Monday, May 22, 2006

Kecemasan Mama

Ini cerpen pertamaku. Kedua sih sebetulnya, tapi cerpen yang pertama
betul-betul nggak masuk hitungan,bikinnya asal banget  dan nggak
masuk kriteria cerpen lah pokoknya hehe.  Jadi anggap saja ini
cerpen pertama :-) Niatku membuat cerpen ini buruk, betul-betul karena
ngiler sama bayarannya yang 100 euro, soalnya lagi nggak punya duit.
Tunggu punya tunggu ini cerpen nggak dimuat juga sama Ranesi. Padahal
katanya batas pemberitahuannya sebulan. Yah hopeless lah aku.Mutung.
Aku jadi merasa nggak bisa nulis fiksi dan merasa niatku yang ternoda
dengan uang itu lah penyebab cerpenku nggak dimuat. Akhirnya aku
betul-betul melupakan cerpenku ini. Asli mutung, melirik pun tak mau
lagi hehe. Sampai akhirnya barusan aku dapat kabar dari Mbak Desy,
cerpenku dimuat!



Alhamdulillah...Makasih ya mbak Des atas pemberitahuannya :-). Tapi
walaupun dimuat bukan berarti cerpen ini bermutu loh, kayaknya cuma
karena Allah nggak mau liat aku mutung kali ya hihi ge-er. Jadi kalau
ada yang mau kasih kritik dan saran, duh mau banget. Biar aku nggak
kapok nulis fiksi lagi. Tapi sebetulnya, kalo dapat 100 euro lagi sih
nggak akan kapok nulis fiksi lah ya, haha dasar! Cewek matre...cewek
matre kelaut ajeh! Eh tapi 100 euro belum dipotong pajak 39 % loh, but
masih lumayan laah buat ngisi dompet yang kosong hehe...



 Ini dia si cerpen yang sempet bikin mutung :-) :



“Eh, kamu harus kasih selamat sama Ben!”kata seorang
perempuan paruh baya  mengagetkanku. Nyonya Elske Holander, perempuan
tetangga sebelah rumahku tiba-tiba datang menghampiri. Aku baru saja
mengambil barang belanjaan dan memarkir sepeda di halaman depan. Ia
muncul bersama anak lelakinya yang berumur tanggung, mungkin sekitar 13
tahun.


“Oh, kamu ulang tahun, selamat ya Ben.” Segera kuulurkan tangan padanya sambil memberikan senyum termanis yang kupunya.

“Ha ha, bukan…bukan ulangtahun,” tawa perempuan Belanda itu renyah.

“Mm…, bukan? Jadi, selamat untuk apa?” aku bingung.

“Psst…tadi malam, dia baru saja jadi lelaki!” bisik perempuan itu di telingaku.




“Maksudnya?” keningku berkerut. Aku memang baru enam bulan tinggal
di negeri tulip ini. Selama itu pula aku mengenal si nyonya Belanda,
nyonya ramah yang pandai berbahasa Inggris. Aku tak mungkin salah
dengar. Jadi lelaki, apa artinya?

“Ayolah, masa kamu tidak mengerti, itu lho…melepaskan keperjakaannya pertama kali. Semalam Ben melakukannya sama pacarnya!” jawab nyonya Elske ringan.




“Oh ya?!” Hampir saja mataku terbelalak. Ssh…Nesya…Nesya…Ini Belanda sayang, batinku mengingatkan.

“Eh…ee…selamat Ben…selamat….”Aku tergeragap. Mudah-mudahan saja si nyonya tak memperhatikan perubahan mimik dan suaraku.

“Untung sewaktu grup delapan di Sekolah Dasar (SD), dia dapat pelajaran
pendidikan seks. Dan saya juga di rumah sering mewanti-wanti dia untuk
pakai kontrasepsi sebelum ‘bermain’. Dia sudah tahu apa akibatnya kalau
tidak pakai kontrasepsi. Bahaya kan, bisa kena penyakit AIDS. Belum
lagi resiko pasangannya hamil. Jadi dia pun semalam pakai ‘sarung’.”




