat siomay dan suamiku sibuk
membuat rempeyek. Alhasil kami tidur cukup larut. Tapi, anak-anak sangat bersemangat lho! Mereka kami suruh memilih
mainan yang akan dijual. Apa ya? “Wayang aja deh, wayang ini kan nggak pernah
dipake.”







Wah
hujan lebat disertai hagel(es) pula! Bisa-bisa acara jualan batal nih. Tapi, alhamdulillah,
si hujan datang hanya setengah jam saja . Akhirnya aku dan anak-anak segera
menyusul ke tempat tujuan. Wow, pinggir-pinggir jalan betul-betul dipenuhi
orang berjualan! Gemeente merelakan jalan sepanjang Ubbo Emmius Singelstraat dipenuhi lapak-lapak barang dagangan
masyarakat. Mainan, puzzle, perabot rumah, buku, sepatu, baju dan perkakas
rumah tangga lainnya berjejer rapi di atas selembar alas plastik atau karpet.
Ada yang berjualan makanan tidak ya? Jangan-jangan aku betul-betul akan diusir
karena hanya sendirian berjualan makanan. Eh, ternyata ada! Tuh kan, untung
saja kami nekat hehe.







Aku
pun segera mengeluarkan barang daganganku, siomay dan rempeyek. Teman ku, mbak
Indah, menjual lumpia. Dan kami pun menjual sedikit mainan anak-anak titipan
seorang kawan. Dan tentu saja si wayang tak ketinggalan kami pajang di lapak
kami. “Anak-anak, ayo duduk disini ya. Nanti kalau ada orang yang mau beli,
ditawarin ya.” Aku mulai memberikan instruksi pada anak-anak. “Mainan yang
besar 1 Euro, yang kecil 50 cent, dan wayang 1 Euro yaa..” Lala, Malik dan
Novi,anak mbak Indah, cuma mengangguk.







Saat
seorang wanita datang melihat-lihat lapak kami, segera aku suruh mereka
beraksi. Ealah, mereka ternyata malah nyengir malu-malu. “Ayo, bilangin ke
tantenya harga mainan-mainan itu. Tanya, tantenya mau yang mana,”dorongku lagi.
Aik sambil memperlihatkan gigi-giginya bersuara, “Een euro…” Suaranya nyaris
tak terdengar, grogi rupanya hehe. Lala hanya bolak-balik jalan kesana kemari,
tak mau mengeluarkan suaranya. Walah…gimana bisa laku dagangannya hehe.







Khawatir
hujan datang lagi, suamiku memasang tenda di seberang lapak kami. Langsung saja
anak-anak berhamburan ke tenda meninggalkan barang dagangannya. Beruntung kami
mendapat tempat cukup strategis. Ada taman berumput untuk memasang tenda kami dan juga kursi. Pembeli makanan kami
bisa langsung makan di kursi itu. Uh…ge-er! Adakah orang yang mau membeli
makanan yang kami jual? Hu hu hu…tunggu punya tunggu, ternyata sampai pukul
11.00 makanan kami tak terjamah. Sabar dong…sabar…Tuh, ada Meneer memelototi
harga makanan kami tuh! “Berapa harganya?” Si meneer menatapku sambil memegang
satu bungkus rempeyek.”Twee Euro (dua Euro),”jawabku. Wah, dia ambil 2 lho! “Rempeyek Ayah laku nih yee.” Mesam-mesem
aku goda suamiku.







Sayangnya
suamiku hanya membuat 6 bungkus rempeyek.”Segini aja ah! Nggorengnya capek,
dapetnya nggak seberapa,” katanya semalam. Yo wis, aku sih manut
saja. Wong niatnya memang hanya untuk memberi pengalaman berjualan pada
anak. Tak lama, seorang nyonya Belanda datang menghampiri lapak kami. Apa yang
dibelinya? Rempeyek lagi! Beberapa menit berlalu, seorang wanita Indonesia kemudian datang bersama suami Bulai nya.
Dia mengambil satu bungkus rempeyek, segera membayar dan pergi. Sedetik..dua
detik…Eh, balik lagi tuh si Nyonya! “Enak euy, saya ambil satu lagi ya!”
Tersenyum lebar, diserahkannya koin 2 Euro padaku.







“Rempeyek Ayah laku ya Bun. Udah berapa orang yang beli Bun?
Udah 3 orang ya Bun? Udah dapet berapa Euro Bun?” Itu rupanya yang menarik bagi
Lala. Setiap datang ke lapak, pertanyaannya selalu sama. Berdiri dan menawarkan dagangan pada pembeli? Oh No!
Sama sekali pekerjaan yang tidak menarik bagi Lala hehe.