“Ooo…begitu ya Elske,” jawabku lirih, masih tak percaya
dengan apa yang kudengar. Bahwa negara ini adalah penganut seks bebas
dan kumpul-kebo sudah tak aneh, dan sudah lama aku ketahui.
Tapi, anak 13 tahun melakukan hubungan suami-istri pertama kali dengan
pacar, direstui ibunya pula? Anak bau kencur gitu lho! Bahkan si ibu
tampak bangga sehingga aku harus memberikan selamat?! Dan semua ini
menjadi sebuah kewajaran?!  Oh… sungguh, membayangkan pun aku tak
pernah. Apakah aku yang terlalu lugu? Kuper(kurang pergaulan)? Hmm…entahlah,  tiba-tiba saja kepalaku berdenyut-denyut!




***




Kuhempaskan tubuhku  ke sofa empuk di ruang tengah.
Kuhirup nafas sedalam yang kumampu. Ah, Rangga, putra semata wayangku.
Seketika wajah tampan dan senyum simpatiknya melintasi benakku.
Kulahirkan engkau dengan penantian yang panjang Nak.




Lima tahun aku dan ayahmu harus menunggu. Menimangmu,
membelaimu, membesarkanmu, merupakan anugrah terindah bagiku. Hmm…bau
wangi khas bayi dari mulut mungilmu masih tercium rasanya. Ah,
bagaimana mungkin? Seminggu lalu baru saja aku menyiapkan kue-kue
ringan untuk dibagikan kepada teman-temanmu di kelas. Baru saja
teman-temanmu memberikan ucapan selamat ulang tahun bukan? Ulang tahun 
ke-sepuluh. Uh, kenapa waktu seakan berlari. Tak bolehkah aku menikmati
masa indah denganmu sedikit lebih lama?




Tak lama lagi engkau akan sebesar Ben. Tak lama lagi,
hormon kelelakianmu akan bekerja. Bagaimana nanti kalau kau punya
pacar? Apakah engkau akan seperti Ben? Apakah aku, ibumu, harus
merelakan engkau melepaskan keperjakaanmu tanpa nikah di usiamu yang
ke-13?! Bahkan aku pun  harus memberikan petatah-petitih lengkap sebelumnya kepadamu?! Aah… tidaaak! Tidak anakku, aku tak rela!!




Bermukim di negeri ini sama sekali bukan sebuah
pembenaran untuk menghilangkan adat ketimuran. Aku harus berbuat
sesuatu untuk mencegahnya. Aku tak boleh membiarkan engkau terpengaruh
teman-temanmu. Tapi apa? Bagaimana? Menjelaskan tentang mimpi basah 
kepadamu saja aku tak mampu, lidahku kelu. Padahal, tak lama lagi
engkau pasti akan mengalaminya. Oh Tuhan, tolong aku…!! Ugh…memikirkannya dadaku malah sesak, kepalaku semakin berdenyut kuat rasanya.




“KRIIIIING…..!” Dering telepon seketika
menghentikan kecamuk ombak di hatiku.“Aku pulang telat ya sayang. Aku
harus lembur. Pekerjaan betul-betul menumpuk. Nanti biar aku pulang
sekalian jemput Rangga. Dia main di rumah Robert kan?” Suara Mas Pram,
lelaki yang telah belasan tahun menikahiku sedikit mengurangi sesak di
dadaku.




“Iya mas, tapi…”

“Ada apa sayang? Sesuatu mengganggumu?”

“Ya…mm…iya Mas.”

“Aku hapal betul suaramu.  Kamu mau ceritakan sedikit sekarang? Siapa tahu bisa melegakanmu.”

Ah, mas Pram, betapa beruntungnya aku. Belasan tahun biduk rumah tangga
ini berjalan, tapi kau tak pernah berubah, selalu mengerti aku.

 “Mm…sudahlah Mas, nanti mengganggu pekerjaan Mas. Setelah Mas pulang saja.”

***




Ditemani bulan yang menyembul malu-malu, malam itu
kurebahkan kepalaku didada mas Pram. Kupeluk ia erat-erat. Kutumpahkan
segala kegundahanku hari ini padanya.

Mas Pram tahu betul, kepindahannya ke Amsterdam bersama keluarganya
bukan tak membawa resiko. Bekerja di perusahaan minyak asing tentu saja
membuat perekonomian kami semakin meningkat. Memang alasan karir dan
perekonomian lah yang membuat mas Pram tak menyia-nyiakan tawaran
pekerjaan ini. Namun semua tentu membawa akibat.




Bagiku,  mau tak mau aku harus melepaskan pekerjaan
yang kucintai di Indonesia. Di Indonesia dulu, aku tak perlu memikirkan
belanja, mencuci, menyetrika dan beragam pekerjaan rumah lainnya. Mbok
Yam pembantu setia kami, dengan sigap selalu menyelesaikan semua
perkerjaan rumah. Tak mudah menjadi ibu rumah tangga yang berdiam diri
di rumah saja setelah belasan tahun terbiasa bekerja. Berbulan-bulan
aku harus bergulat dengan batinku sendiri agar bisa mencintai kegiatan
baruku, menjadi ibu rumah tangga.




Bagi Rangga? Menjelang usia remajanya, usia pencarian
jati diri, ia harus melewatinya dalam lingkungan yang jauh berbeda
dengan dunianya di Indonesia.  Di negeri ini, alkohol bebas, marijuana 
tak dilarang, kumpul kebo biasa, bahkan perkawinan antar sesama jenis
pun dihalalkan. Dan kini dengan mata kepalaku sendiri, aku bahkan 
memberikan selamat atas hilangnya keperjakaan seorang anak lelaki.




Aduh Mas…Mas…ibu mana yang tak khawatir jadinya Mas?” 

“Kita kuatkan pemahaman agama pada Rangga Ma. Itu kan nasehat  yang
diberikan para ustad di Indonesia sebelum kita pergi kemari.” Mas Pram
mencoba menenangkan aku.

“Di Indonesia lebih mudah Mas, kita bisa pilih sekolah sesuai dengan
keyakinan yang kita punya. Kita bisa panggil Ustad agar Rangga belajar
agama. Suasana keluarga dan tetangga kita pun mendukung norma yang kita
anut.” Aku bangkit melepaskan pelukanku. Kutatap suamiku lekat-lekat.




“Tapi disini Mas? Mas Pram sibuk. Aku? Hmh…aku bahkan
masih kesulitan menghadapi duniaku yang baru disini. Yaa…demi Rangga,
aku akan berusaha untuk selalu menanamkan nilai-nilai itu Mas. Tapi
menurut mbak Via sahabatku, masa remaja adalah masa sulit Mas, masanya
mereka lebih mendengar apa kata teman-temannya. Mbak Via kan guru SMP
Mas, masa sih dia salah. Aku semakin khawatir karena Rangga anak yang
pendiam dan tertutup. Mas tahu sendiri kan, sulit sekali menyuruh
Rangga menceritakan apa saja yang dialaminya bersama teman-temannya di
sekolah. Jawabannya pasti, ‘lupa Ma,’ atau ‘begitu aja Ma kayak
biasanya.’ Nanti kalau dia punya pacar, apa dia mau cerita sama kita
apa saja yang dilakukannya? Kalau enggak gimana? Bingung kan Mas.”
Segala kegalauan meluncur deras dari mulutku.




“Sayang, aku juga mengkhawatirkan Rangga, dan aku ingin
kita bersama-sama berusaha mencari jalan keluarnya. Kalau tanya lagi ke
mbak Via gimana?” Pram menatapku, menunggu jawaban.

“Bisa aja sih Mas, tapi dia tidak biasa berkirim surat elektronik. Dia
jarang bersentuhan dengan komputer, sibuk dengan pekerjaannya di
Indonesia. Tapi aku akan coba menghubunginya lewat telepon.”




“Oh iya, Mama kan baru bergabung dengan kelompok diskusi di dunia maya. Itu lho,
yang Mama bilang anggotanya ibu-ibu Indonesia semua. Katanya mereka
pintar-pintar, dan sebagian dari mereka juga tinggal di luar negeri
kan, malah tersebar di berbagai negara.  Selama ini kan Mama cuma jadi
pengamat, coba deh mulai giat bertanya, gimana Ma?” tanya Pram bersemangat.