Duh
sedihnya jadi pedagang, berjam-jam menunggu, siomay ku tak satu pun ada yang
membeli. “Dimakan sendiri aja ah, laper hehe.” Aku dan temanku sama-sama
mengisi perut dengan dagangan kami. Suamiku pun memberikan sebungkus siomay
pada tetangga lapak kami. Sudah jam satu siang, siomay dan lumpia masih utuh mejeng
di atas meja. “Kemahalan kali ya, turunin aja deh harganya Yah.” Suamiku pun
mengganti harga yang tertera di selembar kertas. Saat datang pengunjung asal
Indonesia, aku pun segera menghampiri mereka.”Harga spesial deh Mbak, udah diturunin
nih, tadinya semangkok 3 Euro, sekarang 2 Euro nih kalau Mbak beli 3 mangkok.”
Aku membujuk si Mbak. Horee! Si mbak mau beli! Akhirnya ada juga yang mau beli
siomayku, meski harus menurunkan harga hiks.







Satu
jam kemudian…”Wah ada siomay! aku mau dong..aku mau satu dong…aku juga…aku
juga….” Rombongan mahasiswa Indonesia datang dan memborong siomayku! “Enak
Mbak…enak..!” Jawaban mereka membuatku senang.
“Tapi… hu..hu..hu…nyesel! Tadi kenapa harganya diturunin ya Yah. Tau
bakal banyak orang Indonesia dateng, mau sabar nunggu deh, ada yang nggak
kebagian juga tuh padahal,” keluhku pada suamiku. Ealah..koq nggak bersyukur.
Padahal pemesan lewat mulut ke mulut juga kan sudah ada. Astagfirullah, Ah!
dasar manusia, dikasih hati minta rempelo hehe.







Laris
manis! Siomay dan rempeyek habis terjual. Duh senangnya, kerja capek semalaman
berbuah Euro hehe. Aku berkeliling sebentar melihat dagangan orang lain. Wah
ada puzzle magnet, bisa buat Malik nih. Harganya 50 cent Euro saja, alias
limaribu perak, lumayan banget! Masih bagus dan lengkap pula. Temanku malah
mendapat puzzle 1000 keping dalam keadaan utuh dan masih sangat bagus dengan
harga yang sama. Senang memang belanja di vrijemarkt ini. Lala juga
mendapat boneka beruang besar gratis. Tetangga lapak yang aku beri siomay tadi
memberikan boneka beruang itu untuk Lala . Balas saja kali yee hehe.







Pukul
2 siang, kami memberesi lapak kami. Capek. Tapi aku jelas tidak kapok, dapat
Euro je hehe. Tahun depan aku berniat akan berjualan lagi. Mungkin
anak-anak bisa aku minta untuk membuat jus buah dan menjualnya di pasar rakyat
ini. Aku lihat banyak anak-anak Belanda melakukannya tadi. Ide bagus.
Mudah-mudahan kalau mereka membuat sendiri, ceritanya akan lain. Siapa tahu
mereka mau menunggui dan menawarkan dagangannya tanpa malu-malu lagi.







Ah
tapi apapun respon mereka tak jadi soal. Yang penting hari ini mereka sudah
melihat sendiri dan mencoba sendiri bagaimana rasanya jadi pedagang. Mereka
juga tahu bagaimana repotnya ayah dan bundanya mempersiapkan rempeyek dan siomay.
Dan hasilnya, puluhan Euro masuk ke celengan Bunda. “Wah Bunda dapet uang
banyak.”Lala membelalakkan matanya saat melihat uang yang kumasukkan ke dalam
celengan ku.







Bekerja
keras dan menghargai hasil jerih payah orang lain, itu yang aku ingin tunjukkan
pada mereka. Bener nih nggak
khawatir kalau anak-anakku jadi matre? Aku pernah katakan pada
Lala,”Kita boleh punya banyak uang La, tapi uang bukan segala-galanya. Uang
hanya jadi pembantu kita. Kita nggak boleh tergantung sama uang ya La.”
Kalimat-kalimat ini yang mungkin harus sering-sering aku tekankan pada mereka.
Tapi tentu saja kalimat-kalimat itu akan sia-sia kalau dalam keseharianku aku
tetap memuja uang. Ah uang, kau memang menggiurkan. Namun tak akan pernah
kubiarkan engkau menjadi raja dalam kamus hidupku!