***




Beberapa hari berselang, aku mencoba usul suamiku. Aku
membagi pengalamanku dalam kelompok diskusi itu dan meminta saran
mereka. “Tapi yang kamu ceritakan itu orang Belanda kan? Tak heran,
memang budaya mereka begitu koq,” tulis seorang ibu yang tinggal di
Amerika menanggapi. “Aku malah pernah menemukan cerita seperti itu dari
temanku orang Indonesia yang sudah puluhan tahun tinggal di Amerika.
Anak gadisnya sering gonta-ganti pasangan, bahkan jelas-jelas tidur
bersama pacarnya di rumah mereka. Ayah ibunya tak kuasa untuk
menasehati lagi. Mereka malah bilang, daripada main belakang? Daripada
saya tidak tahu apa yang dilakukan anak gadis saya? Lebih baik saya
mengijinkan anak saya tidur dengan pacarnya di rumah, begitu kata
mereka.”




Oh, membacanya hatiku kembali gundah. Haruskah aku
mengorbankan norma agama dan adat ketimuran pada anakku, demi karir
suamiku serta kehidupan perekonomian yang lebih baik? Ternyata begitu
sulit membesarkan anak remaja di luar negeri. “Ah, sama aja kok, nggak di Indonesia, nggak di luar negeri, membesarkan anak remaja jaman sekarang memang nggak
gampang. Buktinya saat ini, berapa banyak gadis-gadis remaja di
Indonesia yang sudah hamil di luar nikah, bahkan menjual diri. Padahal
orangtuanya berkecukupan,” tulis seorang ibu lainnya. “Dimana pun kita
tinggal, semua akhirnya berpulang pada kita orangtuanya kan. Di Amerika
sini banyak sekali orang India. Mereka bisa koq  mendidik anak-anak
mereka sambil tetap memegang teguh adat-istiadat, budaya dan agamanya.
Teman saya menikah bahkan dijodohkan. Padahal mereka dari lahir sampai
dewasa hingga beranak-pinak juga tinggal di Amerika.”




Hmm…betul juga. Asalkan mau berusaha pasti ada
jalan, buktinya orang-orang India itu berhasil.Bagaimana ya caranya
agar anakku bisa tetap memegang norma-norma yang kami anut? “Bangunlah
komunikasi dua arah, jadilah teman buat anak, dan cari lingkungan yang
sama-sama memegang norma-norma tersebut. Kenapa? Supaya saat semangat
kita jatuh, masih ada kawan yang mendorong dan mengingatkan,” pesan
ibu-ibu di dunia maya itu.




Hmm…cara komunikasi dengan anak ternyata sangat penting. Duh,
bisakah aku merubah cara berkomunikasiku dengan Rangga. Dia anak yang
tertutup. Belum lagi, kata mereka aku harus mulai mencicil pendidikan
seks yang benar sejak dini pada anak.

Aku mengingat betul jawaban seorang ibu yang juga seorang psikolog
dalam kelompok diskusi itu, “Lebih baik anak-anak tahu dari orangtuanya
sendiri tentang seks, daripada mengetahui dari sumber lain. Dengan
begitu anak menjadi percaya penuh pada orangtuanya. Kalau mereka
bingung mereka akan bertanya pada orangtua. Alhasil, mereka akan
terbuka dan bercerita apa saja pada kita orangtuanya. Keuntungannya,
kita jadi tahu apa yang mereka pikirkan dan lakukan. Kita juga bisa
memberikan pendidikan seks yang benar, bukan yang malah merusak. Yang
paling utama lagi, kita tetap bisa memasukkan norma-norma yang kita
anut. Tapi jangan dogmatis ya, mereka malah lari nanti,” katanya
panjang lebar.




Uh, mulutku rasanya sudah tak tahan ingin segera
menceritakan hasil diskusi itu pada mas Pram. Tapi, baru minggu depan
dia kembali dari Prancis. Mas Pram…mas Pram…kau
memang suami dan ayah yang hebat. Bagiku nyaris sempurna. Satu hal
cacatmu yang sering menggangguku kini, kau tak lagi punya cukup waktu
untukku! Dulu, sebelum tidur adalah saat istimewa bagi kita. Saatnya
untuk saling bercerita, mengikat makna-makna yang tercecer dari
perjalanan hari-hari kita. Kini, pekerjaan membuatmu jarang berada di
rumah.




Ya, itulah pilihan yang telah kita ambil bukan? Andai
kau tahu Mas, ketika kau tak ada, bebanku semakin menggunung rasanya.
Membesarkan Rangga di negeri ini, dan membuatnya tetap memegang norma,
sungguh tak mudah kan Mas? Namun, hidupku adalah engkau. Aku
mencintaimu Mas, juga Rangga. Aku akan coba melakukan hal terbaik yang
kubisa. Demi Rangga, buah cinta kita…  

***




“Mama, aku boleh ikut acara perpisahan bersama
teman-teman di sekolah kan?” tanya Rangga sambil memasukkan sesuap nasi
ke mulutnya. Deg! Jantungku seketika berdegup lebih cepat.
Opor ayam yang masih tersisa dipiringku tak lagi menggiurkan untuk
kusantap. Apa yang salah dengan pertanyaan Rangga? Hasil tes ujian
sudah diumumkan. Rangga akan meninggalkan sekolah dasar. Ah, hanya
sekedar acara perpisahan anak SD, kenapa tidak boleh? Apa kata
teman-temannya nanti kalau ia tidak datang ke acara perpisahan itu? Ia
butuh pengakuan dari teman-temannya kan? Anak seusia itu kerap
mendapatkan tekanan dari teman-teman sebaya bila tampak nyeleneh.




Ya…ya…kalau ini Indonesia, aku tak akan berubah panik
seperti ini. Dua tahun telah berlalu sejak kegelisahan itu. Kegelisahan
membesarkan Rangga di negeri orang. Dua tahun pula aku mencoba
memperbaiki cara berkomunikasiku dengan Rangga. Memberanikan diri
sedikit demi sedikit membuka tabir tentang apa itu seks. Dan aku pun
berupaya menanamkan nilai-nilai adat ketimuran serta agama yang kuanut.
Perlahan tapi pasti aku bisa berdiskusi dengannya tentang mimpi basah
dan menjelaskan mengapa seorang perempuan bisa hamil. Aku mencari
buku-buku yang bisa menjelaskan soal seks secara sederhana  sesuai
dengan usianya.




Pembicaraan seputar seks ini kian gencar aku lakukan
setelah aku terkaget-kaget melihat Rangga mendapatkan penggemar wanita
pertama kali. Laura, penggemar pertamanya adalah teman satu kelasnya
sendiri. Sepulang sekolah, tiba-tiba saja Rangga mengeluarkan setangkai
bunga mawar merah dari dalam tasnya. Aku pikir Rangga akan
memberikannya padaku sebagai kejutan. Ternyata, ia malah membuangnya ke
tempat sampah.”Kenapa kau buang bunga itu Rangga?” tanyaku waktu itu.
“Laura bilang dia suka sama aku, sambil memberikan bunga ini. Hmh…aku nggak suka sama dia Ma. Lebih baik aku buang saja bunga ini. Aku kan masih kecil, belum mau pacaran.” Jawabnya polos.




Phfuih…mendengar jawaban Rangga,
keterkejutanku berubah menjadi kelegaan. O…O…Jagoanku mulai digemari
wanita rupanya. Hmm…Bangga? Tentu saja. Tapi rasa was-was malah semakin
menggunung. Ini artinya, hormon remaja Rangga dan teman-teman sebayanya
mulai bekerja. Bisa gawat kalau aku tak sering-sering berdiskusi soal
ini dengan Rangga. Sejak itu, aku mulai memberikan wacana, apa yang
boleh dan tidak boleh ia lakukan dengan lawan jenisnya beserta
alasannya. Apalagi setelah ia mendapatkan pelajaran tentang seks di
grup delapan, aku tak lagi kaku berbicara tentang pendidikan seks pada
Rangga. ”Ada saatnya Rangga, ketika kamu dewasa nanti. Ketika  kamu
jatuh cinta dan sudah menikah, ketika hubungan dengan lawan jenis sudah
dihalalkan, semua akan lebih indah dan membahagiakan,” kataku waktu itu.