16 comments:

  1. setuju nes...kalo sulungku malah punya cita cita kalo punya uang banyak, ntar mo ngasih modal orang miskin buat usaha :). aku setuju kok anak anak dikenalkan dengan jiwa wirausaha serta nilai uang sejak kecil, so wie so kan ada nasehat plusnya yang menyertai...sukses jualannya ya non...

    ReplyDelete
  2. Aduh...itu hebat amat si ayah bisa bikin rempeyek. Setuju juga...belajar wirausaha malah membiasakan anak untuk memproduksi, bukan mengkonsumsi. Dan kita arahkan juga buat saving kali ya? Si Ihya di sini udah mulai jadi loper koran di neighborhood Nes, kalo libur summer.

    ReplyDelete
  3. Bagus sekali Bunda,thanx for sharing...
    Nanti kalo Nicolle besar,aku juga ingin mengajarkan dia berbisnis kecil2an...

    ReplyDelete
  4. Wah, kalo tiap anak bercita-cita kayak Yusuf, bakal maju Indonesia In hehe. Bener ya yg penting jangan diumbar, nasehatnya musti selalu menyertai. Jualan kemaren iya lumayan sukses In, bikin ketagihan hehe

    ReplyDelete
  5. Si ayah bisanya emang cuma bikin rempeyek mbak, saking ngidamnya sama rempeyek hehe. Tapi nggak aneh sih soalnya mertuaku jago bikin rempeyek, nurun kali ye :-) Wah mbak Ihya hebat banget ya udah jadi loper koran, good ide, bisa dicontoh nih buat Malik :-)

    ReplyDelete
  6. Pasti Nicolle bakal jago bisnisnya mbak, kan bapak ibunya juga jago bisnis :-) Tx sudah berkunjung ya mbak Moniq :-)

    ReplyDelete
  7. Duh Mbak, aku duluuu... juragan rempeyek, tiap minggu ngiderin ke warung2 dan supermarket. Tambah pula selalu ada pesenan temen2 kantor. Jadi asyik jugalah...
    VrijeMarkt itu barangkali seperti Yard Sale di sini ya Mbak... atau mungkin juga seperti Flea Market? Di kampung saya ada annual Yard sale minggu lalu. Jadi terbawa arus Spring Cleaning spirit... bersih2 barang2 yang nggak dipakai lagi, siapa tahu orang lain mau beli. Kalau nggak terjual, pokoknya barang yang sudah keluar dari rumah langsung ke Goodwill nggak boleh masuk rumah lagi. Tapi tahun ini saya nggak ikutan jualan soalnya nggak sempat cleaning :(( malah beli barang tetangga...:((

    ReplyDelete
  8. wah asyiknya..kalo orang2 indo disini biasa nyebutnya "Pasar Romel"..aku jadi pengen juga nih jualan kayak mbak Agnes, mungkin tahun depan..hehehe

    ReplyDelete
  9. Hihii...Bun, geng Den Haag plus Rotterdam juga gelar lapak di deket Centrum Den Haag. Mb Rita batal jual lumpia krn tahu ga bakal ada yg mau beli, akhirnya malah jual kulit ketupat... jual makanan emang nggak bisa sembarang disini ya, menyangkut higienis.

    ReplyDelete
  10. Mbaak kalo dijual ke supermarket gitu berarti rasanya manteb banget duong. Kalo gitu bagi resep peyeknya dong mbak hehe , sesama penjual peyek dilarang saling mendahului ya mbak :-) Taun depan ikutan lagi yuk mbak, seruu :-)

    ReplyDelete
  11. Iya, jualan seru juga ya ternyata, apalagi kalo dapet duit banyak lebih seru lagi hehe. Yuk taun depan jualan yaa :-)

    ReplyDelete
  12. Bener mbak, orang bule nggak ada yang mau beli. Itu siomay ku pan ludesnya sama student Indonesia yang dah kangen sama siomay hehe. Buat orang bule mah maunya yang anget kali ya. Tapi aku ga kapok deh mbak, taon depan mo jualan lagi, woro2 dulu ke student Indonesia, bule tak dapat, teman sendiri pun jadilah hehe

    ReplyDelete
  13. Ada delivery service option nggak?hehehehehe....mo pesen neh kalau ada..=).

    ReplyDelete
  14. Boleh...boleh mbak Adi, tapi sampe Amrik dah bosok ya hehe

    ReplyDelete
  15. kalo ortunya sendiri gak punya jiwa wirausaha gimana dong Mbak? :D

    ReplyDelete
  16. wuih rempeyek bo...!!!! tapi emang bener mbak agnes...makanan satu ini biknnya emang bikin capek...tapi dimakan nggak bikin kenyang....!!!

    ReplyDelete