Kini, Rangga sangat ingin menghadiri acara perpisahan
bersama teman-teman di sekolahnya. Kenapa begitu sulit untuk
mengijinkan? Bukankah nilai-nilai moral dan agama sudah cukup tertanam
dibenak Rangga? Bukankah aku sudah cukup berhasil membina komunikasi
dan berbicara seks dengan Rangga? Semua telah berjalan sesuai
keinginanku dua tahun yang lalu. Apalagi yang aku cemaskan? Inilah saat
ujian sesungguhnya. Aku tak mungkin menjadikan Rangga manusia yang
‘bersih dari kuman’ dan hanya mengurungnya di rumah saja kan? Rangga
juga harus terpapar ‘kuman’. Teori dan pemahamannya selama ini harus
dibenturkan agar ia mampu mengambil sikap. Ketahanan seseorang akan
teruji setelah ia bertempur di medan laga bukan? 




Gimana Ma? Mama koq lama banget mikirnya. Boleh nggak? Robert sudah bertanya terus, memaksaku untuk ikut. Boleh ya Ma?” Rangga merajuk.

Hening. Aku hanya mengelus rambutnya, tak mampu berkata-kata.

“Hmm…pasti mama khawatir ya? Tenang aja Ma, aku tahu koq
Ma apa yang tidak boleh aku lakukan. Aku tidak boleh minum alkohol,
alkohol tidak baik bagi kesehatanku.  Aku tidak boleh mendekati zina.
Aku tidak boleh melakukan hubungan suami istri dengan teman wanitaku
sebelum aku menikah. Aku belum siap, aku ingin sekolah tinggi, aku
belum dewasa. Aku tidak akan bahagia kalau semua kulakukan sekarang.
Bukan begitu Ma?”




“Iya sayang, Mama tahu kamu bisa menjaga diri. Tapi
boleh Mama menunda jawabannya? Kita bicarakan apa yang terbaik buatmu
nanti ya.”

Oh…mas Pram…mas Pram, kenapa lagi-lagi disaat genting seperti ini kau
sedang dinas ke luar negeri. Bicara lewat telepon lagi? Hmh…Semoga saja
Rangga masih sabar menunggu aku menelponmu. Aku tidak akan sepusing ini
kalau saja aku tak tahu apa yang biasa terjadi di acara perpisahan anak
SD di Belanda. Pemerintah Belanda membolehkan seorang anak berhubungan
badan pada usia 12 tahun. Dan di negeri ini, sudah tak aneh bila kondom
disediakan sebagai peralatan standar dalam acara perpisahan anak-anak
SD.




“Mas, aku bingung sekali. Menurut Mas gimana? Apa kita
membolehkan Rangga pergi? Kalau dia terpengaruh teman-temannya gimana?”
segera kuhubungi mas Pram lewat telepon genggamnya.

“Memang ini pilihan yang sulit Nesya. Tapi inilah saatnya ujian itu kan. Bekal selama ini rasanya sudah cukup untuk mengijinkan dia pergi ke acara perpisahan itu.”

“Betulkah begitu Mas? Aku selalu khawatir. Bagaimana kalau dia tergoda
ajakan temannya dan melupakan nilai-nilai yang telah kita berikan.”

“Percayalah padanya Sayang. Rangga anak yang baik. Bicarakan
kecemasan-kecemasan kita padanya. Bicarakan pula tindakan apa yang akan
dia ambil kalau teman-temannya merayunya.”




***




Sambil melingkarkan tangannya di pundakku dan mencium pipiku, Rangga
pamit,“Ma, aku pergi. Mama percaya sama aku ya Ma. Aku akan baik-baik
aja Ma.”

Dag-dig-dug di hatiku masih saja sama. Namun, akhirnya meluncur juga kata-kata itu dari mulutku, “Pergilah Sayang, Mama percaya sama kamu.”

Tuhan, lindungi anakku… Aku rela didera rasa cemas ini, demi sebuah
ujian kehidupan bagi anakku. Inilah ujian sesungguhnya bagi remaja
seusianya. Benturan-benturan seperti inilah yang akan menempanya
menjadi manusia sejati bukan? Ya, bila ia lulus. Tapi bila tidak? Oh,
tanganku mendadak dingin, nadiku pun berdenyut semakin kencang.




(Groningen-Maret 2006)


Dimuat disini : http://www.ranesi.nl/tema/budaya/kumpulan_cerpen_ranesi/kecemasan_mama060522



27 comments:

  1. Nice cerpen.. :)
    *ditunggu cerpen2 berikutnya*

    ReplyDelete
  2. wah selamat ya nes..ini kapan buatnya nih? ngelembur yaaa :D..bagus nes!

    ReplyDelete
  3. keren cerpennya mbak Agnes :)
    seneng bacanya

    ReplyDelete
  4. bagus kok cerpennya , btw, salam kenal :)

    ReplyDelete
  5. ikutan baca ya mba, mengusir kantuk pagi2 nih :)

    ReplyDelete
  6. iku baca..tapi baru stgh jalannih, reply dulu yah, Bagus mbak..bener lho

    ReplyDelete
  7. nice...:-) selamat ya mbak Agnes!

    ReplyDelete
  8. Bagus mbak Agnes......aku baca langsung habis, habis bikin penasaran sih, untung si Ihdin lagi bobo..he..he

    ReplyDelete
  9. Walah mbak, belum pede bikin cerpen lagi aku hehe, masih nunggu kritik dan saran nih, koq ga ada yang kasih kritik sih, hmm... padahal kata Bayu Gautama, kita nggak boleh puas kalo tulisan kita dibilang bagus sama orang, harus dikitik-kitik terus orangnya sampe mau ngritik, so mau aku kitik-kitik nggak mbak biar mau kasih kritik hehe. Anyway thanks sudah mampir ya mbak :-)

    ReplyDelete
  10. Lha ini juga sami mawon, Nggak boleh bilang bagus In, harus kasih kritik hehe. Buatnya bulan Maret In waktu lagi bete nggak punya duit hihi.

    ReplyDelete
  11. Hai Wiwit, keren apa keren hayo, duh...mbok ya ngasih kritik gitu lo Wit hehe. Enggak deng, makasih banget lo Wit dah mau baca :-)

    ReplyDelete
  12. Hai mbak Yeni, salam kenal juga ya :-) But mbak aku mau ngikutin nasehat mas Bayu, nggak boleh puas dengan kata bagus, so masih nunggu kritik dari mbak Yeni nih hehe. Tx dah berkunjung ya mbak :-)

    ReplyDelete
  13. Moga-moga bacanya nggak tambah ngantuk ya say hehe

    ReplyDelete
  14. Makasih ya mbak dah mau baca :-) Moga-moga habis reply, bacanya sampe tamat ya, jangan-jangan ceritane mboseni. Kalo mboseni bilang ya mbak, butuh kritik nih :-)

    ReplyDelete
  15. Makasih ya mbak dah mau baca :-) Moga-moga habis reply, bacanya sampe tamat ya, jangan-jangan ceritane mboseni. Kalo mboseni bilang ya mbak, butuh kritik nih :-)

    ReplyDelete
  16. Makasih ya mbak :-) Tapi duitnya katanya baru keterima 3 bulan kemudian nih duh susahnya cari uang ya hehe

    ReplyDelete
  17. Makasih ya mbak :-) Tapi duitnya katanya baru keterima 3 bulan kemudian nih duh susahnya cari uang ya hehe

    ReplyDelete
  18. Walah Tik, nggak puas aku dibilang bagus sama Titik, kritik Tik..kritik hehe... but makasih lo :-) Btw, Ihdin memang cs sama tante Agnes koq, makanya nggak mau bangun sampe mamanya selesei baca cerpennya tante Agnes, hehe gu-eer pol :-) Sun buat Ihdin yaa...

    ReplyDelete
  19. Selamat yach Agnes,
    sekarang sudah mulai merambat ke dunia fiksi

    ReplyDelete
  20. Tx ya mbak Me, iya nih mulai berani merambat, nggak jadi mutung deh mbak sama fiksi :-)

    ReplyDelete
  21. Nes?,..deuuuu nulis fiksi ni ye,..hahaha,...
    fiksi apa fiksi nih hihihi,...
    Semangat terus say,..terus nulis selama bisa nulis. Coba aja kalo udah balik ke sini, mau nulis bawaannya males mulu hahaha,..
    Jgn lupa si malik kasih adek lagi dong!!

    ReplyDelete
  22. wah, telat baca..
    cerpennya bagus deh... ditambah lagi dapet 100 euro, lengkap deh kebahagiaan:)

    ReplyDelete
  23. Tuh khan.................lebih asyikan nulis!!!!! masih mau sekolah? he he he (tuing..tumbuh tanduk)

    ReplyDelete
  24. waaaah! memang uhuy jeng dokter penulis ini.

    ReplyDelete
  25. itu buku harus beli di indonesia ya?

    ReplyDelete
  26. maaf nih salah nulis, maskudnya buku yang baru dirilis

    ReplyDelete
  27. Kebohongan Asal Virus HIV/AIDS

    Selama ini, buku, artikel, maupun leaflet tentang AIDS menyatakan bahwa virus HIV berasal dari simpanse atau kera dari Afrika. Ternyata semua itu hanyalah propaganda dari pihak-pihak tertentu untuk menutupi fakta yang sebenarnya bahwa penyakit AIDS pertama kali ditemukan pada komunitas homoseksual di San Fransisco, Amerika Serikat tahun 1980. Ada pihak-pihak tertentu di Amerika Serikat yang telah memanipulasi informasi ini. Mereka membuat propaganda yang mengatasnamakan penelitian ilmiah bahwa virus HIV/AIDS berasal dari Afrika. Padahal, merebaknya AIDS menunjukkan kebobrokan perilaku sebagian besar warga AS yang tak bisa ditangani pemerintah secara baik.

    Kegagalan Kondomisasi di Amerika Serikat

    Kenapa dengan kondom?

    Kondom masih menularkan HIV/AIDS, karena virus itu bisa menembus pori-pori kondom. Penelitian di Amerika dan Afrika membuktikan hal ini. Di Amerika juga terjadi kegagalan program kondom untuk menanggulangi AIDS karena orang yang memakai kondom masih tertular AIDS. Akhirnya, kondom tak boleh dikampanyekan lagi di Amerika Serikat.

    Apa faktanya?

    H. Jafe dari Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat atau United State of Disease Control (US CDC) menyatakan bahwa kondomisasi yang dilaksanakan sejak 1982 mengalami kegagalan. Evaluasi yang dilakukan tahun 1995 sangat mengejutkan, ternyata kematian akibat AIDS menduduki peringkat pertama, menggeser penyakit jantung dan kanker di Amerika Serikat.

    Mengapa terjadi demikian?

    Pertama, kampanye kondom makin mendekatkan orang untuk berbuat zina (seks bebas dan pelacuran), karena merasa aman dari bahaya penyakit kelamin termasuk AIDS. Akibatnya, frekuensi perzinaan bertambah. Dengan kata lain, kampanye kondom menjerumuskan orang pada perzinaan, sehingga resiko tertular AIDS semakin besar.

    Kedua, kondom memiliki pori-pori dan cacat mikroskopis (pinholes). Kondom memiliki pori-pori 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang, jika meregang pori-pori akan membesar. Kondom juga memiliki 32.000 cacat mikroskopis dan tingkat kebocoran 30%. Sementara itu, ukuran virus HIV 1/250 mikron. Jauh lebih kecil ketimbang pori-pori kondom. Akibatnya, kondom tak 100% aman untuk mencegah AIDS dan penyakit kelamin lainnya.

    Karenanya, pakar AIDS dari Harvard AIDS Institute, Amerika Serikat, J. Mann sejak tahun 1995, tak lagi menganjurkan program kondomisasi. Rekomendasi ini diikuti pakar lainnya dan pemerintah Amerika Serikat hingga sekarang. Ironisnya, di negeri kita justru dikampanyekan.

    Cara efektif menanggulangi AIDS?

    Pertama, tidak melakukan perzinaan (seks bebas, perselingkuhan, pelacuran, homoseksual, dan penyimpanagn psikoseksual lainnya). Kedua, melakukan transfusi darah dan jarum suntik yang tidak tercemar HIV/AIDS.

    (Sumber; SABILI No.19 Th.XIV)

    ReplyDelete